Tulisan Ibu Hamil ini 'Tampar' Jeremy Teti yang Sebut LGBT Bisa Sewa Rahim: Macam Tak Butuh Tuhan!

Video cuplikan program acara Debat yang tayang di TV One sekira dua tahun lalu kembali jadi tontonan.

Penulis: Indan Kurnia Efendi | Editor: Indan Kurnia Efendi
Kolase
Jeremy Teti 

Mereka ini sekarang lagi nglunjak. Jika saat ini mereka mulai mewacanakan sewa rahim, bukan mustahil gerakan mereka di indonesia akan memperjuangkan lebih massif u melegalkan nikah sesama jenis dan adopsi anak u psgn sesama jenis.... hati2 kasih panggung dan jangan salah pilih pemimpin!!.

Bukan wacana tunggal di ruang hampa

Saya tidak menyangka bahwa tulisan yang saya tulis secara spontan di dinding FB saya akan menjadi viral dalam dua hari ini hingga dibagikan hampir 30ribu kali, belum termasuk di beberapa website dan akun instagram. Benar bahwa tulisan itu memang tulisan ibu hamil yang barangkali sensitive, wajar jika ada yang mengatakan saya alay dan terlalu mendramatisir ucapan JT.

Silahkan berpikir demikian, namun ketahuilah bahwa ibu yang sedang hamil berada pada posisi yang sangat menghayati fitrah keibuannya. Hamil adalah sebuah ‘training’ panjang selama 9 bulan, masa pelatihan khusus yang ALLah berikan pada seorang perempuan untuk mengasah berbagai emosi jiwa dan menghayati berbagai hal untuk mempersiapkannya menyambut kelahiran anak manusia. Saya menulisnya dalam keadaan menangis, marah, prihatin dan banyak berdoa, sesekali mengelus-elus perut yang merasakan tendangan halus bayi di perut saya. Saya tidak bisa menjamin bahwa masih akan hidup selepas melahirkan anak saya atau tidak, tidak ada yang tahu selain ALLah SWt. Namun saya berharap bisa mendampingi dan mendidik mereka di jaman yang fitnahnya makin merajalela ini.

Wacana yang diungkapkan JT tentang surrogacy bukan wacana yang berdiri sendiri di ruang hampa. Jadi tak perlu juga mengeluarkan sumpah serapah secara personal pada JT dan mendoakan berbagai keburukan buatnya. Yang kita lawan adalah ‘ide’ yang disuarakan JT, dan ide itu bukan sekedar kelebat pikiran personal seorang JT. Yang kita hadapi hari ini adalah gelombang besar ‘perang pemikiran’.

Karena itu marah saja tak cukup, kita semua harus punya alasan yang kuat dan shahih atas kemarahan ini. Karena alasan itu kemudian akan diuji, diadu keabsahan dan kebenaran ‘nalarnya’ bukan hanya di dinding facebook, instagram atau media sosial lainnya.

Akan diuji nalar logika, kemaslahatan dan mudharatnya di ruang-ruang sidang parlemen dan pengadilan. Kelak, bukan like dan share di media sosial yang akan menentukan apakah sebuah wacana menjadi ‘benar-salah’ dan legal atau illegal dalam pandangan Negara. Jangan sampai payung hukum dan kebijakan mengenai wacana yang beredar di masyarakat ini bergerak lebih lambat dan masalah sosial yang berkembang. Karena itu saya yang hanya ibu rumah tangga ini, selanjutnya berharap benar agar para pakar di bidang hukum, kedokteran, sosiologi, para pemuka agama dan pemangku kebijakan segera merespon hal ini.

“Yaelah 2019 masih lama kale”; “jangan semua ujung-ujungnya dihubungkan ke politik”. Begitu komentar beberapa netizen, sekarang anda boleh berkata seperti itu, tapi ini semua wacana pada akhirnya membutuhkan kekuatan politik untuk menjadi hukum dan kebijakan.
Hari Kamis lalu (7 Desember) Negara tetangga Australia kita telah mengesahkan peraturan tentang dibolehkannya pernikahan sesame jenis. ‘kemenangan’ itu langsung disambut oleh ‘aksi dramatis’ duta besar Australia untuk perancis yang secara terbuka mengumumkan di media sosial saat melamar pacar sesame jenisnya. Kaget ? ada lebih dari 22 negara di dunia yang sudah mengesahkan persetujuan atas pernikahan sesama jenis, antaralain : Belanda, Kanada, Spanyol, Denmark, Selandia Baru, Perancis, Uruguway, Portugal, Brazil, Islandia, Swedia, Norwegia, Afrika Selatan, Belgia, Skotlandia, Amerika Serikat (lebih dari 36 negara bagian dan distrik) Jerman, Greendland, Irlandia, Findlandia, Luxemburg, Scotlandia, Inggris dan Wales. Baru-baru ini Taiwan merupakan Negara pertama di ASIA yang juga mengesahkan legalnya pernikahan sesama Jenis. Penetapan dukungan melalui konsitusi selain didukung oleh parlemen juga disokong oleh para pemimpin negaranya sendiri.

Ada beberapa negara yang pada akhirnya dipimpin oleh penyuka sesama jenis ini, misalnya perdana mentri luxemburg, PM Irlandia, PM Serbia. 'Karena pemimpin adalah cerminan rakyat yang dipimpin'. Karena itu membenahi rakyat dan memilih pemimpin yang berintegritas adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan...

Sekali lagi wacana yang diucapkan JT tentang surrogacy bukanlah sebuah wacana tunggal. Gerakan mereka massif, terstruktur dan didukung bukan hanya oleh dana besar tapi juga back up politik dan lobi internasional.

Cermati saja polanya, paling halus adalah perang wacana : sehingga masyarakat tak lagi melihat homoseksualitas sebagai penyakit, tapi sebuah kewajaran. Orang yang sadar dirinya sakit, akan lebih mudah mencari pertolonganuntuk menyembuhkan sakitnya. Namun mereka yg sakit, namun terus menyangkal keadaannya akan lebih sulit disembuhkan. Bahkan relatif membahayakan yang laun karena rentan menularkan sakitnya.

Masyarakat akan dibuat melihat fenomena ini bukan lagi sebagai hitam putih, tapi abu-abu, dibuat tidak yakin dengan pendapatnya sendiri bahwa ‘perilaku seks menyimpang’ mereka bukan hanya tabu, tapi merusak dan merugikan bagi diri mereka sendiri dan masyarakat. Masyarakat diminta lebih banyak berempati pada keadaan mereka (namun mereka sendiri tak mau berempati dan bertanggungjawab atas kerusakan sosial yang dibuatnya). HAM selalu mereka pakai sebagai senjata untuk pembenaran atas perilaku menyimpang dan kerusakan sosial yang mereka lakukan.

Tapi homoseksualitas bukan hanya tentang identitas diri, tapi juga serangkaian perilaku seksual dan sosial. Ini, bukan wacana tunggal. Semua saling berkaitan. Maka lihatlah puzzle yang terserak dalam sebuah gambar utuh, arus pemikiran liberal, penyelundupan narkoba, buku, majalah dan film selangkangan, pornografi, zina, perkosaan, pembunuhan pasangan, pedofilia dll. Ketika kerusakan merajalela, sementara arus pencegahan dan terapi atas masalah tersebut jauh sangat kecil ketersediannya. Maka jebol, jadi banjir masalah yang akan terus membuat energy bangsa ini terkuras untuk mengatasinya.

Dan itu tugas kita semua, tak akan selesai hanya dengan sumpah serapah.

Setelah jumlah mereka kian banyak, masalah sosial makin menumpuk, maka mereka akan menjadi komunitas baru dengan daya ‘tawar’ dan panggung tersendiri dalam masyarakat. Aktivisnya tak lagi malu-malu, toh jumlah mereka sekarang bereksponen sangat cepat. Lalu apa yang diminta setelah hak pribadi mereka diakui ? tagar yang akan mereka kampanyekan adalah #marriageEquality.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved