Dokter Curiga KPPS Meninggal Bukan Karena Kelelahan: 22 Tahun Jadi Dokter Belum Nemu Mati Kelelahan
Dr Ani Hasibuan mengatakan beban kerja yang diemban petugas KPPS tidak begitu menguras tenaga hingga menyebabkan kematian.
Penulis: Fidya Alifa Puspafirdausi | Editor: Fauzie Pradita Abbas
TRIBUNJABAR.ID - Tercatat 554 petugas Kelompk Penyelenggara Pemungutan Suara ( KPPS) meninggal dunia.
Dugaannya, mereka meninggal karena kelelahan bekerja saat Pemilu 2019.
Dalam Catatan Demokrasi Kita edisi Selasa (8/5/2019), seorang dokter spesialis syaraf, Dr Ani Hasibuan menyatakan analisisnya terkait insiden tersebut.
Ia mengatakan tidak mungkin hanya faktor kelelahan bisa menyebabkan kematian pada seseorang.
Menurut Dr Ani Hasibuan, penyebab kematian pada manusia ada dua, yakni jantung berhenti dan batang otak berhenti bekerja.
Dr Ani Hasibuan mengatakan beban kerja yang diemban petugas KPPS tidak begitu menguras tenaga hingga menyebabkan kematian.
"Saya melihat beban kerjanya KPPS. Itu beban kerjanya saya lihat tidak ada fisik yang sangat capek. Kan dia bergantian ada 7 orang. Ada aturan boleh berhantian," ucap Ani Hasibuan.
Menurutnya ratusan KPPS meninggal karena kelelahan adalah tidak tepat.
Bahkan, Ani Hasibuan mengatakan selama kariernya sebagai dokter ia tidak pernah mengalami pasien yang meninggal karena kelelahan.

"Jadi kematian karena kelelahan saya belum pernah ketemu. Saya ini sudah 22 tahun jadi dokter belum pernah saya ketemu adalah penyebab kematian karena kelelahan," ucap Dr Ani Hasibuan.
Dari hasil analisisnya, mungkin saja kelelahan menjadi faktor yang memicu sakit jantung hingga berdampak pada kematian.
"Kalau dia ada gangguan jantung di awal, oke. Kemudian fisiknya diforsisr kemudian sakit jantungnya terpicu dia meninggal, karena jatungnya dong bukan karena kelelahan," jelas Ani Hasibuan.
• Meski Sakit Jantung Ocid Memaksa Tugas Sebagai Ketua KPPS, Meninggal Dunia Setelah 14 Hari Dirawat
Secara tegas, Ani Hasibuan menyebut kelelahan tidak bisa menjadi faktor langsung yang menyebabkan seseorang meninggal.
Ia menyebut sejumlah penyakit yang bila terpicu kelelahan bisa menimbulkan kematian.
"Misalnya ada orang dengan tumor otak, tapi beban kerjanya besar, mikir, psikis yaudah ada masalah di neurotransmitir," katanya.
"Kelelahan macam apa yang menimbulkan gangguan pada hemodinamic system ? Kematian cuma karena dua, karena jantungnya berhenti, yang kedua karena batangnya otaknya berhenti. Dan itu tidak bisa hanya karena kelelahan murni," ucap Ani Hasibuan.
Terkait kematian petugas KPPS yang begitu besar, Ani Hasibuan meminta agar mereka diautopsi sehingga penyebab kematian diketahui secara jelas.
"Tiba-tiba KPU jadi dokter forensik, menyebutkan COD (Cause of death) kelelahan. Mana buktinya? pemeriksaannya? Yang saya minta ayo dong diperiksa. Saya enggak ada urusan soal politik. KPU harus tanggung jawab. Urus nih, kenapa yang 500 orang meninggal? Saya minta ini diotopsi," sambungnya.

Jangan Dipolitisasi
Ketua Tim Kampanye Daerah Jokowi-Maruf Amin wilayah Jawa Barat Dedi Mulyadi mengimbau semua pihak agar tidak memanfaatkan gugurnya petugas penyelenggara pemilu sebagai ajang politisasi baru demi memenuhi hasrat politik pasca-pemilu.
Menurut Dedi, banyak orang tampil memberikan rasa empati, tetapi dengan tujuan-tujuan politik tertentu, yaitu sebagai pelampiasan atas kekecewan politik yang terjadi saat ini.
"Jangan manfaatkan gugurnya petugas pemilu sebagai upaya untuk melampiaskan seluruh kekecewaan politik yang terjadi saat ini pasca-Pilpres 2019. Tetapi sebaiknya rasa empati itu ditumbuhkan dengan langkah nyata," kata Dedi di Purwakarta, Rabu (8/5/2019).
Langkah nyata dimaksud Dedi adalah mendorong pemerintah meningkatkan jumlah santunan dan memberikan jaminan terhadap keluarga, baik istri maupun anak agar mereka mendapat kehidupan dan pendidikan yang layak ke depan.
• Banyak Petugas KPPS Gugur, KPU Kota Bandung Harap Caleg Terpilih Aktif Evaluasi Pemilu 2019
"Itu lebih clear, daripada terus muter-muter menjadi wacana politik yang tidak berkesudahan tetapi tidak memberikan implikasi apa pun bagi keluarga yang ditinggalkan," kata ketua DPD Golkar Jawa Barat ini.
"Jadi, keluarga korban yang gugur jangan hanya dikasih suguhan perdebatan yang tidak berakhir, yang hanya memuaskan para pihak yang berkepentingan terhadap politisasi masalah gugurnya para petugas KPPS," ujar mantan bupati Purwakarta dua periode ini.
Menurut Dedi, gugurnya petugas pemilu sebaiknya melahirkan rasa empati yang bertanggung jawab. Rasa empati itu adalah dalam bentuk pertanggungjawaban terhadap kehidupan keluarganya, baik untuk sekarang maupun ke depan.

Langkah nyatanya adalah memberikan jumlah santunan yang cukup memadai untuk modal hidup keluarga dan menjamin anak-anak almarhum tetap bersekolah sebagaimana biasanya.
"Tetapi ada juga yang langsung memberikan empati, tampil di publik memberikan pembelaan tapi minim langkah nyata yang diberikan kepada keluarga korban," kata Dedi.
Dedi Mulyadi sendiri telah menunjukkan langkah nyata dengan mengangkat anak-anak petugas penyelenggara pemilu yang meninggal saat bertugas sebagai anak asuh.
Dedi mengaku sudah melayat ke rumah sejumlah petugas penyelenggara pemilu yang meninggal. Salah satunya ke rumah keluarga Deden Damanhuri, ketua KPPS di Kampung Sukalaksana, Desa Cipeundeuy, Kecamatan Bojong, Kabupaten Purwakarta.
Deden meninggal seusai menjalankan tugasnya menyelenggarakan pemilu pada Rabu 17 April 2019. Dalam kunjungannya, Dedi diterima Popon Komariah (40), istri almarhum Deden Damanhuri. Popon menyambut Dedi bersama tiga orang putrinya.
Dedi juga mengunjungi keluarga Carman, anggota KPPS di salah satu TPS di Desa Gardu, Kiarapedes, Kabupaten Purwakarta.
Dedi mengatakan siap menanggung semua biaya hidup dan pendidikan anak-anak Deden dan Carman.
"Mulai sekarang mereka bertiga menjadi anak asuh saya karena saya tidak tega mereka menjadi janda dan yatim. Untuk biaya hidup dan biaya pendidikan sampai dengan lulus saya yang tanggung, bila perlu sampai dengan perguruan tinggi," ujar Dedi, saat itu.
Selain itu, Dedi juga berjanji akan memerhatikan keluarga petugas pemilu yang meninggal di sejumlah daerah di Jawa Barat.
(Tribun Jabar/Haryanto)