Transformasi Penampilan Ratna Sarumpaet dari Waktu ke Waktu
Berikut Tribun Jabar hadirkan transformasi Ratna Sarumpaet dari masa ke masa, hingga akhirnya operasi sedot lemak yang ditutupi dengan kebohongan.
Penulis: Indan Kurnia Efendi | Editor: Fauzie Pradita Abbas
TRIBUNJABAR.ID - Nama Ratna Sarumpaet sedang ramai dibicarakan publik belakangan ini.
Penyebabnya, tidak lain karena kabar kebohongan (hoaks) yang ia ciptakan.
Ratna Sarumpaet berbohong kepada semua orang bahwa ia mendapat penganiayaan di Bandung pada 21 September.
Nyatanya, hal itu tidak pernah terjadi.
Berbicara tentang Ratna Sarumpaet, sosoknya tidak bisa dilepaskan dari dunia seni dan aktivitas sosial.
Ratna Sarumpaet lahir di Tarutung, Tapanuli Utara, 16 Juli 1949. Setelah dari Medan, Ratna bersekolah SD hingga SMP di Yogyakarta. Barulah saat SMA, ia pergi ke Ibu Kota.
Ratna Sarumpaet sempat berkuliah di Fakultas Teknik Arsitektur UKI Jakarta, namun karena dia lebih tertarik pada dunia seni dan teater, dia pun memutuskan keluar dari kampus.
Tahun 1969, Ratna bergabung dengan sebuah grup drama dan beberapa tahun kemudian, ia mendirikan grup drama sendiri bernama Satu Merah Panggung.
Pementasan pertamanya berjudul Rubayat Umar Khayam dan sejak itu banyak dari karyanya dipentaskan di panggung teater.
Ratna juga sempat terjun ke dunia pertelevisian. Pada tahun 1991, ia menjadi sutradara serial televisi Rumah Untuk Mama yang tayang di TVRI.
Nama Ratna Sarumpaet semakin terkenal setelah muncul naskah pementasan orisinal pertamanya, Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah pada tahun 1994.
Sejak kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah itu, Ratna Sarumpaet lebih aktif secara politik.
Bahkan, beberapa di antara karya politiknya ditentang atau dibatasi oleh pemerintah Orde Baru.
Merasa kecewa dengan kepemimpinan Presiden Soeharto, selama pemilihan umum 1997 Sarumpaet dan grupnya memimpin protes pro-demokrasi.
Pada akhir 1997, Ratna menghentikan sementara kegiatannya sebagai seniman dan mengumpulkan 46 LSM dan organisasi-organisasi pro-demokrasi di kediamannya, lalu membentuk aliansi bernama Siaga.
Sebagai organisasi pertama yang secara terbuka menyerukan agar Suharto turun, Siaga menjadi salah satu organisasi paling diincar oleh aparat.
Pada Maret 1998, ia ditangkap dan dipenjara selama tujuh puluh hari karena menyebarkan kebencian dan menghadiri pertemuan politik "anti-revolusioner".
Setelah bebas dan Soeharto lengser, Ratna Sarumpaet terus berpartisipasi dalam gerakan pro-demokrasi.
Bersama Siaga, 14-16 Agustus 1998, ia menggelar “Dialog Nasional untuk Demokrasi” di Bali Room, Hotel Indonesia. Dihadiri sekitar 600 peserta dari seluruh Indonesia, forum yang dihadiri semua lapisan ini (aktivis, budayawan, intelektual, seniman dan mahasiswa) merumuskan cetak biru Pengelolaan Negara RI.
Cetak biru itu kemudian diserahkan ke DPR dan pada Habibie, sebagai Presiden saat itu.
Sebagai penggagas Dialog Nasional untuk Demokrasi serta keterlibatannya dalam Peristiwa Semanggi II membuat Ratna kembali mejadi target.
Ia dituduh mengelola gerakan para militer dan dituduh bekerja sama dengan tokoh militer tertentu melakukan pelatihan militer di wilayah Bogor.
Menhankam Pangab waktu itu bahkan secara khusus menggelar petemuan dengan para editor seJakarta mempresentasikan dan menekankan betapa berbahayanya Ratna
Ia sempat pergi ke luar negeri setelah mendengar isu bahwa ia akan ditangkap karena perbedaan pemikiran dengan pemerintah.
Bahkan pada Desember 1998, ARTE, sebuah stasiun televisi Perancis dan Amnesty International mengabadikan perjalanan Ratna sebagai pejuang HAM dalam sebuah film dokumenter (52 menit) berjudul "The Last Prisoner of Soeharto".
Pada peringatan 50 tahun Hari HAM sedunia, film ini ditayangkan secara nasional di Perancis dan Jerman.
Kembali ke Indonesia, Ratna terus menulis stageplays yang bermuatan politik.
Ia sempat didaulat menjadi kepala Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2003.
Dua tahun kemudian dia didekati oleh UNICEF dan diminta untuk menulis drama untuk meningkatkan kesadaran perdagangan anak di Asia Tenggara.
Pekerjaan yang dihasilkan berfungsi sebagai fondasi untuk debut filmnya tahun 2009, Jamila dan Sang Presiden.
Banyak penghargaan yang diterima Ratna, baik sebagai seorang aktivis atau penggiat seni.
Nama Ratna Sarumpaet kembali terdengar pada tahun 2016 lalu. Ia sempat dicurigai menjadi bagian yang diduga ingin menggulingkan pemerintahan Joko Widodo. Ia pun ditangkap dan dilepaskan keesokan harinya.
Dalam kurun waktu 2016 hingga 2018, suara Ratna cukup lantang di tengah hiruk pikuk politik Indonesia.
Menjelang pemilihan presiden 2019, ia bergabung dalam tim pemenangan salah satu calon.
Sayangnya, nama Ratna Sarumpaet tercoreng karena kebohongannya. Kini, ia pun diminta mundur dari tim pemenangan tersebut.
Begitu panjang perjalanan Ratna Sarumpaet di dunia seni, aktivis, dan politik. Penampilannya pun berubah dari masa ke masa.
Berikut Tribun Jabar hadirkan transformasi Ratna Sarumpaet dari masa ke masa, hingga akhirnya operasi sedot lemak yang ditutupi dengan kebohongan.
1. Ratna Sarumpaet (kanan) saat masih kecil, tahun 1953

2. Ratna Sarumpaet tahun 1979

3. Ratna Sarumpaet tahun 1980-an

4. Ratna Sarumpaet tahun 1987, saat ulang tahun putrinya, Aiqah Hasiholan

5. Ratna Sarumpaet bersama keluarga tahun 1988

6. Ratna saat di Australia

7. Ratna Sarumpaet tahun 1992


8. Ratna Sarumpaet tahun 1996

9. Ratna Sarumpaet saat dibawa dari Lapas menuju Pengadilan Negeri jakarta Utara pada 1998

10. Ratna Sarumpaet bebas setelah ditahan selama 90 hari pada tahun 1998

12. Ratna Sarumpaet di Aceh pada 1999

13. Ratna Sarumpaet saat Ibadah Haji tahun 2011

14. Ratna Sarumpaet 2016

15. Ratna Sarumpaet 2018

16. Ratna Sarumpaet setelah operasi sedot lemak, Oktober 2018
