Gempa Donggala
Kisah Surantini, Ibu Hamil di Palu Ini Berlari dari Pantai menuju Bukit Jelang Tsunami Datang
Sebelum gempa dahsyat mengguncang Palu dan Donggala, ia tengah di rumah bersama anak lelakinya yang berusia 10 bulan, Jestin Rafasya.
TRIBUNJABAR.ID - Raut wajahnya sudah terlihat pasrah, perutnya yang sudah membesar pun sudah tidak ia hiraukan.
Surantini (38), warga Kampung Bamba Kadongo, Kelurahan Panau, Kecamatan Tawaeli, Kota Palu, ini tengah hamil 8 bulan.
Pada Jumat (28/9/2018) sore, sebelum gempa dahsyat mengguncang Palu dan Donggala, ia tengah di rumah bersama anak lelakinya yang berusia 10 bulan, Jestin Rafasya.
Sang suami, Jefrie (29) baru saja pulang kerja.
Seperti biasa, ia duduk santai di depan rumah yang menghadap ke Pantai Bamba.
• Hoax Bertebaran Usai Gempa dan Tsunami Palu, BMKG Sebut Cara Kenali Informasi Itu Hoaks atau Tidak
• Hanya 2 Jam, Ikatan Jurnalis Cimahi-KBB Kumpulkan Rp 10 Juta untuk Korban Gempa Palu dan Donggala
Mendadak, bumi berguncang hebat. Dinding rumah mereka pun terbelah.
"Saya refleks langsung lari ke luar rumah sambil gendong Jestin di bahu. Saya tak peduli lagi hamil. Yang saya pikirkan bagaimana saya dan anak saya selamat," tutur Surantini kepada relawan sesuai dengan rilis yang diterima Tribun Jabar dari Yayasan Harapan Amal Mulia, Selasa (2/10/2018).
Lututnya sempat terantuk batu. Tapi, Surantini tak mau menyerah.
Ia berlari sekuat tenaga hingga menjauhi pantai dan mendekati bukit. Mungkin, hingga dua kilometer jauhnya.
Suaminya, Jefrie, sibuk menyelamatkan ibu dan saudara-saudaranya yang masih di rumah.
"Alhamdulillah semua anggota keluarga mereka selamat. Sekarang tinggal di pengungsian di Desa Anja. Tak terlalu jauh dari sini," jelas wanita kelahiran Yogyakarta ini saat menengok ke reruntuhan rumahnya bersama sang suami untuk mencari sesuatu yang masih bisa dimakan.
Dikatakan Surantini, sejak kejadian gempa, ia kesulitan untuk memperoleh makanan.
"Saya makan pisang, kentang, kacang-kacangan buat bertahan hidup sama keluarga. Anak saya kasih air gula," ujar wanita berkulit sawo matang ini sambil air matanya menggenang.
Pakaian pun, kata Surantini, hanya yang melekat di badan.
Oleh karena itu, ia heran dengan belum adanya sedikitpun bantuan yang ia terima dari pemerintah.
Padahal, rumahnya jelas-jelas hancur. Makanan tidak ada. Minum pun tak lagi dari air bersih.
"Kami minum dari air sungai. Kami masak. Airnya kami endapkan dulu," ujar dia.
Surantini dan suaminya tak pernah menjarah.
Ia tak berani sedikitpun untuk menghentikan kendaraan yang membawa bantuan.
Menurut Surantini, para pelaku penjarahan justru didominasi oleh orang luar Palu, yang bukan pengungsi.
‘’Kami ini masih trauma Pak. Mana berani kami berbuat itu (menjarah,red). Kami hanya minta diperhatikan oleh pemerintah, terutama minuman dan makanan. Itu saja," ungkap dia.
Hal lain yang menjadi beban pikiran Surantini adalah kehamilannya.
Memasuki usia kehamilan 8 bulan, Surantini bingung mengenai persalinannya.
Saat diperiksa terakhir satu bulan yang lalu, dokter menyatakan janin dalam kandungannya berada dalam posisi melintang.
‘’Harus caesar kata dokter. Uang dari mana? Sekarang aja cuma punya uang Rp 200 ribu. Tak bisa dipakai. Tak ada warung yang buka, tadinya saya mau beli susu untuk anak saya," keluh Surantini.
Ia hanya berharap bisa diterbangkan ke Bandung menggunakan pesawat Hercules.
Kakaknya yang berada di Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung berjanji akan mengurus persalinannya jika bisa ke Bandung.
"Tolong tanyakan ya Pak. Barangkali saya bisa ke Bandung. Tolong ya pak," pungkas Surantini.
Ketua Tim Gabungan Relawan Yayasan Harapan Amal Mulia dan For Humanity, Ikhsan Purwana menambahkan Yayasan Harapan Amal Mulia akan berusaha untuk membantu Surantini agar bisa memperoleh persalinan yang layak.

"Mari kita sama-sama membantu Surantini dan korban gempa Palu lainnya melalui rekening Amal Mulia Bencana di Bank Syariah Mandiri No rek. 2017 00 4037 A.n Yayasan Harapan Amal Mulia Bencana," katanya. (*)