Kisah Korban Teror Bom Bali, Ada Bagian Cerita yang Bikin Nyoman Rencini Menangis, Tak Dendam (2)

Setelah berusaha menghibur Yunikarta, Nyoman Rencini mendapat giliran untuk berbagi kisah.

Penulis: Yongky Yulius | Editor: Tarsisius Sutomonaio
Tribun Jabar/Yongky Yulius
Nyoman Rencini (47) dan Yunikarta (53) saat bercerita di hadapan wartawan dalam kegiatan short course atau pelatihan penguatan perspektif korban dalam peliputan isu terorisme bagi insan media, di Hotel Santika, Jalan Sumatera, Kota Bandung, Rabu-Kamis (21-22/3/2018). 

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG- Nyoman Rencini langsung menepuk dan mengusap punggung Yunikarta yang menangis saat sesuai menceritakan kisahnya jadi korban bom di depan Kedubes Australia.

Yunikarta masih begitu jelas mengingat kisah duka 14 tahun silam itu saat bercerita dalam kegiatan short course atau pelatihan penguatan perspektif korban dalam peliputan isu terorisme untuk insan media, di Hotel Santika, Kota Bandung, Rabu-Kamis (21-22/3/2018).

Setelah berusaha menghibur Yunikarta, Nyoman Rencini mendapat giliran untuk berbagi kisah.

Berbeda dengan Yunikarta, Nyoman Rencini, harus kehilangan suaminya saat peristiwa bom Bali I.


Suaminya sedang bekerja di sebuah restoran di dekat lokasi ledakam bom di Paddy's Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali.

Meski begitu, suara Nyoman Rencini terdengar lebih lantang dibanding Yunikarta.

Hanya, dia juga mengingatkan belasan wartawan yang hadir agar tak memintanya menceritakan secara detil kejadian yang menimpa suaminya itu.

Baca: LINK LIVE STREAMING Bhayangkara FC Vs Persija Jakarta - Laga Pertemuan Dua Kampiun

Pasalnya, dia mengaku bisa menangis jika ada bagian cerita yang seharusnya tak ia ceritakan.

Namun, Nyoman Rencini mengaku tak dendam dengan pelaku teror itu.

"Saya tidak dendam dengan pelaku," katanya. Rupanya, pikirannya hanya fokus pada satu hal.

"Bagaimana saya bisa menyekolahkan anak-anak saya tanpa seorang suami?" ujarnya.

Namun, berkat tekad kuat yang dilakoninya, Nyoman Rencini dapat menyekolahkan anak-anaknya dengan berbagai usaha kecil-kecilan yang dilakoninya.

Dalam kesempatan itu, Direktur Eksekutif Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Hasibullah Satrawi, selaku penyelenggara pelatihan, mengatakan, dalam peliputan isu terorisme, media perlu untuk menguatkan perspektif korban.

Tujuannya, minimal, agar mendorong negara dapat memenuhi hak-hak yang berhak didapatkan korban terorisme dan mengedukasi masyarakat agar tidak membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan.

Baca: Sambil Terisak, Wanita ini Mengaku Di-PHP Daus Mini, Lihat Bukti yang Dibawanya

Untuk keadilan semua, terutama keadilan korban, dia bersama AIDA, mengadvokasi para korban agar ada penguatan di tiga persoalan utama.

AIDA sendiri didirikan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih damai melalui peran korban dan mantan pelaku terorisme.

"(Persoalan) pertama, (harus ada penguatan) definisi korban tindak pidana terorismenya," ujar Hasibullah Satrawi

Kedua, jaminan negara pada masa-masa kritis, 1-2 hari setelah kejadian terorisme.


"Kami minta itu dieksplisitkan bahwa negara menjamin seluruh kebutuhan medis agar korban tidak perlu mengeluarkan identitas untuk mendapatkan layanan apalagi menunggu ada orang yang menjamin," kata Hasibullah Satrawi.

Ketiga, ucapnya, semestinya negara memberikan kompensasi sepenuhnya kepada korban.

"Bukan dengan logika pidana, karena itu tidak nyambung tapi dengan logika konstitusi. Supaya kompensasi langsung segera diberikan," katanya. (*)

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved