HUT ke-72 TNI: Jenderal Soedirman, Panglima Perang yang Tak Bisa Digertak

Para komandan sektor bawahannya diminta berkumpul di Magelang untuk merundingkan siasat merebut Ambarawa.

Editor: Ravianto
Jenderal Soedirman 

Minggu 20 Oktober 1946, bersama Kepala Staf APRI, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo, dari Yogya ia bertolak ke Jakarta menggunakan kereta api luar biasa (KLB). 

Apa lacur mendekati Jakarta, di Stasiun Klender, KLB itu dihentikan oleh tentara Belanda.

Mereka meminta agar pengawal Panglima tidak membawa senjata; kalau ingin memasuki Jakarta.

"Aturan apa itu, pengawal panglima dilarang membawa senjata!" tegas Jenderal Soedirman sebagai reaksi.

"Tidak! Tidak bisa begitu! Ini pelanggaran kehormatan panglima tentara negara yang berdaulat! Kita kembali ke Yogya saja!"

Perundingan gencatan senjata pun batal.

Blunder tentara Belanda di perbatasan kemudian buru-buru dikoreksi oleh pemerintahnya.

Melalui kawat kereta api, mereka meminta maaf atas insiden konyol itu, yang disampaikan kepada Panglima di Stasiun Cirebon, ketika KLB berhenti di sana.

Panglima diharap berkenan ke Jakarta lagi beserta para pengawalnya. Kali ini boleh membawa senjata!

Pak Dirman menolak.


Perundingan gencatan senjata pun terpaksa tertunda berhari-hari sampai tentara Inggris di Jakarta yang bertugas menyelenggarakan gencatan senjata kebakaran jenggot.

Perundingan baru bisa dimulai November 1946, saat Jenderal Soedirman datang ke Jakarta lagi.

Kali ini ia dijemput seorang pembesar Inggris di perbatasan Bekasi, karena mereka tidak mau kecolongan serdadu rendahan Belanda lagi.

Gencatan senjata itu menghasilkan Persetujuan Linggarjati.

Sumber: Intisari
Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved