Petualangan Tori di Trilogi Nuswantara
Dari situlah petualanganku bertemu banyak sekali orang-orang yang menceritakan pengalaman dan pengetahuan mereka tentang Nuswantara dimulai
Pada mulanya, Victoria Tunggono memiliki dua ketertarikan; dunia desain dan tulis menulis. Karena kegemarannya semenjak kecil dengan dunia menggambar, membekali Tori (sapaan akrab Victoria) untuk masuk ke dunia desain interior. Sedangkan, berbekal dengan hobinya menulis surat kepada kedua orang tuanya, ia juga memiliki ketertarikan di dunia tulis menulis. Iya, semasa remaja ia merasa lebih mudah untuk mengekspresikan apa yang ia rasakan lewat tulisan. Bukan dengan obrolan langsung ataupun dengan gerakan.
“Disini, aku sangat berterima kasih dengan ibuku. Karena ibuku dulu yang rutin membelikan aku buku setiap bulan untuk dibaca bergantian dengan ketiga adikku, pada masa itu aku memiliki kegemaran membaca hingga sekarang. Karena itu pula yang menginspirasiku untuk menulis,” jelasnya.
Sebut saja, serial Tini (Marcel Marlier), serial Enid Blyton dan dongeng Hans Christian Andersen adalah perkenalan pertama Tori dengan buku cerita. Berawal dari buku cerita ini pula lah, Tori memiliki kegemaran untuk membaca, dan menjadi inspirasi-inspirasinya dalam dunia menulis.
Saat SMP Tori mulai menulis cerpen yang dikirimkan ke radio dan beberapa tulisannya sempat dimuat di majalah gratisan. Nah, saat SMA Tori menjalankan majalah kelas selama tiga tahun sebagai kepala redaksi, sekalipun saat itu anggota redaksinya selalu berganti. Ketika beranjak kuliah, ia memulai menulis blog dan memutuskan satu hal dalam hati: "suatu hari aku akan menjadi seorang penulis terkenal", mespikun akhirnya harus tertunda selama 11 tahun.
“Pengalaman seperti tidak menemukan ide cerita yang cukup brilian untuk aku selesaikan, sempat dua kali kehilangan semua scripts karena komputer ke-format ulang antara th 2000-2002 dan laptop-ku dicuri di th 2012 sebelum sempat back up data. Tapi aku nggak menyerah, meski akhirnya aku harus memulai semua cerita dr nol, ga bisa nerusin ide2 awal yang udah pernah kuketik sebelumnya,” terangnya melalui wawancara via email.
Pada akhirnya, perjalanan panjang ini membuahkan hasil, karena buku pertamanya “Gerbang Nuswantara” sudah terbit dan dapat dibeli di toko buku terdekat. Inspirasi menulis buli “Gerbang Nuswantara” ia dapat ketika pindah ke Bali dan mulai mengenal lebih banyak tentang kebudayaan Bali. Termasuk fakta bahwa kebudayaan di Bali merupakan beberapa adaptasi dari budaya asli dari Jawa.
“Dari situlah petualanganku bertemu banyak sekali orang-orang yang menceritakan pengalaman dan pengetahuan mereka tentang Nuswantara dimulai. Aku mendengarkan cerita mereka, menampung, berusaha mengaitkan satu sama lain (karena banyaknya kemiripan), dan akhirnya terkumpul dan menurutku ini akan menjadi buku yang menghibur sekaligus mengedukasi, dan aku merasa ini sangat cocok untuk kujadikan buku pertamaku,” terangnya.
Inspiasinya akan “Gerbang Nuswantara” tidak berhenti dari kisah pengalaman teman-teman dari banyak daerah di Indonesia. Ia pun banyak memasukkan unsur adventure terinspirasi dari buku-buku dan film. Sebut saja, “National Treasure”, “Journey to the Center of the Earth”, “Harry Potter”, “Lima Sekawan”, dan buku-buku Neil Gaiman.
“Berdasarkan reverensi buku-buku itu, aku harus memastikan kalau ceritanya masih bisa masuk di akal,” tuturnya.
Trilogi Nuswantara ini sendiri berkisah tentang petualangan dua remaja yang bersepupu dalam menjelajah dunia Nuswantara, sebuah "dunia lain" yang ada di Indonesia (khususnya tanah Jawa) yang rupanya telah ada sejak dahulu kala dan jauh lebih canggih dari dunia yang kita kenal saat ini.
Setelah perceraian orang tuanya, Maharani yang berusia 16 tahun mengalami kejadian-kejadian aneh, termasuk bertemu dengan sepupu yang tidak pernah dikenalnya: Bimasakti. Mereka berdua bertemu dengan seorang anak kecil bernama Drupadi yang akhirnya membawa mereka masuk ke dunia petualangan Nuswantara, di mana gerbang masuknya berada di bukit belakang rumah kakek-nenek mereka di Wonosari.
Di dunia itu mereka melihat perkotaan super canggih seperti yang sering Rani tonton di film Hollywood, tapi ada unsur Jawa di sana-sini. Mereka melihat binatang-binatang aneh sampai binatang mitos seperti garuda dan sembrani; bangunan berkilo-kilometer tingginya; dan macam-macam kendaraan terbang yang melintas di udara. Mereka bertemu seorang kakek yang sering muncul dalam mimpi Bima, dan menemukan jawaban pertanyaan2 kehidupan Rani. Mereka juga bertemu seorang pangeran tampan dari negeri itu sebelum akhirnya harus kembali ke dunia asal mereka.
Tapi ketika surup (magrib) tiba, Rani tertinggal di dunia Nuswantara dan Bima harus mencari jalan untuk menemukan gerbang lain untuk menyelamatkan sepupunya itu
“Jadi di buku kedua aku mengambil tema isi buku Çandi (yang artinya adalah Sandi atau Kode). Jadi buku kedua akan membahas kode2 yang ada untuk menemukan lokasi Gerbang lain,” jelasnya.
Bukan berarti mengalami pengalihan profesi Tori tidak mengalami suka duka. Ia mengaku, dalam dunia tulis menulis ia merasa bahagia karena ia mengerjakan sesuatu dari hati, sesuai passion dan membantuku meraih impian. Tetapi ia sendiri memiliki pantangan dalam menulis, seperti harus tahan untuk tidak membuka social media; harus tahan nolak ajakan jalan-jalan kalau tidak terlalu diperlukan; harus banyak baca buku lainnya dlm rangka menstimulasi otak, menambah pengetahuan dan mencari ide.
“Sellain itu, kebanggaan dan kepuasan sebagai penulis nggak bisa diukur dari royalti atau uang sih. Tapi ketika dapet feedback dari teman-teman yang sudah beli, dan akhirnya bilang kalau buku ini sesuai sama harapan mereka, menginspirasi mereka, atau ketika ada yang minta supaya buku kedua segera keluar. Berarti mereka menikmati bukuku. Belum lagi kalau ada yang minta tanda tanganku untuk buku yang mereka beli, menurutku ini adalah sebuah kepuasan dan kebanggan yang paling berarti,” jelasnya.
Dari Desain Interior ke Tulis Menulis
“Dunia interior menurutku hampir sama dengan dunia tulis menulis, terutama ketika menjadi desainer aku lebih banyak bekerja freelance yang tidak terikat waktu atau tempat. Jadi aku bisa kerja di mana pun asal ada laptop,” jelasnya saat ditanya mengenai perbedaan antara desain interior dan dunia tulis menulis.
Sempat menjadi jurnalis dan editor di dua majalah interior sebelumnya, Tori mengaku hal ini yang menjadi jembatan antara dunia interior dan dunia tulisan. Karena itu pula ia tidak terlalu kaget melihat perbedaan dalam menghadapi perubahan profesi ini.
“Perbedaan yang paling mencolok tuh, desainer bekerja mencari solusi mengikuti keadaan dan permintaan klien, sementara dalam menulis aku harus mencari permasalahan dan solusinya sendiri,” tuturnya.
Kedua profesi ini sama-sama melibatkan banyak research dan harus mempelajari banyak unsur . bedanya, kalau di interior ia harus belajar psikologi, karakter klien atau user, juga faktor warna, motif dan bahan untuk suatu desain, mempertimbangkan kebutuhan dan kebiasaan klien, memperhatikan unsur & detail fungsi, kenyamanan, keamanan, sekaligus estetikanya, mempertimbangkan budget klien. Sementara untuk menulis, semua hal juga dipertimbangkan untuk menciptakan karakter, suasana, dan perbincangan dalam suatu adegan hingga menjadi satu kesatuan/harmonis dengan keseluruhan isi cerita.
“Jadi menurutku apa yang kupelajari sebagai desainer sangat membantu dalam proses penulisan bukuku. Seperti alm. ayahku pernah berkata, ‘tidak pernah ada ilmu yang mubazir untuk dipelajari’, jadi satu hal akan mendukung hal lain dan menjadikan semuanya menjadi sinergis,” jelasnya. (tj2)