Ini Lho Perbedaan Klenteng dan Vihara, Simak ya Agar Tak Bingung

Padahal keduanya jauh berbeda. Perbedaan ini tampak dari umat yang menggunakannya hingga tata cara peribadatannya.

Editor: Ravianto
Tribun Jabar/Siti Masithoh
Vihara Dharma Sukha, di belakang Pasar Kue, Kabupaten Cirebon. 

 TRIBUNJABAR.ID - Masih banyak orang yang menganggap Klenteng dan Vihara adalah sama.

Banyak yang mengirang Klenteng dan Vihara merupakan tempat beribadah umat Buddha dengan konsep yang serupa.

Padahal keduanya jauh berbeda. Perbedaan ini tampak dari umat yang menggunakannya hingga tata cara peribadatannya.

Klenteng merupakan tempat beribadah bagi umat Konghucu atau Tionghoa perantauan.

Di dalam Klenteng ini terdapat berbagai macam rupang/patung dewa-dewi, di antaranya rupang aliran Buddha Mahayana, rupang aliran Taois, rupang aliran Konfusianis.

Pada awalnya, dewa-dewi itu dihormati oleh penganut marganya masing-masing.

Seiring perkembangan zaman, untuk menghormati dewa-dewi oleh berbagai macam marga, dibuatkanlah ruangan khusus yang dikenal sebagai Klenteng.

Di dalam klenteng, bagian samping atau belakang dikhususkan untuk leluhur yang masih dihormati oleh sanak keluarga masing-masing.

Adapula tempat untuk mempelajari ajaran-ajaran atau agama leluhur, seperti Konghucu, Taoisme, Konfusianis, hingga Buddha.

Dengan hadirnya Klenteng ini, muncul pula sebutan Tri Dharma, yaitu 3 Kebenaran yang mengacu pada ajaran Buddha, Taois, dan Konfusianisme.

Sementara, Vihara merupakan tempat beribadah untuk umat Buddha.

Vihara umumnya tidak memiliki banyak rupang/patung, hanya ada patung Buddha atau patung Kwan Yin.

Jika di altar Vihara hanya ada satu rupang Buddha, maka itu adalah Vihara Aliran Threavada. Rupang tersebut adalah Rupang Buddha Gautama.

Namun, jika di altar terdapat tiga rupang, maka kemungkinan besar Vihara itu menganut Aliran Mahayana.

Apabila di altar Vihara itu ada Rupang Buddha yang berada di tengah, itu adalah Rupang Buddha Amitabha atau Amitayus.

Walaupun berbeda aliran, di Vihara biasanya terdapat satu ruang kebaktian yang bisa digunakan oleh kedua aliran secara bergantian.

Di Vihara juga biasanya umat beribadah dengan cara berjemaat bersama bhikkhu atau dhammadutta, bersifat kebaktian, serta ada jam tertentu.

Sedangkan di Klenteng, umat bisa beribadah secara individual, pasang dupa sendiri, serta tata cara beribadahnya pun ada alurnya. Dari satu dewa ke dewa lain.

Perbedaan Klenteng dan Vihara ini sempat menjadi rancu setelah peristiwa G30S/PKI pada 1965.

Imbas peristiwa ini yakni pelarangan segala sesuatu yang mengandung budaya Tionghoa pada masa Orde Baru.

Pada masa ini, umat Tri Dharma menghadapi 'paksaan halus' untuk memeluk satu di antara lima agama yang ada di Indonesia.

Klenteng yang ada pada masa itu pun terancam ditutup secara paksa oleh Pemerintah.

Sehingga banyak di antara mereka yang akhirnya mengaku sebagai Buddhist atau beragama Buddha.

Banyak pula Klenteng mengadopsi nama dari bahasa Sanksekerta atau bahasa Pali yang mengubahnya menjadi Vihara.

Hal tersebut demi kelangsungan peribadatan umat dan kepemilikan karena bisa mencatatkan surat izin dalam naungan agama Buddha.

Sejak saat itulah muncul kerancuan dalam definisi serta fungsi Klenteng dan Vihara.(*)

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved