Krisis Pemulia Tanaman Ancam Ketahanan Pangan Nasional, IBA 2025 Jadi Upaya Bangkitkan Regenerasi

Dari sekitar 1.000 pemulia yang terdaftar di Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI), hanya seperempatnya yang benar-benar aktif.

tribunjabar.id / Deanza Falevi
‎Aktivitas penelitian pemuliaan tanaman di laboratorium benih. Indonesia dituntut menggandakan produksi pangan pada 2050, sementara jumlah pemulia tanaman masih jauh dari kebutuhan ideal. 

‎Laporan Wartawan Tribunjabar.id, Deanza Falevi

‎TRIBUNJABAR.ID, PURWAKARTA - Indonesia tengah berada di ambang krisis yang jarang disorot, yakni krisis pemulia tanaman (breeder). Padahal, para pemulia inilah yang berada di balik terciptanya benih unggul, pondasi utama bagi ketahanan pangan nasional.

‎Namun kini, jumlahnya kian menipis. Dari sekitar 1.000 pemulia yang terdaftar di Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI), hanya seperempatnya yang benar-benar aktif meneliti dan menghasilkan varietas baru.

‎Sementara kebutuhan ideal mencapai sedikitnya 10.000 orang untuk melayani sekitar 30 juta petani di seluruh Indonesia.

‎Kondisi ini menjadi alarm serius di tengah tantangan perubahan iklim, penurunan produktivitas lahan, hingga alih fungsi lahan pertanian yang kian masif.

‎Menjawab krisis tersebut, PERIPI berkolaborasi dengan PT East West Seed Indonesia (EWINDO) produsen benih hibrida Cap Panah Merah yang berpusat di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat dan IPB University, menggelar Indonesian Breeder Award (IBA) 2025 dengan tema “Breeding is Giving.”

‎Acara ini akan berlangsung 19 November 2025 di IPB International Convention Center (IICC), Bogor, dihadiri oleh sekitar 150 peserta dari unsur pemerintah, akademisi, pelaku usaha, asosiasi, hingga komunitas pertanian.

‎Tujuannya tak sekadar memberi penghargaan, melainkan juga menumbuhkan generasi baru pemulia tanaman, memperkuat riset kolaboratif, serta mempercepat inovasi varietas unggul yang adaptif terhadap tantangan masa depan.

‎Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, sempat menyoroti lemahnya riset varietas unggul di Indonesia.

‎"Untuk menghasilkan 1 kilo gula, Thailand Rp3.000, Brazil Rp2.800, sementara kita Rp10.000. Kenapa? Varietasnya dari zaman Belanda itu-itu saja," ujar Zulhas dalam forum Sarasehan 100 Ekonom Indonesia.

‎Ketua PERIPI, Prof. Muhamad Syukur, menegaskan bahwa pemuliaan tanaman adalah jantung pertanian modern.

‎"Pada 2050, kita harus menggandakan produksi pangan karena jumlah penduduk meningkat. Tantangan lingkungan juga makin berat. Itu semua hanya bisa diatasi dengan varietas adaptif dan produktif," ujarnya.

‎Ia berharap ajang IBA 2025 menjadi “pupuk semangat” bagi para pemulia untuk terus berinovasi. "Harapannya, orang akan kembali bersemangat karena kerja kerasnya dihargai," ucapnya.

‎Managing Director EWINDO, Glenn Pardede, menegaskan bahwa pemuliaan tanaman bukan sekadar riset ilmiah, melainkan bentuk pengabdian.

‎"Breeding is Giving merupakan komitmen. Benih adalah titik awal dari sistem pangan berkelanjutan," ujarnya.

‎Menurut Glenn, IBA 2025 bukan hanya ajang penghargaan, tetapi juga panggilan untuk menumbuhkan generasi penerus di bidang yang strategis ini.

‎"Setiap benih unggul yang lahir adalah kontribusi nyata untuk petani dan bangsa," ucapnya.

‎Selain penyerahan penghargaan, IBA 2025 juga menghadirkan forum ilmiah dan diskusi lintas sektor yang melibatkan pakar dari berbagai lembaga riset nasional dan internasional.

‎Sinergi antara pemerintah, akademisi, dan dunia usaha diharapkan menjadi fondasi kuat bagi ekosistem perbenihan nasional yang tangguh dan mandiri.

‎"Benih adalah awal dari ketahanan pangan. Setiap varietas baru yang diciptakan pemulia merupakan kontribusi langsung bagi keberlanjutan pangan Indonesia," Glenn.(*)

 

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved