Reuni Akbar Alumni 212 Dituding Bermuatan Politik, IPW: Pesertanya Tak Akan Lebih dari 20 Ribu Orang
Jelang acara reuni akbar alumni 212 yang digelar Persaudaraaan Alumni (PA) 212 dipastikan tidak akan akan membawa atribut-atribut partai politiK. . .
Penulis: Fauzie Pradita Abbas | Editor: Fauzie Pradita Abbas
TRIBUNJABAR.ID - Jelang acara reuni akbar alumni 212 yang digelar Persaudaraaan Alumni (PA) 212 dipastikan tidak akan akan membawa atribut-atribut partai politik, atau terkait capres-cawapres Pilpres 2019.
Slamet Ma'arif mengatakan, jika ada yang membawa atribut Pilpres 2019 di acara reuni akbar alumni 212, maka akan dilakukan pengamanan terhadap atribut-atribut tersebut.
Ma'arif yang juga menjadi penanggung jawab acara reuni akbar alumni 212 akan berusaha semaksimal mungkin melakukan hal tersebut.
"Bagi kita enggak perlulah bawa atribut partai mana pun. Orang juga sudah tahu 212 itu bagaimana arah perjuangannya," ujar Ketua Persaudaraan Alumni 212, Slamet Maarif dalam konferensi pers di gedung Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (28/11/2018).
Akan tetapi, pihaknya tidak bisa memastikan apakah atribut-atribut tersebut semuanya bakal diamankan.
Pasalnya, dikatakan Slamet Maarif, tim keamanan yang diturunkan jumlahnya berkisar 6 ribu personel gabungan dari laskar-laskar ormas islam.
"Nah, kalau yang hadir nanti ada 10 juta kan lain ceritanya pasti," tambahnya.
Namun kembali lagi, Ma'arif menjamin upaya semaksimal mungkin akan dilakukan pihaknya, dan salah satunya dengan bentuk sosialisasi sebelum hari H.
"Pasti kami akan upayakan semaksimal mungkin," ujarnya.
Ketua Presidium IPW: Peserta Reuni Akbar 212 di Monas Tak Lebih dari 20 Ribu Orang
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menyarankan Polda Metro Jaya tidak perlu terlalu heboh menyikapi rencana aksi Reuni Akbar Alumni 212 yang akan digelar di Monas, Jakarta Pusat, Minggu (2/12/2018).
Sebab, Neta S Pane meyakini aksi Reuni Akbar Alumni 212 tidak seheboh yang dibayangkan masyarakat, karena hanya akan diikuti tidak lebih dari 20 ribu orang.
"Dari penelusuran IPW ke kantong-kantong massa Islam di Jakarta, terlihat sikap antusias untuk mengikuti Reuni 212 tergolong rendah. Sikap antusias hanya terlihat di kalangan eks HTI, sebagian anggota FPI, dan beberapa kelompok yang selama ini dikenal sebagai garis keras. Jadi hanya akan diikuti tidak lebih dari 20 ribu orang saja," tutur Neta S Pane, Jumat (30/11/2018).
Sedangkan partai partai pendukung capres-cawapres Prabowo-Sandi masih ragu untuk ikut dalam Aksi Reuni 212.
"Sebab mereka khawatir dicap sebagai partai radikal," kata Neta S Pane.
Menurut Neta S Pane, rendahnya sikap antusiasme untuk mengikuti aksi Reuni 212 karena sebagian alumninya menilai, 'sengketa' dengan Ahok sudah selesai, sehingga mereka merasa tidak perlu lagi bersentimentil dengan reuni.
"Melihat rendahnya sikap antusias untuk mengikuti Reuni 212 ini, IPW berharap Polda Metro Jaya menyikapi aksi tersebut dengan wajar dan tidak berlebihan, sehingga tidak muncul kesan lebih banyak polisi ketimbang massa yang reuni," papar Neta S Pane.
Meski demikian, kata Neta S Pane, jajaran Polda Metro Jaya tetap harus siaga dan tegas serta profesional.
"Artinya, jika ada kelompok-kelompok massa yang bertindak radikal dan anarkis, jajaran Polda Metro Jaya jangan takut untuk menindaknya dan memproses para pelakunya secara hukum," imbau Neta S Pane.
Karenanya, IPW berharap menjelang penutupan tahun dan tahun baru, serta menyongsong awal tahun politik 2019, semua pihak harus bisa menjaga ketertiban Ibu Kota Jakarta.
"Polda Metro Jaya sebagai garda terdepan penjaga keamanan Jakarta, harus mampu menjamin stabilitas dan ketertiban ibu kota. Khusus menghadapi massa Reuni 212, jajaran Polda Metro Jaya santai saja dan jangan heboh, karena jumlah massanya tidak sebanyak yang dihebohkan di medsos," katanya.
Gerakan Jaga Indonesia Tuding Aksi Reuni Akbar Alumni 212 Sebagai Balas Budi Politik Anies Baswedan

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan didesak untuk mencabut izin reuni akbar alumni 212 yang akan berlangsung di Monas Minggu (2/12/2018).
Desakan itu disampaikan oleh massa Gerakan Jaga Indonesia dengan menggelar aksi di depan Balai Kota DKI Jakarta.
Sekretaris Jenderal Peresidium gerakan Nasional Jaga Indonesia Boedi Djarot menggatakan pemberian izin reuni akbar 212 dinilai sebagai upaya balas budi politik Anies.
Karena awal mula adanya aksi 212 pada 2016 lalu digelar saat Pilkada 2017 silam yang menuntut Ahok dipenjara akibat menistakan Agama.
"Kami tahu Anies akan melakukan balas budi terhadap mereka. Saya yakin pasti ada agenda politik didalamnya," ujar Boedi di Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (29/11/2018).
Selain itu Boedi juga menilai Reuni ini syarat dengan agenda politik dan dimotori oleh ormas terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
"Mereka (HTI) bukan organisasi agama. Mereka adalah partai yang membawa agenda politik, yaitu paham khilafah yang bertentangan dengan Pancasila. Ini aksi kepanjangan dari HTI. Mereka akan berdakwah tentang khilafah dan Gubernur memberikan izin," ungkap Boedi.
Setara Institute: Warga Sadar Kemana Arah Gerakan Politik Reuni 212
Ketua Setara Institute, Hendardi mengatakan, rencana reuni Aksi 212 telah menggambarkan secara nyata bahwa aksi yang digagas oleh sejumlah elite Islam politik pada 2016 lalu dan coba direpetisi pada 2 Desember 2018 adalah gerakan politik.
"Sebagai sebuah gerakan politik maka kontinuitas gerakan ini menjadi arena politik baru yang akan terus dibangkitkan sejalan dengan agenda-agenda politik formal kenegaraan terutama jelang Pilpres 2019," ujar Hendardi dalam siaran persnya, Jumat (30/11/2018).
Menurut dia Menguasai ruang publik (public space) adalah target para Elite 212 untuk terus menaikkan daya tawar politik dengan para pemburu kekuasaan atau dengan kelompok politik yang sedang memerintah.
"Bagi mereka public space adalah politik," ujar Hendardi.
Jadi, lanjut dia, meskipun gerakan ini tidak memiliki tujuan yang begitu jelas dalam konteks mewujudkan cita-cita nasional, gerakan ini akan terus dikapitalisasi.
"Disesalkan bahwa gerakan 212 menggunakan pranata dan instrumen agama Islam, yang oleh banyak tokoh-tokoh Islam mainstream justru dianggap memperburuk kualitas keagamaan di Indonesia," katanya.
Apapun alasannya, kata Hendardi, populisme agama sesungguhnya menghilangkan rasionalitas umat dalam beragama.
"Juga menghilangkan rasionalitas warga dalam menjalankan hak politiknya," ujarnya.
Namun demikian, menurut Hendardi, dua tahun hampir berlalu gerakan ini mulai kehilangan dukungan sejalan dengan meningkatnya kesadaran warga untuk menjauhi praktik politisasi identitas agama untuk merengkuh dukungan politik atau menundukkan lawan-lawan politik.
"Warga juga telah semakin sadar dan pandai melihat bahwa gerakan semacam ini membahayakan kohesi sosial bangsa yang majemuk. Jadi, kecuali untuk kepentingan elite 212, maka gerakan ini sebenarnya tidak ada relevansinya menjawab tantangan kebangsaan dan kenegaraan kita," katanya.