Potensi Tsunami Pandeglang Setinggi 57 meter, Ini 5 Penjelasan Mengenai Tsunami dari BMKG
Informasi tsunami Pandeglang, Banten setinggi 57 meter yang telah meresahkan masyarakat ternyata masih sebatas kajian ilmiah
Penulis: Yongky Yulius | Editor: Isal Mawardi
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Yongky Yulius
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Informasi tsunami Pandeglang, Banten setinggi 57 meter yang telah meresahkan masyarakat ternyata masih sebatas kajian ilmiah, bukan merupakan prediksi ke depan.
Masyarakat diimbau tak panik karena tsunami tak dapat diprediksi kapan akan terjadi sebelum penyebab atau pemicunya muncul.
Melalui tulisan ini, akan dirangkum beberapa penjelasan mengenai tsunami berdasarkan konferensi pers yang digelar oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi, di ruang informasi PVMBG, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jumat (6/4/2018).
Simak selengkapnya:
1. Pemicu Tsunami
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi, Ir Kasbani Msc, mengatakan, tsunami tidak bisa diprediksi kapan akan terjadi sebelum pemicu atau penyebabnya muncul.
"Penyebab tsunami bisa terjadi adalah karena adanya gempa bumi menengah-besar pada kedalaman dangkal, adanya erupsi gunung bawah laut, atau longsor bawah laut. Tsunami tidak bisa diprediksi kapan terjadi, karena penyebabnya sendiri kita tidak tahu kapan terjadi. Kecuali memang penyebabnya itu terjadi, (baru bisa dianalisis)," ujar Kasbani.
Baca: Ada Potensi Tsunami 57 Meter di Pandeglang, Wapres JK: Itu Hoaks
2. Upaya Mitigasi
Yang paling penting dilakukan, ujar Kasbani, adalah dengan upaya mitigasi atau upaya mengurangi dampaknya.
Upaya mitigasi itu adalah, masyarakat diimbau untuk mendirikan bangunan di luar jangkauan terjangan tsunami dan mengetahui tata cara penyelamatan diri.
Lalu, dengan membangun atau mempertahankan hutan pantai dan gumuk pasir yang secara alamiah berfungsi sebagai pemecah gelombang atau membuat bangunan pemecah gelombang.
Kemudian, membuat pelatihan tata cara menghindari tsunami. Selanjutnya, menegakkan Perda, RTRW, atau RUTR berwawasan bencana tsunami. Terakhir, dengan membentuk sistem peringatan dini tsunami.
3. Sistem Peringatan Dini Tsunami
Kepala Stasiun Geofisika Kelas I Bandung Tony Agus Wijaya, mengatakan, saat ini Indonesia telah memiliki sistem peringatan dini tsunami.
Sistem terpadu yang dibentuk sejak 2008 itu dijalankan oleh beberapa stakeholders yang berkaitan dengan masalah kebencanaan.
Baca: Wilayah Selatan Jawa Barat Berpotensi Tsunami, Ini Upaya Mitigasi Bencana Tsunami dari PVMBG
"Misal, ada gempa yang terjadi. Kami akan menganalisis apakah gempa itu berpotensi tsunami atau tidak. Apabila gempa tadi berpotensi tsunami, maka sistem akan bekerja dan langsung diinformasikan kepada masyarakat."
"Seandainya gempa itu berpotensi tsunami. Masyarakat yang kemungkinan terkena dampak pun memiliki selisih waktu sekitar 30 menit untuk penyelamatan ke dataran yang lebih tinggi. Istilahnya itu adalah golden time (waktu emas) di antara gempa dan tsunami," kata Tony.
4. Wilayah Selatan Jawa Memang Berpotensi
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi, Dr Sri Hidayati, menjelaskan, berdasarkan hasil kajian ilmiah yang didukung dengan sejarah kejadian bencana tsunami, terbukti, wilayah selatan Jawa merupakan salah satu wilayah di Indonesia dengan risiko tinggi terhadap bencana tsunami.
"Tumbukan antara lempeng Indo-Australia dan Eurasia membentuk zona subduksi Sunda, yang merupakan sumber gempa bumi utama, di sepanjang perairan selatan Jawa. Zona subduksi Sunda berpotensi menghasilkan gempa bumi dengan magnitudo hingga M 9.0 pada kedalaman dangkal."
Baca: PVMBG: Tsunami Tak Bisa Diprediksi Kapan Akan Terjadi
"Gempa bumi menengah-besar pada kedalaman dangkal berpotensi memicu kejadian tsunami. Hal ini menyebabkan wilayah pantai selatan Jawa rawan terhadap bencana tsunami," kata Sri.
5. Pemodelan PVMBG
Sri mengatakan, berdasarkan pemodelan yang dilakukan oleh PVMBG, skenario terburuk tsunami di Pandeglang, Banten, tingginya hanya berkisar di angka 10,7 meter saja.
Kendati demikian, lanjutnya, pemodelan itu sifatnya masih bersifat kajian ilmiah, masih bersifat teoritik.
Karena itu, masyarakat diimbau tak panik.
"Kapan terjadinya tsunami, berapa besarnya tsunami, di mana terjadinya, itu kita tidak tahu. Intinya, jangan terlalu panik. Itu masih kajian ilmiah, apalagi pemodelan. Pemodelan itu hasilnya tergantung input parameter. Jika mendapat informasi mengenai tsunami, masyarakat bisa konfirmasi dulu ke BMKG atau Badan Geologi," katanya.