Tak Peduli Demonstrasi Besar-besaran Menentang RKUHP, Politisi PKS Ini Ngotot Ingin RKUHP Disahkan

Keinginannya itu disampaikan dalam Rapat paripurna ke-11 DPR RI masa persidangan I 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (26/9/2019)

Editor: Theofilus Richard
KOMPAS.com/Haryantipuspasari
DPR RI menggelar rapat paripurna ke-11 masa persidangan I Tahun 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (26/9/2019). 

TRIBUNJABAR.ID, JAKARTA - Meski dalam beberapa hari terakhir muncul aksi demonstrasi besar-besaran yang digelar mahasiswa berbagai daerah menentang Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), masih ada anggota DPR RI yang ngotot mengesahkan RKUHP.

Dia adalah politisi Fraksi PKS Al Muzammil Yusuf.

Keinginannya itu disampaikan dalam Rapat paripurna ke-11 DPR RI masa persidangan I 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (26/9/2019).

Momen tersebut terjadi ketika pimpinan rapat Agus Hermanto membuka rapat paripurna. Tiba-tiba, Muzammil menginterupsi.

Wartawan Garut Protes Kekerasan Terhadap Wartawan, Tolak RKUHP

Menurut dia, RKUHP sebaiknya disahkan dalam rapat itu. Sebab, pembahasannya bersama pemerintah telah rampung diselesaikan.

Ia juga mengatakan pengesahan RKUHP bisa dilakukan dengan beberapa syarat, semisal pasal-pasal kontroversi di dalamnya dicabut.

"Pasal penghinaan presiden itu kita cabut, dan kedua RUU KUHP yang sudah dibahas dengan DPR RI dan pemerintah seluruh fraksi kita sahkan periode ini, sebagai bagian dari suksesnya reformasi hukum," ujar Muzammil.

"Kita ini ingin mengakhiri penjajahan asing dalam bentuk perundang-undangan lebih dari 1 abad. Allahuakbar, merdeka! Wassalam," lanjut dia.

Fraksi PKS mengusulkan pasal 218, 219, dan 220, terkait penyerangan dan hak martabat presiden dan wakil presiden dihapus.

Wartawan Cimahi dan KBB Protes Kekerasan dan Intimidasi Terhadap Wartawan, Tolak RKUHP

Sebab, menurut dia, pasal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum sekaligus multitafsir.

"Putusan mahkamah konstitusi No 13/2006 No 6/2007 yang mencabut pasal 134, 136, 137 dan Pasal 154, 155 KUHP terkait dengan penghinaan presiden, dengan pertimbangan MK yaitu: menimbulkan ketidakpastian hukum karena sangat rentan pada tafsir, apakah suatu protes pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden," ujar dia.

Muzammil menilai, pasal penghinaan presiden dalam RKUHP itu dapat mengancam kebebasan pers.

Ia mengatakan, sebagai negara demokrasi presiden dan wakil presiden harus siap dikoreksi oleh rakyat.

"Jika tidak, akan berpotensi kekuasaan yang otoriter, sakralisasi terhadap institusi kepresidenan yang disebut power tend to corrupt, absolut power, corrupt absolutly. Kekuasaan dikorupsi dengan semena-mena," lanjut dia.

Menanggapi Muzammil, anggota DPR RI dari Fraksi PDIP Jimmy Demianus Ijie mengatakan, RKUHP perlu ditunda pengesahannya.

Sumber: Kompas
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved