Punclut, Makan di Ketinggian Ditemani Jutaan Cahaya

BAGI yang suka jalan-jalan di kawasan Bandung utara mungkin sudah mengenal kawasan Ciumbuleuit atas. Kawasan berbukit dan berhawa dingin

tribunjabar/ferri amiril
Kawasan kuliner Punclut di Bandung Utara 

BAGI yang suka jalan-jalan di kawasan Bandung utara mungkin sudah mengenal kawasan Ciumbuleuit atas. Kawasan berbukit dan berhawa dingin ini kini sudah banyak berubah. Titik kumpul warga pada pagi hari berada di pertigaan jalan depan rumah sakit Rotinsulu. Warga di sana menyebutnya dengan pasar Rametuk. Dalam bahasa Sunda rametuk berarti serangga mirip nyamuk namun tidak menggigit. Rametuk biasanya akan berkumpul dan mendekati cahaya, jumlahnya kalau dihitung mungkin ratusan bahkan ribuan. Keberadaan warga saking banyaknya ini bisa dilihat dari bagian atas bukit. Sudah sejak lama warga menyebutnya dengan kawasan pasar Rametuk. Ramainya hanya di pagi hari dan akan menghabiskan jalan yang cukup tersendat jika dilalui mobil dari kedua arah. Kawasan ini masuk ke wilayah Pagermanah, Sukasirna, Kota Bandung.

Pasar Rametuk merupakan awal dari berdirinya beberapa saung atau warung nasi di puncak-puncak Ciumbuleuit. Daya tarik warga selepas dari pasar melanjutkan perjalanan berjalan kaki menuju bukit dan beristirahat di atas bukit. Pemandangan dari puncak Ciumbuleuit tersebut ternyata membuat sebagian warga betah berlama-lama tinggal untuk menikmati Bandung dari ketinggian. Ditambah udara yang sejuk dan dingin membuat pengunjung mencari tempat untuk mengisi perut. Hal tersebut yang dimanfaatkan ole h Lilis Suwarsih (66) untuk membuka warung nasi sejak tahun 1970-an. Saat mendirikan warung pertama kali tidak menggunakan bahan kayu yang kuat seperti jati atau mahoni. Lilis mendirikan saung dari rumput liar dan bambu.

"Kala itu jalan juga masih tanah, tapi selalu banyak orang berkunjung, hal itu yang membuat ibu bertahan berjualan nasi, dulu hanya buka sampai pukul 12.00 WIB siang," kata Ita, anak dari Lilis.
Ita mengatakan seiring berjalannya waktu dan kabar dari mulut ke mulut setiap hari selalu ada yang berkunjung ke puncak Ciumbuleuit. Apalagi di akhir pekan, warung nasi ibunya terpaksa buka sampai sore hari karena banyaknya pengunjung. Sebelum diaspal tahun 2004 lalu, kata Ita, puncak Ciumbuleuit mulai akrab disapa Punclut. "Mungkin orang suka dengan kata singkat, dari puncak Ciumbuleuit menjadi Punclut," katanya.

Tahun 2008 mulai ada pengaspalan jalan. Hal tersebut semakin membuka pengunjung untuk datang ke Punclut. Warung nasi pun berkembang dari satu menjadi dua warung nasi dan mulai banyak yang mengikuti usaha tersebut dari warga sekitar. Ita mengatakan wilayah Punclut berbatasan antara Lembang Kabupaten Bandung Barat dengan Kota Bandung. Kedekatan lokasi dari kota membuat Punclut menjadi tempat yang pas untuk makan dan menikmati Bandung dari ketinggian. "Saat ini saya bersama ibu mengelola tiga rumah makan," kata pemilik rumah makan Teh Ita ini. Jam buka pun menjadi 24 jam. Mengingat pengunjung yang datang mulai pagi hingga tengah malam bahkan banyak yang datang dini hari untuk menikmati dinginnya Bandung.

"Di sini bisa melihat Bandung siang dan malam hari, malam tentu pengunjung akan makan sambil melihat ribuan cahaya berkilauan dari dataran Bandung," katanya.

Menu yang ditawarkan kebanyakan menu makanan Sunda ada yang dibakar dan digoreng sesuai selera. Ada pilihan nasi merah yang ditawarkan para pemilik warung. Kini lokasi tersebut sudah berdiri puluhan warung, ada beberapa rumah makan terkenal baru yang masuk ke Punclut. Tempat ini biasanya akan penuh menjelang berbuka di bulan ramadan. Banyak warga yang memanfaatkan untuk berbuka bersama. Suasana Bandung akan terasa ketika ada warga yang melantunkan lagu Sunda diiringi kecapi suling.(fam)

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved