Hari Kartini
Ini Cita-cita Kartini Saat Kecil, Bukan Dokter atau Guru, Ujung-ujungnya Buat Dia Bingung Sendiri
Bukan jadi Dokter atau Guru, RA Kartini kecil justru jawab begini saat ditanya ingin jadi apa kelak.
Penulis: Indan Kurnia Efendi | Editor: Indan Kurnia Efendi
TRIBUNJABAR.ID - Sosok pahlawan nasional Raden Adjen (RA) Kartini tentunya sudah tidak asing lagi di mata publik Indonesia.
Ia dikenal sebagai tokoh emansipasi perempuan Tanah Air. Ide dan gagasannya terhadap kondisi kaum hawa di Indonesia dianggap telah membangkitkan semangat baru bagi perempuan.
Namun, saat Kartini masih kecil, tidak ada sedikitpun rencana darinya untuk menjadi pejuang bagi kaum perempuan.
Malah, ia sendiri mengaku tidak tahu apa cita-citanya saat ditanya seorang teman di sekolah Belanda.
Hal itu diketahui dari surat RA Kartini kepada Nyonya Abendanon yang dikirim pada Agustus 1990.
Di dalam surat dijelaskan, saat itu RA Kartini sedang berada di sekolah.
Seorang teman bernama Lesty ditanya Kartini mengapa dia begitu rajin membaca buku. Padahal hafalan Lesty itu bukanlah tugas yang harus dikerjakan di sekolah.
Jawaban Lesty tidak disangka. Ternyata dia sedang berusaha keras mempelajari bahasa Perancis.
Sebeb, bila Lesty tidak bisa bahasa Perancis, maka ia tidak bisa ke Belanda. Ia juga sudah 'ngebet' masuk sekolah guru.
Ya, Lesty yang disebutkan memiliki rambut pirang itu mempunyai cita-cita menjadi seorang guru yang nantinya akan berada di depan kelas memberi ilmu kepada para muridnya.
Rasa penasaran RA Kartini justru menjadi 'blunder' yang membuat Lesty balik bertanya.
Baca: Viral, Lelaki yang Bertahan Hidup dan Tinggal di Pipa Gorong-gorong, Kisahnya Menyayat Hati
Baca: Misteri Wafatnya Kartini, dari Dugaan Diracun Belanda sampai Kajian Medis Modern
Kartini ditanya apa cita-citanya di masa mendatang dan dia tidak punya jawabannya.
"Tidak tahu," kata RA Kartini.
Kala itu, Kartini memang belum memikirkan tentang masa depannya.
Pertanyaan Lesty begitu membekas di benaknya. Kartini kecil berpikir, ia juga gelisah merenungkan soal cita-cita.
Ketika pulang ke rumah, Kartini langsung mendatangi ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat.
"Akan jadi apakah saya kelak?" tanya Kartini kepada sang ayah.
Tidak ada jawaban dari Ario Sosroningrat. Ia hanya tertawa dan mencubit pipi gadis kecilnya.
Kartini yang tidak puas, enggan beranjak dan merengek meminta jawaban.
Kakaknya yang mendengar pertanyaan sang adik datang mendekat.
"Harus jadi apakah gadis-gadis? Yah, jadi Raden Ayu, tentu saja!," ujar sang kakak.
Baca: Kartini Meninggal Setelah Melahirkan, 100 Tahun Kemudian Angka Kematian Ibu Melahirkan Masih Tinggi
Baca: Dikenal Sebagai Keluarga Kaya Raya, Ternyata ini Pabrik Uang Gen Halilintar
Ada yang Lewat di Belakangnya, Ustaz Ini Kaget Sampai Loncat Dari Kursi, Ceramahnya Terganggu https://t.co/qPQgR9BJEP via @tribunjabar
— Tribun Jabar (@tribunjabar) April 20, 2018
Kartini kegirangan dan merasa puas atas jawaban itu.
'Raden Ayu.....' dua kata itu terus menerus muncul di kepalanya.
Namun ia sendiri justru kebingungan mengenai apa itu Raden Ayu.
Bertahun-tahun kemudian, Kartini sudah punya pemikiran sendiri.
Ia memberontak terhadap 'keradenayuan', adat yang berabad-abad selalu dijunjung tinggi.
Meski awalnya mengikuti apa kata sang kakak soal jadi 'Raden Ayu', pada akhirnya Kartini pun melakukan perlawanan.
Berikut isi surat Kartini selengkapnya.
“…Saat itu adalah waktu bermain-main di Sekolah Belanda di sebuah tempat kecil di Jepara.
Di bawah pohon-pohon waru berbunga kuning di halaman sekolah, gadis-gadis besar dan kecil berkelompok-kelompok tak beraturan menciptakan suasana gembira akrab di atas permadani rumput hijau yang empuk halus. Panas sekali, tak ada seorang pun mau bermain-main.
‘Ayolah Letsy, ceritakan atau bacakan sesuatu,’ buku gadis berkulit coklat, yang tidak hanya karena warna kulitnya, tapi juga karena pakaiannya menunjukkan gadis Bumiputra.
Seorang gadis berambut pirang, besar, yang dengan malas bersandar pada batang pohon dan asyik membaca buku mengangkat kepalanya dan berkata: ‘Ah, tidak, saya masih harus menghafalkan pelajaran prancis saya.’
‘Itu kan dapat kamu kerjakan di rumah, sebab itu bukan pekerjaan sekolah.’
‘Ya, tapi kalau saya tidak belajar bahasa Prancis baik-baik, dua tahun lagi saya belum boleh pergi ke Negeri Belanda. Dan saya sudah ingin sekali masuk sekolah guru untuk belajar jadi guru. Kalau saya kelak tamat jadi guru, barangkali saya akan ditempatkan di sini dan saya tidak akan lagi duduk di dalam kelas, tetapi di depannya. Tetapi, katakanlah Ni, kamu tidak pernah mengatakan kepada saya, kamu kelak ingin jadi apa?’
Sepasang mata terbelalak memandang pembicara kecil dengan heran.
‘Katakanlah sekarang.’
Anak kecil Jawa itu menggelengkan kepalanya dan berkata pendek tegas: ‘Tidak tahu.’
Tidak, ia sungguh-sungguh tidak tahu. Ia tidak pernah memikirkan hal itu. Ia masih muda sekali dan menikmati betul hidup gembira anak kecil. Pertanyaan temannya yang berkulit putih itu sebenarnya meninggalkan kesan yang dalam padanya.
Pertanyaan itu membuatnya gelisah, tak henti-hentinya ia mendengar suatu dengung dalam telinganya: ‘Kamu kelak ingin jadi apa?’ Ia berpikir dan merenungkan sampai kepalanya yang kecil itu menjadi lelah.
Hari itu ia mendapat banyak hukuman pekerjaan di sekolah; pikirannya kacau sekali, kalau ditanya jawabannya sama sekali yang bukan-bukan dan dalam pekerjaannya ia membuat kesalahan-kesalahan yang paling bodoh.
Itu sangat wajar, sebab pikirannya tidak pada pelajarannya, tetapi pada apa yang didengarnya waktu istirahat tadi.
Pertama-tama yang dilakukannya ketika pulang ialah menemui ayahnya dan menanyakan masalah yang mengganggu perasaan hati itu: ‘Akan jadi apakah saya kelak?’
Ayahnya tidak mengatakan sesuatu apa pun, ia hanya tertawa dan mencubit pipinya. Tetapi anak perempuan itu tidak mau pergi dan tetap merengek-rengek minta jawaban.
Kakaknya yang mendengar pertanyaannya datang mendekati dan telinganya yang gemar sekali mendengarkan menangkap kata-kata ini: ‘Harus jadi apakah gadis-gadis? Yah, jadi Raden Ayu, tentu saja!’
Anak itu puas dan lari kegirangan.
‘Raden Ayu,’ diulang-ulangnya beberapa kali pada dirinya sendiri—‘Apakah Raden Ayu itu?’
Pikiran baru itu membuatnya tidak tenang, terus-menerus ia memikirkan dua kata itu: ‘Raden Ayu’. Ia kelak harus jadi Raden Ayu; ia memandang ke sekelilingnya, melihat dan berhubungan dengan berbagai Raden Ayu, yang diperhatikan dan dipelajarinya sejak dulu.
Dan apa yang diketahui anak tersebut dari kehidupan perempuan-perempuan itu membangunkan jiwa dalam hatinya untuk memberontak terhadap ke-Raden Ayu-an; adat yang berabad-abad selalu dijunjung tinggi; gadis-gadis harus kawin, harus menjadi milik orang laki-laki, tanpa bertanya apa, siapa, dan bagaimana!’.."