Di Lukisan Ini, Wajah Diponegoro Muda Digambarkan Menyerupai Jokowi, Terselip Keris di Perutnya
Wajah lukisan yang menggambarkan figur Abdurohim alias Pangeran Diponegoro saat berusia 20 tahun ini menyerupai Jokowi.
“Pernah terlintas di ide, saya ingin menggambarkannya serupa sosok-sosok santri zaman now, zaman milenial yang rambutnya gondrong. Kontemporer pokoknya,” ujar teman sekolah penyair Wiji Thukul.
Namun gagasan itu berubah.
Sigit memilih untuk menyesuaikan penggambaran dengan situasi politik terkini, meski ia tidak bermaksud menempatkan karyanya sebagai produk politik.
“Tafsir terserah ke penonton,” katanya.
• Fahri Hamzah Blak-blakan Mengenai Jokowi, dari Ingin Membantu tapi Tak Tahu Cara sampai soal Prabowo
Setelah bergelut lama dengan ide-idenya, dan banyak berdiskusi dengan kurator pameran, Dr Mikke Susanto, akhirnya tercapai kesesuaian.
“Saya kemudian membuat desain menggunakan komputer,” lanjutnya.
Hal lain di luar penggambaran wajah yang memerlukan diskusi panjang, Sigit juga menghadapi tantangan tentang penggambaran keris yang identik dengan Diponegoro.
“Apakah santri dulu selalu bawa keris?” gugatnya.
“Bagaimana letak penempatan keris jika memang dibawa? Di depan atau belakang?” lanjut Sigit yang kemudian memilih tetap untuk memvisualisasikan sang figur itu menggenggam warangka keris yang terselip di perutnya.
Teks babad dari kurator dan penyelenggara pameran yang diberikan ke Sigit Santoso, baginya sebagai seniman, terasa menyulitkan dan membatasi. Tapi ia harus berkompromi.
• Rocky Gerung Sebut Abu Bakar Baasyir Batal Bebas Gara-gara Jokowi: Dia Ingin Menambal Elektabilitas
Sebagaimana beberapa pelukis lain, Sigit tetap memasukkan ciri khasnya dalam karyanya.
Latar belakang lukisan yang menggambarkan suasana malam, dengan kemunculan bulan sabit dan kelelawar yang beterbangan, bisa bertafsir banyak.
“Intrepretasi terserah penonton. Saya tidak punya kekuatan pemaksa agar masyarakat memahami karya saya. Apapun karya kalau sudah dipamerkan, itu jadi milik orang lain juga. Bebas,” tandasnya.
Namun ia tetap memberi catatan, secara hakikat, proses karya dan gagasan yang ia visualisasikan, hanya sang seniman yang tahu persis.
Ia menganalogikan situasinya dengan saat orang bertamu ke rumahnya.