Hasilkan 400 Kepompong Ulat Sutera Per Bulan

Karena sering melihat ayahnya mengembangkan ulat sutra, Iin pun hafal tentang mahluk kecil yang sering dianggap menjijikan itu.

Penulis: Siti Fatimah | Editor: Darajat Arianto
zoom-inlihat foto Hasilkan 400 Kepompong Ulat Sutera Per Bulan
Siti Fatimah
Iin Indriyani, petani ulat sutera
SEJAK kecil Iin Indriyani  sudah dikenalkan oleh ayahnya pada ulat sutra (Mombyx mori). Maklumlah sang Ayah pada era penjajahan Jepang 1942-1945 telah diperintah penguasa Jepang untuk menanam pohon murbei sebagai makanan ulat sutra.

Sang ayah pun membudidayakan ulat sutra di rumah. Karena sering melihat ayahnya mengembangkan ulat sutra, Iin pun hafal tentang mahluk kecil yang  sering dianggap menjijikan itu. Ia tahu benar perkembangan ulat dari saat menjadi kokon atau kepompong hingga berubah jadi kupu-kupu. Memelihara ulat sutra pun menjadi hobinya.

Awalnya, seusai lulus kuliah dari jurusan akutansi Universitas Sangga Buana (USB) YPKP Bandung tahun 1989, ia bekerja di perusahaan properti. Ia juga pernah menjajal kerja di hotel. Namun, jiwa wirausahanya terpanggil. Ia pun mencoba membudidayakan ulat sutra untuk memanfaatkan benang yang dihasilkan dari kokon.

Seiring perkembangan usahanya itu, Iin memanfaatkan lahan seluas dua hektare di Kampung Pamoyanan, Desa Mekarmanik, Kecamatan Cimenyan, Bandung Timur untuk dikembangkan menjadi sebuah tempat yang bisa dikunjungi masyarakat umum. Tempat itu kemudian menjadi Wisata Ilmu Sutra Bandung, Padepokan Dayang Sumbi yang kini banyak dikunjungi wisatawan.

"Terpikir kenapa tidak dijadikan juga tempat wisata ilmu, dimana orang khususnya pelajar tahu apa itu ulat sutra dan prosesnya saat menjadi kokon dan kemudian menjadi benang. Dan tahun 2005, tempat ini kami buka untuk umum," kata Ibu tiga anak ini di Kampus USB YPKP Jalan PHH Mustafa, belum lama ini.

Bersama suaminya Dedi Agus, mereka memilih membeli bibit di budi daya ulat sutra Candi Roto Jawa Tengah dan Soppeng, Sulawesi Selatan. Jenis ulat sutra pilihannya adalah ras Jepang dengan ciri ada dua tato khas di bagian anterior (kepala). Kelebihan ras Jepang ini satu kepompongnya dapat menghasilkan benang sutra sepanjang 1.600 meter.

"Alhamdulillah, sekarang rata-rata per bulan bisa menghasilkan 100 kilogram kepompong atau sekitar 400 kepompong. Tapi sampai saat ini kami masih home industry, Indonesia memang masih memgimpor benang sutera karena memang kebutuhan belum terpenuhi," kata perempuan yang kini memiliki 20 pegawai untuk membantu usaha wisatanya.

Ia pun mulai mengembangkan usahanya dengan membuat kerajinan dari ulat sutra ini. Bahkan belakangan ini sudah membidik pasar Jepang. "Yah ekspor kecil-kecilan. Karena kita harus mencoba, menjadi wirausaha itu selain harus berani gagal, juga berani sukses. Tips saya, memang harus tampil beda (bidang usaha). Senangnya jadi wirausahawan adalah kita bisa berbagi dengan orang lain," katanya. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved