Begini Sejarah Gamelan Renteng yang Dimainkan di Posko Mudik Laskar Agung Macan Ali Cirebon
Posko mudik Laskar Agung Macan Ali Cirebon menghibur para pemudik yang tengah beristirahat dengan memainkan gamelan.
Penulis: Ahmad Imam Baehaqi | Editor: Ichsan
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Ahmad Imam Baehaqi
TRIBUNJABAR.ID, CIREBON - Posko mudik Laskar Agung Macan Ali Cirebon menghibur para pemudik yang tengah beristirahat dengan memainkan gamelan.
Gamelan yang digunakan di posko itu merupakan gamelan renteng peninggalan ratusan tahun lalu dari masa Sultan XI Kesultanan Cirebon.
Ketua Laskar Agung Macan Ali, Prabu Diaz, mengatakan, gamelan tersebut berlaras Pelog khas Cirebon.
Karenanya, gamelan renteng juga sering disebut gamelan Pelog ataupun gamelan Cirebon.
"Gamelan laras Pelog ini sudah ada sejak abad ke-16 tepatnya tahun 1450 - 1510," kata Prabu Diaz saat ditemui di posko mudik Laskar Macan Ali di simpang tiga Jalan Kalijaga, Kota Cirebon, Selasa (4/6/2019).
Ia mengatakan, pada masa itu gamelan sebagai sarana syiar Islam dan penyemangat pasukan Cirebon saat berperang.
Selain itu, jam terbang gamelan laras pelog itupun sudah sangat tinggi.
• Gerobak Motor Ini Sehari-hari Dipakai Angkut Sampah, Lebaran Dipakai Mudik, Ini Tulisan di Motornya
Bahkan, pernah dibawa pasukan perang Keraton Cirebon untuk mengusir tentara Portugis di Sunda Kelapa.
Pada 1527, Sunan Gunung Jati menyerahkan Duaja atau simbol Macan Ali Kesultanan Cirebon kepada Fatahilah.
"Duaja dibawa ke medan perang untuk mengusir Portugis dari Sunda Kelapa," ujar Prabu Diaz.
Menurut dia, dalam peperangan itu pasukan Fatahilah diberi musik penyemangat dengan musik gamelan renteng.
• Banyak Dipakai untuk Bikin Opor, Harga Daging Ayam dan Daging Sapi di Purwakarta Pun Naik
Alunan gamelan laras Pelog itu membuat pasukan menjadi semakin guyub dan berani melawan Portugis.
Saat Portugis terusir dari Sunda Kelapa, Gamelan Pelog pun dikembalikan ke Kasultanan Cirebon.
Kini Gamelan Cirebon tersebut menjadi salah satu warisan budaya Cirebon yang harus terus dilestarikan.
"Kami angkat lagi untuk mengingatkan bahwa seni budaya kita itu bernilai tinggi," kata Prabu Diaz.