Kajian
Memberontak Penguasa Meski Zalim Dilarang dalam Islam, Berikut Wasiat Rasulullah kepada Para Sahabat
Aksi kudeta atau memberontak kepada pengusaha yang sah dilarang dalam Islam. Rasullulah berwasiat agar umat Islam taat pada penguasa yang sah.
Penulis: Hilda Rubiah | Editor: Kisdiantoro
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Hilda Rubiah
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Aksi kudeta atau penggulingan kekuasaan mungkin sudah familiar didengar masyarakat, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Penguasa atau presiden digulingkan dan diambil alih kekuasaannya oleh kelompok tertentu menyebabkan kerusakan bahkan hingga memusnahkan suatu bangsa atau negara.
Tak jarang penggulingan tersebut disulut oleh munculnya aksi kelompok pemberontak yang menisbahkan dirinya berlandaskan Islam atau agama.
Dalih memprotes kesalahan penguasa, mereka lantang menyatakan memerangi dan melakukan tindakan yang juga justru tak sesuai landasan agama Islam itu sendiri.
Perlu diketahui ternyata memberontak penguasa atau pemimpin itu dilarang oleh agama Islam, dilarang dalam Alquran dan disebutkan dalam hadis Rasulullah Muhammad SAW.
• 33 Terduga Teroris Ditangkap di Kalteng, Dijanjikan Kerja di Tambang Emas dan Dapat Pelatihan
Dalam kajian Kitab Syahrus Sunnah Imam Al-Barbahary, Ustaz Hafizh Abdul Rohman, menjelaskan bahwa manusia umumnya lupa akan larangan tersebut.
"Larangan memerangi kekhilafahan semestinya ditunjukkan oleh kaum Muslimin kepada pemimpinnya," ujar Ustaz Hafizh Abdul Rohman, saat ditemui Tribun Jabar seusai mengisi kajian, Senin (24/6/2019).
Ustaz Hafizh Abdul Rohman, memaparkan dalam Kitab Syahrus Sunnah Imam Al-Barbahary menjelaskan, "Tidak dihalalkan bagi siapapun menyerang atau memberontak Sulton (Penguasa atau Pemimpin) muslim sekalipun ia zalim."
Ustadz Hafidz menerangkan penguasa yang dimaksud adalah baik penguasa dari kalangan amirul mu'minin atau disebut presiden, khalifah sebagai seorang raja atau lain sebagainya.
Selagi penguasa tersebut seorang Muslim, memiliki status sebagai penguasa, maka siapaun yang menjadi rakyat wajib untuk tetap taat, mendengar, dan bersabar, kendati mendapati kedzaliman-kedzaliman dari mereka (penguasa).
Dilarang Memberontak
Ustaz Hafizh Abdul Rohman menyebutkan, tidak dihalalkan dua hal, menyerang dan memberontak baik dengan senjata maupun memberontak dengan ucapan.
• Wali Kota Tri Rismaharini Dirujuk ke RSUD Dr Soetomo, Perlu Tindakan Medis Lebih Jauh
Kendatipun jika pemimpin yang ditemui yang ada ternyata melakukan kesewenang-wenangan, zalim, melakukan perkara tidak sesuai syariat, dan dimurkai Allah SWT, namun selagi status Muslim masih disandang oleh penguasa atau pemimpin tersebut, maka tetap wajib assam'mu wathoah, mendengar, dan taat.
Bahkan walaupun yang menjadi pemimpin adalah seorang hamba sahaya dari habasyah sekalipun, orang yang berkulit hitam legam, bahkan kepalanya bagaikan kurma yang sudah mengering, atau seseorang yang tidak sempurna fisiknya, paparnya.
Wasiat Rasulullah
Dikatakan Ustadz Hafizh, Rasulullah Muhammad SAW berwasiat jika sudah terlanjur terjadi di mana seseorang berhasil menaklukkan manusia dan menyandang status sebagai penguasa maka tetap harus mendengar dan taat.
"Rasulullah Muhammad SAW mewasiatkan kepada kita agar mendengar dan taat, walaupun mendapatkan pemimpin hamba sahaya dari Habasyah, orang yang tidak sempurna fisiknya," ungkap Ustaz Hafizh Abdul Rohman.
Menurut Ustadz Hafizh Abdul Rohman, mendengar dan taat dalam kebaikan bukan berarti seseorang itu tidak berpangku tangan.
Selama perkara tidak menyangkut amalan nahimunkar maka itu menjadi perkara yang berlainan.
Perintah mendengar tidak berkonsekuensi berarti membenarkan setiap perbuatan buruk yang dilakukan penguasa itu.
"Tidak berkonsekuensi bahwa kita tidak boleh meluruskan mereka, tidak memberi nasihat kepada mereka, tidak. Namun dalam perkara yang ma'ruf perkara yang tidak bertentangan dengan syariat maka kita wajib taat," jelasnya.
Di sisi lain, jika seseorang mampu memberikan nasihat kepada penguasa maka sebaiknya dilakukan, karena pun agama adalah nasihat, termasuk bagi penguasa atau pemimpin.
• Dua Ular Piton Panjang 3 Meter Ditemukan Warga di Rerumputan di Lokasi Pengerukan Sungai Citarum
Tetapi, imbunya, mesti diingatkan dalam Islam, segala sesuatu dalam hal ini nasihat harus dilakukan sesuai dengan jalannya, sesuai dengan ilmu dan syariat.
Tidak sekadar melaksanakan suatu maksud, namun menasihati pemimpin alangkah baiknya dilakukan dengan cara yang baik, tidak dengan cara terang-terangan, karena dengan hal itu lebih maslahat bagi semua pihak.
Ustaz Hafizh Abdul Rohman menceritakan dari sumber hadits yang menerangkan wasiat Rasulullah melalui Abu Dzarrin Al Ghifari
Rasulullah Muhammad SAW berkata, "Tidak halal baginya seseorang memberontak kepada penguasa kendatipun ia zalim."
Kata Rasulullah, maka bersabarlah, walaupun yang menjadi pemimpin kalian adalah hamba sahaya.
Rasulullah Muhammad SAW juga berwasiat kepada kaum Ansor. Ketika Rasulullah Muhammad SAW membagikan tanah yang ada di Bahrain pada zaman dulu, maka Ansor berkata kepada Rasulullah Muhammad SAW bahwa mereka tidak mau menerima tanah tersebut sebelum orang-orang Quraish kebagian.
Lalu Rasulullah Muhammad SAW mengatakan, kelak kalian akan mendapati orang-orang atau pemimpin yang egois, di mana mereka hanya mementingkan dirinya, ia tidak perduli atas kemaslahatan orang lain.
• Gara-gara Plesiran Keluar Lapas, Setya Novanto Mendekam di Lapas Teroris Menyusul Gayus Tambunan
Dikatakan Ustadz, jika menemukan orang seperti demikian, Rasulullah Muhammad SAW menganjurkan untuk bersabar, dan yang dikatakan Rasulullah adalah bersabar sampai kalian berjumpa dengan Aku (Rasulullah) kelak di telaga (akhirat).
Diterangkan bahwa demikian untuk menghadapi penguasa zalim, tidak memperdulikan hak-hak rakyatnya adalah dengan cara bersama-sama berusaha mengubah pemimpin dengan cara syar'i.
"Jangan sampai kezaliman penguasa kemudian dihadapi dengan kedzoliman rakyat dengan memberotak, atau menempuh jalan yang tidak disyariatkan islam," tegasnya.
Pemberontakan adalah Kerugian dan Kehancuran
Dalam kesempatan yang sama, Ustaz Hafidz juga menerangkan bawha tidak sama sekali termasuk sunnah, dalam arti bukan termasuk ajaran Rasulullah untuk melakukan menyerang dan memberontak kepada Sulton (Penguasa).
Pasalnya dalam pemberontakkan itu terdapat kerusakan, kerugian, dan keburukan.
Bahkan keburukan tersebut dapat menimpa agama hingga dunia.
Disebutkan, Syeikh Tsani Fauzan berkata, tidak diperkenan bagi siapapun, entah itu ulama, tokoh masyarakat, tokoh publuk atau siapapun menyerang dan memberontak penguasa.
Begitupun kata Ustadz, dengan memberontak kepada penguasa menggunakan senjata tidaklah menghasilkan sesuatu kecuali kerugian, kerusakan yang besar.
"Jika dibandingkan dampak dari pemberontakan tersebut kerugian lebih besar dari pada sabarnya kita di dalam menghadapi penguasa yang zalim tersebut," tegasnya.
Menurutnya, jika masyarakat hendak menahan diri dari penguasa zalim mungkin kerusakan yang terjadi tidak lebih besar dari pada kerusakan yang ditimbulkan dengan pemberontakan.
Karenanya, pemberontakan hanya akan menimbulkan kekacauan, pertumpahan darah, maka antara rakyat dengan penguasa yang dikorbankan adalah nyawa.
Sementara, kata Ustadz, nyawa seorang muslimin itu mahal. Muslimin tidak boleh diganggu, hartanya dirampas, darah ditumpahkan, fisiknya disakiti, kehormatannya dijatuhkan, termasuk penguasa, katanya.
"Mereka menciderai apa yang menjadi kehormatan seorang muslim, baik yang berkaitan dengan hartanya, jiwa dan lainnya," ujar Ustadz.
Pemberontak adalah Virus Khawarij
Dijelaskan Ustadz Hafidz, penguasa zalim sesungguhnya bukanlah barang baru di muka bumi ini, sudah sejak zaman dulu pemimpin yang zalim sudah ada.
Demikian yang dimaksud perkataan Imam Al-Bahbahary yakni memberontak atau memerangi kepada penguasa sebagaimana yang tergambar dan telah dilakukan oleh orang-orang Khawarij.
"Barangsiapa yang zalim kepada pemerintah atau penguasa yang Muslim maka ia seperti para khawarij," ujar Ustadz.
Dijelaskan Ustadz, Khawarij adalah orang-orang yang paling semangat dalam ibadah kepada Allah SWT.
Jika dibandingkan dengan para Sahabat, dari dzhahirnya orang Khawarij lebih baik dalam hal beribadah, semisal shalat, puasa dan ibadah lainnya.
Dikatakan Ustadz, Rasulullah pernah bercerita jika kelak akan ada keturunan di mana para sahabat merasa kerdil dalam hal ibadah mereka jika dibandingkan dengan ibadah keturunan Dulkhuwaisyiroh.
Hanya saja, golongan mereka itu membaca Alquran tapi tidak sampai melewati kerongkongannya dan hatinya.
Mereka keluar melesat dari islam, seperti melesatnya anak panah menembus sasarannya.
"Mereka disebut khawarij karena keluar dari pemimpin yang sah. Keluar dari kepemimpinan Ali," ungkap Ustadz.
Sebelumnya khawarij juga telah memberontak kepemimpinan Utsman hingga wafat pada peristiwa tersebut.
Begitupun Ali, sudah berkali-kali khawarij hendak membunuh Ali karena mereka beranggapan kepemimpinan Ali tidak berlandaskan hukum islam.
• Saat Hendak Beli Buah, Terduga Teroris Diringkus Densus 88 Antiteror, Polisi Geledah Rumahnya
Menurut Ustdaz, Khawarij terkena subhat, kerancuan, mereka membawakan ayat atau dalil untuk mengkafirkan para sahabat atau siapapun yang dianggap mereka bertindak salah.
"Oleh karena itu, sangat berbahaya sekali orang-orang yang terkena virus khawarij," tegasnya.
Karena dari sudut pandang kaum Khawarij, kaum Muslimin lainnya dianggap mereka kafir.
Ustadz Hafizh Abdul Rohman mengatakan, terdapat dua tipe Khawarij, yakni khawarij yang melakukan pemberontakan dengan ucapan dan Khawarij yang melalukan pemberontakan dengan tindakan.
Bagi mereka yang memberontak melalui ucapakan maka dihadapi dengan cara dan sikap lebih baik.
Karenanya yang perlu dilakukan adalah mencabut subhat-subhat yang ada di dalam pikir dan cara pandang.
"Diajarkan bagaimana yang benar, dibantah kesalahan dan subhat yang ada di kepala mereka," ujarnya.
Khawarij tipe kedua adalah Khawarij yang memberontak menggunakan senjata, seperti halnya Khawarij yang menyerang sahabat Ali Bin Abitolib.
Dijelaskan Ustadz Hafizh Abdul Rohman, dalam kaidah umum masyarakat memang harus lantang dan tegas kepada siapa saja yang memberontak kepada penguasa.
Namun juga masyarakat tidak boleh menyundut sembarangan menuduh secara praktiknya.
"Barangkali mereka juga tidak paham bahwa apa yang mereka lakukan adalah bertentangan dengan Islam, itu adalah virus atau penyakit," kata Ustadz.
Maka, sikap terbaik kau Muslimin adalah menyerahkan urusan tersebut kepada para ulama yang mendalam ilmunya, yang bertindak dan memvonis.
Adapun seseorang pun fokus hanya mengetahui bahwa tindakan tersebut keliru, ucapan tersebut keliru, aqidah tersebut keliru.
Artinya sebaiknya pula, masyarakat tidaklah menilai personal baik secara langsung maupun di media sosial.
Pemerintahan adalah Pemelihara Bumi
Dijelaskan oleh Ustadz Hafizh Abdul Rohman, Rasulullah Muhammad SAW mewajibkan pengangkatan seseorang sebagai pemimpin dalam seluruh jenis perkumpulan.
السَّلْطَانُ ظِلُّ اللهِ فِي اْلأَرْضٍ
“Sesungguhnya sultan atau penguasa adalah naungan Allah di bumi.” HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra, no. 8/162.
Bahkan dalam firman-Nya, Allah SWT juga telah mewajibkan amar ma’ruf nahi mungkar dan perkara lainnya bahwa kewajiban ini akan sempurna ditunaikan dengan adanya kekuatan dan kepemimpinan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata, wajib diketahui bahwa mengangkat pemimpin untuk mengatur urusan manusia termasuk kewajiban agama dan tanggung jawab terbesar.
Bahkan tidak akan tegak agama dan tidak pula dunia kecuali atas kepemimpinan dan penguasa.
• Kekeringan, Belasan Hektare Sawah di Kabupaten Cirebon Gagal Panen
"Manusia tidaklah sempurna, oleh karena itu kemaslahatan mereka dilakukan dengan ijtima’ (berkumpul dan berjamaah), karena pula kebutuhan sebagian mereka kepada sebagian yang lain," ujarnya.
Ustadz Hafidz Hafizh Abdul Rohman menerangkan daulah Islamiyyah (kepemimpinan berazaskan dinul Islam) memang sangatlah penting dan berarti bagi kehidupan beragama kaum muslimin.
Namun yang perlu diperhatikan dan menjadi catatan penting yakni tujuan perkara tersebut.
“Tujuan agama yang hakiki adalah menegakkan undang-undang kepemimpinan yang baik dan juga terbimbing."
Jika ada orang yang berkata bahwa masalah imamah (kepemimpinan) adalah tujuan yang paling penting dan utama dalam hukum-hukum agama dan kaum Muslimin, maka orang yang berkata itu sesungguhnya tidak tahu, tak paham atau berdusta.