Story of Woman
Mega Mutiaraswati, Mulanya Terpaksa Lalu Jatuh Hati
Bertahun-tahun lalu, Mega mungkin tak menyangka ia bakal menjadi pesinden seperti sekarang.
Penulis: Taufik Ismail | Editor: Hermawan Aksan
MINGGU (18/12) malam di Lapangan Pusdikku, Karang Setra, Kota Bandung. Selepas Isya, terdengar suara karinding, celempung, kendang, suling, dan yang lainnya. Tak lama berselang, sayup-sayup suara sinden perempuan menyapa telinga.
Penampilan apik para musisi ini disambut baik oleh penonton yang hadir kala itu. Banyak di antaranya ikut bergoyang dan meminta tambahan lagu ketika akan turun panggung.
Mereka adalah ReKeS Bajidoran. Rekes merupakan akronim dari Rengrengan Kesenian Sukaharja yang didaulat ikut tampil di peluncuran album grup musik ska, Scimmiaska.
Mayoritas penonton yang datang saat itu adalah penyuka musik ska. Namun ketika ReKeS Bajidoran beraksi, penonton tak sungkan untuk berjoget.
"Ketika melihat penonton suka dan puas, hati saya juga merasa puas. Ada kepuasan tersendiri," kata sang sinden, Mega Mutiaraswati (22), kepada Tribun di Gang Sukaharja, RT 5/3, Kelurahan Sukapada, Kecamatan Cibeunying Kidul, Jumat (6/1) malam.
Bertahun-tahun lalu, Mega mungkin tak menyangka ia bakal menjadi pesinden seperti sekarang. Ia tampil dari satu panggung ke panggung lainnya membawakan lagu-lagu Sunda.
"Awalnya saya suka musik underground. Bukan sebagai pemain, tapi penikmat," ucap Mega. Ketika itu ia masih duduk di kelas satu jurusan Analis Kimia, SMKN 13 Kota Bandung.
Banyak acara musik yang ia saksikan hingga suatu saat melihat penampilan Karinding Attack. Ia melihat anak-anak muda yang memainkan karinding.
Dari situ ketertarikan Mega akan budaya Sunda muncul. Ia belajar memainkan karinding dan membuat grup karinding bersama teman-temannya.
"Saya juga dulu enggak bisa nyanyi," kata perempuan kelahiran 1 Mei 1994 ini. Hanya saja, di grup karinding itu hampir semua anggotanya pria.
"Perempuannya cuma saya, jadi disuruh nyanyi. Ya, terpaksa karena tidak ada lagi perempuan," ujarnya sambil tertawa.
Mega lalu belajar nyinden secara autodidak. Ia mendengarkan lagu-lagu Sunda buhun dan ikut Komunitas Mang Dedi di Cicalengka untuk belajar menghafal lagu dan mencari ilmu dari pesinden-pesinden lain. Mega juga kerap menonton acara seni Sunda seperti pergelaran wayang golek untuk menambah wawasannya. Ia belajar bagaimana cengkok-cengkok dalam menyinden. "Saya terus belajar. Maenya minton tapi butut (masa tampil tapi jelek)," kata Mega.
Mulanya terpaksa, Mega jatuh hati. Ia memantapkan hatinya untuk menjadi seorang sinden. Apalagi jarang orang yang bisa nyinden. Sekitar setahun yang lalu, Mega berkenalan dengan Erfan Sumirat (27), gegedug (tokoh) ReKeS. ReKeS saat itu hendak tampil dan membutuhkan seorang sinden.
Mereka berkenalan dan tampil bareng di sebuah acara di Taman Lansia. Hubungan mereka ternyata tidak sampai situ saja. Mega sering tampil bersama ReKeS termasuk ketika peluncuran album Scimmiaska akhir tahun lalu.
"Pertama melihat ReKeS saya merasa beda. Ini grup karinding yang rame. Pertama main sudah suka. Jadi kalau ada waktu saya pasti ikut," ucapnya.
Perbedaan yang kentara adalah ReKeS selalu berinovasi. Mereka berkolaborasi dengan kesenian Sunda lainnya. "Misalnya ada Bajidoran, janten raos kanggo ngigel (jadi enak buat menari)," ujar Mega. (tis)
