Pilpres 2019
Update: Jumlah Anggota KPPS yang Meninggal Sudah Mencapai 119 Orang, 548 Lagi Sakit
Selain itu, 548 orang dilaporkan sakit. Jumlah ini mengacu pada data Komisi Pemilihan Umum ( KPU) Selasa (23/4/2019) pukul 16.30 WIB.
TRIBUNJABAR.ID, JAKARTA - Jumlah anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara ( KPPS) yang meninggal dunia bertambah menjadi 119 orang.
Selain itu, 548 orang dilaporkan sakit. Jumlah ini mengacu pada data Komisi Pemilihan Umum ( KPU) Selasa (23/4/2019) pukul 16.30 WIB.
Selain anggopta KPPS, petugas dari kepolisian yang turut menjaga keamanan penyelenggaraan Pemilu 2019 juga turut menjadi korban.
Tak kurang dari 15 anggota polisi juga meninggal dunia dalam tugas saat menjaga berlangsungnya proses pemilu.
"Petugas kami yang mengalami kedukaan ada 667 orang, 119 meninggal dunia, 548 sakit," kata Komisioner KPU Viryan Azis di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (23/4/2019) seperti dikutip Kompas.com.
Jumlah tersebut tersebar di beberapa kabupaten/kota di 25 provinsi. Anggota KPPS yang meninggal dunia maupun sakit disebabkan karena kelelahan dan kecelakaan.
KPU berencana memberikan uang santunan kepada keluarga petugas yang meninggal maupun mereka yang sakit.
Data KPU Senin (22/4/2019) sore menyebutkan, sebanyak 90 anggota KPPS meninggal dunia usai bertugas.
Jumlah ini berasal dari sejumlah daerah di 15 provinsi di Indonesia.
Ketua KPU, Arief Budiman, mengatakan pihaknya bakal mengevaluasi sistem pemilu serentak 2019.
Hal ini dilakukan setelah banyaknya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia saat menjalankan tugasnya.
Para petugas mengalami kelelahan akibat proses penghitungan dan distribusi suara yang cukup lama.
"Ya nanti kita evaluasi," ujar Arief Budiman di Kantor KPU.
Arief Budiman mengakui tugas yang dijalankan oleh petugas KPPS sangat berat.
Beban kerja yang berat, menurut Arief Budiman membuat banyak petugas KPPS kelelahan.
"Memang pekerjaannya berat, memang pekerjaannya banyak, maka ya orang sangat mungkin kelelahan dalam menjalankan tugas," tutur Arief Budiman.
Namun Arief Budiman mengakui sangat dilematis jika jam kerja disesuaikan seperti jam kerja normal.