Transformasi Penampilan Ratna Sarumpaet dari Waktu ke Waktu
Berikut Tribun Jabar hadirkan transformasi Ratna Sarumpaet dari masa ke masa, hingga akhirnya operasi sedot lemak yang ditutupi dengan kebohongan.
Penulis: Indan Kurnia Efendi | Editor: Fauzie Pradita Abbas
Sebagai organisasi pertama yang secara terbuka menyerukan agar Suharto turun, Siaga menjadi salah satu organisasi paling diincar oleh aparat.
Pada Maret 1998, ia ditangkap dan dipenjara selama tujuh puluh hari karena menyebarkan kebencian dan menghadiri pertemuan politik "anti-revolusioner".
Setelah bebas dan Soeharto lengser, Ratna Sarumpaet terus berpartisipasi dalam gerakan pro-demokrasi.
Bersama Siaga, 14-16 Agustus 1998, ia menggelar “Dialog Nasional untuk Demokrasi” di Bali Room, Hotel Indonesia. Dihadiri sekitar 600 peserta dari seluruh Indonesia, forum yang dihadiri semua lapisan ini (aktivis, budayawan, intelektual, seniman dan mahasiswa) merumuskan cetak biru Pengelolaan Negara RI.
Cetak biru itu kemudian diserahkan ke DPR dan pada Habibie, sebagai Presiden saat itu.
Sebagai penggagas Dialog Nasional untuk Demokrasi serta keterlibatannya dalam Peristiwa Semanggi II membuat Ratna kembali mejadi target.
Ia dituduh mengelola gerakan para militer dan dituduh bekerja sama dengan tokoh militer tertentu melakukan pelatihan militer di wilayah Bogor.
Menhankam Pangab waktu itu bahkan secara khusus menggelar petemuan dengan para editor seJakarta mempresentasikan dan menekankan betapa berbahayanya Ratna
Ia sempat pergi ke luar negeri setelah mendengar isu bahwa ia akan ditangkap karena perbedaan pemikiran dengan pemerintah.
Bahkan pada Desember 1998, ARTE, sebuah stasiun televisi Perancis dan Amnesty International mengabadikan perjalanan Ratna sebagai pejuang HAM dalam sebuah film dokumenter (52 menit) berjudul "The Last Prisoner of Soeharto".
Pada peringatan 50 tahun Hari HAM sedunia, film ini ditayangkan secara nasional di Perancis dan Jerman.
Kembali ke Indonesia, Ratna terus menulis stageplays yang bermuatan politik.
Ia sempat didaulat menjadi kepala Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2003.
Dua tahun kemudian dia didekati oleh UNICEF dan diminta untuk menulis drama untuk meningkatkan kesadaran perdagangan anak di Asia Tenggara.
Pekerjaan yang dihasilkan berfungsi sebagai fondasi untuk debut filmnya tahun 2009, Jamila dan Sang Presiden.
Banyak penghargaan yang diterima Ratna, baik sebagai seorang aktivis atau penggiat seni.