Kisah Hidup Sukarno Pasca Supersemar: Tinggal di Rumah Kotor, Kehabisan Uang, Sulit Bertemu Keluarga

Seiring dengan hilangnya kekuasaan yang dulunya dimiliki, kehidupan Sukarno atau Bung Karno pun mulai berubah secara drastis.

Penulis: Yongky Yulius | Editor: Widia Lestari
ist/dok.Sekretariat Negara RI via Tribunnews
Presiden pertama RI, Soekarno, saat menangis di makam Jenderal Ahmad Yani 

TRIBUNJABAR.ID - Terbitnya Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar 1966 membuat situasi politik nasional berubah.

Pasca Supersemar, kekuasan Sukarno atau Bung Karno sebagai presiden, berangsur-angsur memudar.

Hingga akhirnya, pasca Supersemar itu, kekuasaan Sukarno atau Bung Karno sepenuhnya berpindah tangan ke Presiden Soeharto.

Seiring dengan hilangnya kekuasaan yang dulunya dimiliki, kehidupan Sukarno atau Bung Karno pun mulai berubah secara drastis.

Dilansir TribunJabar.id dari Kompas.com, Senin (11/3/2019), mantan ajudan Sukarno, Sidarto Danusubroto, menceritakan kisah hidup sang proklamator pasca Supersemar.

Diceritakan oleh anggota kepolisian yang menjadi ajudan terakhir Bung Karno ini, masa peralihaan kekuasaan berjalan panjang.

Kala itu, Sidarto bertugas mengawal Sukarno sebagai Presiden Republik Indonesia hanya pada 6-20 Februari 1967, hanya dua pekan.

Hari Ini Supersemar 11 Maret, Awal Kejayaan Soeharto Setelah Soekarno, Jadi Presiden Selama 32 Tahun

Setelahnya, kekuasaan beralih kepada Jenderal Soeharto.

Meski kekuasaan telah beralih ke Soeharto, Sidarto tetap menjadi ajudan Bung Karno yang statusnya "presiden nonaktif".

Dalam berbagai kegiatan, Sidarto tetap mendampingi Sukarno.

Bahkan, Sidarto menyaksikan ketika Sukarno tak diperbolehkan masuk ke Istana.

Padahal, kala itu Sukarno baru kembali dari berkeliling Jakarta, sekitar Mei 1967.

Didampingi Sidarto, saat itu Sukarno, menyantap sate ayam di pinggir pantai Priok atau Cilincing, Jakarta Utara.

Sejak pertengahan tahun 1967 itu, Sukarno dikenai status tahanan kota.

Dia menetap di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala, Jakarta).

Kesulitan Sukarno setelah Supersemar tak berhenti sampai di situ.

Sidarto, dalam buku Memoar Sidarto Danusubroto Ajudan Bung Karno yang ditulis Asvi Warman Adam, mengungkapkan, bahwa Sukarno semakin tidak berdaya.

Yayasan Supersemar Wajib Bayar Rp 4,4 Triliun pada Negara, Tommy Soeharto Diminta Serahkan Granadi

Tak hanya tak mendapat kejelasan mengenai pembayaran gaji, Sukarno juga tak menerima kejelasan soal uang pensiun seorang presiden.

Hingga akhirnya, Sang Proklamator kehabisan uang untuk pegangan atau sekadar untuk menutup keperluan hidup selama menjadi tahanan kota di Wisma Yaso.

Dikatakan Sidarto, kala itu bahkan Sukarno memintanya mencarikan uang.

"Ini tidak mudah karena saat itu orang takut berhubungan dengan Sukarno," ujar Sidarto.

Akhirnya, Sidarto diminta Sukarno untuk menemui mantan pejabat rumah tangga Istana Merdeka, Tukimin.

Uang tunai 10.000 dollar AS berhasil diperoleh Sidarto dari Tukimin.

Namun, untuk memberikan uang itu kepada Sukarno, Sidarto harus mencari cara agar lolos dari pemeriksaan penjaga.

Saat itu, Wisma Yaso tempat Sukarno tinggal, dijaga ketat oleh penjaga.

Terpaksa, Sidarto meminta bantuan putri Sukarno, Megawati Sukarnoputri.

Uang yang telah dimasukkan ke dalam kaleng biskuit, lalu diantarkan Megawati Sukarnoputri kepada ayahnya.

"Megawati yang mengantarkannya, dan bisa lolos," kata Sidarto.

Ini Video Kesaksian Presiden Soeharto Soal Supersemar sampai Pembubaran PKI

Sidarto, selama menjadi ajudan Sukarno, juga sempat menyaksikan beberapa upacara kenegaraan.

Salah satu upacara kenegaraan yang disaksikan Sidarto, adalah proses penyerahan kekuasaan eksekutif dari Sukarno kepada Soeharto pada 20 Februari 1967.

Secara de facto dan de jure, sejak saat itu, kekuasaan berpindah dari Sukarno ke Soeharto.

Tak hanya tak mendapatkan uang dari negara, semua fasilitas kenegaraan untuk Sukarno juga dibatasi.

Bahkan, untuk sekadar pemeriksaan kesehatan pun, fasilitas untuk Sukarno dibatasi.

Hingga akhirnya, Sukarno dikenai tahanan rumah dan dibatasi aktivitasnya termasuk untuk bertemu keluarga.

Saat kondisi kesehatan Sukarno yang semakin menurun, Sidarto ditarik dari posisinya sebagai ajudan Sukarno oleh Polri Pada 23 Maret 1968.

Kala itu, dokter disebut lebih dibutuhkan ketimbang ajudan.

Dilansir TribunJabar.id dari Historia.id, sejarawan Bob Hering dalam Sukarno Arsitek Bangsa mengatakan, untuk membesuk Sukarno, keluarga dan kerabat saja kesulitan.

“Bahkan, keluarga dan kerabatnya pun sulit menemui Bung Karno. Untuk membesuk Bung Karno, mereka harus mendapat izin lebih dulu dari otoritas yang berwenang,” katanya.

Tak hanya itu, Gubernur DKI Jakarta dua periode (1966-1977), Ali Sadikin juga pernah menengok Sukarno di Wisma Yaso.

Dia mengungkapkan, bahwa keadaan tempat tinggal itu kotor, kotor sekali.

"Kebunnya tidak diurus. Di dalam ruangan di rumah itu debu di mana-mana. Padahal Bung Karno sangat menyukai kebersihan, sangat tidak senang dengan kekotoran. Jangankan pada kekotoran yang begitu tampak dan bertumpuk, debu sedikit pun tidak beliau senangi. Beliau sangat teliti, mencintai keindahan dan kebersihan.”

“Saya menjadi amat sedih. Pikiran saya, kok, mengapa tega-teganya orang terhadap beliau, sampai beliau –pemimpin bangsa itu– diperlakukan seperti itu. Saya yakin, beliau pasti menderita. Apakah itu disengaja? Masa’ ada yang sengaja berbuat begitu?” kata Ali dalam Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi karya Ramadhan KH.

Pada 21 Juni 1970, Sukarno akhirnya meninggal dunia.

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved