Ini Bacaan Takbir untuk Dikumandangkan Nanti Malam, Lengkap dengan Artinya

Ini bacaan takbiran yang biasa didengungkan setiap malam jelang Hari Haya Idul Fitri dan Idul Adha lihat dibawah ini :

Editor: Indan Kurnia Efendi
Kompas
Ilustrasi 

TRIBUNJABAR.ID - Umat Islam di Indonesia akan merayakan Idul Adha 1439 Hijriah atau 2018 Masehi, Rabu (22/8/2018) atau 10 Dzulhijjah 1439 Hijriah.

Guna menghidupkan malam Lebaran Idul Adha, menggema suara takbir.

 

Disalin dari laman Nu.or.id, Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ قَامَ لَيْلَتَىِ الْعِيدَيْنِ لِلهِ مُحْتَسِبًا لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ. (رواه الشافعي وابن ماجه)

Artinya, “Siapa saja yang qiyamul lail pada dua malam Id (Idul Fitri dan Idul Adha) karena Allah demi mengharap ridha-Nya, maka hatinya tidak akan mati pada hari di mana hati manusia menjadi mati,” (HR As-Syafi’i dan Ibn Majah).

Masih dari laman Nu.or.id, dari sisi riwayat, hadits keutamaan menghidupkan malam hari raya ini memang dhaif, namun demikian menurut para ulama hadits tersebut masih termasuk dalam kategori dapat diamalkan karena berkaitan dengan keutamaan ibadah. (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 145).

Sementara dari sisi dirayah, maksud ‘hati tidak akan mati’ dalam hadits ini adalah hati tidak akan mengalami kebingungan di saat banyak orang mengalaminya, yaitu pada saat sakaratul maut, saat ditanya oleh dua malaikat (di alam barzakh), dan ketika hari kiamat. Dalam hal ini pakar fikih Maliki asal Mesir, Syekh Ahmad As-Shawi (wafat 1825 M/1241 H) menjelaskan:

وَمَعْنَى عَدَمِ مَوْتِ قَلْبِهِ عَدَمُ تَحَيُّرِهِ عِنْدَ النَّزَعِ وَعِنْدَ سُؤَالِ الْمَلَكَيْنِ وَفِي الْقِيَامَةِ. بَلْ يَكُونُ مُطْمَئِنًّا ثَابِتًا فِي تِلْكَ الْمَوَاضِعِ.

Artinya, “Makna ‘tidak mati hati orang yang menghidupkan malam hari raya’ adalah tidak bingung hatinya ketika naza’ (sakaratul maut), ketika ditanya oleh dua malaikat (di alam barzakh), dan di hari kiamat. Bahkan hatinya tenang penuh keteguhan pada momen-momen tersebut,” (Lihat Ahmad As-Shawi, Bulghatus Salik li Arqabil Masalik, [Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1995 M/1415 H], juz I, halaman 345-346).

Telah maklum pula, hari raya merupakan hari suka cita dan bergembira sehingga kadang tidak terasa terselip sendau gurau yang kurang berguna.

Karena itu, menurut Sayyid Ali Al-Khawash (wafat 949 H) sufi asal Kairo, guru Syekh Abdul Wahab As-Sya’rani, hikmah dari menghidupkan malam hari raya adalah nur ibadah pelakunya dapat memancar sepanjang hari dan terhindar dari kelalaian akibat begitu bahagianya di hari tersebut.

Lain halnya orang yang menghabiskan malam hari raya untuk tidur semalam suntuk atau melakukan kegiatan-kegiatan yang membuat lalai dari Tuhannya, maka ia akan terjerumus dalam kelalaian di sepanjang hari. (Lihat Abdul Wahhab As-Sya’ani, Lawaqihul Anwar Al-Qudsiyyah, halaman 92).

Wukuf di Arafah Makkah, Gambaran Kehidupan di Padang Mahsyar Setelah Manusia Bangkit dari Kematian

Lalu bagaimana orang dapat dikatakan memperoleh keutamaan menghidupkan malam hari raya? Berkaitan hal ini ulama berbeda pendapat:

Masih dikutip dari laman Nu.or.id, pendapat pertama (as-shahih) menyatakan dengan menggunakan mayoritas waktu malam hari raya untuk beribadah.

Pendapat kedua mengatakan cukup beribadah sesaat saja dari malam hari raya.

Halaman
123
Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved