Mantan Panglima TNI Ini Dijanjikan Kekuasaan untuk Ikut Lengserkan AHY, Namun Tidak Mau

Editor: Giri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gatot Nurmantyo ternyata mendapat tawaran untuk mendongkel AHY dari kursi Ketua Umum Partai Demokrat.

TRIBUNJABAR.ID - Mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, membuat pengakuan di tengah belum redanya pemberitaan mengenai kudeta ketua umum Partai Demokrat.

Dalam wawancara aku channel Bang Arief, Gatot menyinggung soal kongres luar biasa (KLB) partai Demokrat kubu Johnny Allen di Deliserdang, Sumatera Utara, Jumat (5/3/2021).

Gatot menyebutkan bahwa saat ini sudah terjadi politik yang tidak sehat. 

"Ini kan politik yang sudah tidak sehat. Politik sudah menyimpang dari Pancasila, di sila keempat. Jadi musawarah itu sekarang sudah enggak ada, (sekarang) voting. Begitu voting, pasti money politics bisa terjadi. Inilah penyimpangan ini," jelas Gatot Nurmanyo dikutip Wartakotalive.com, Minggu (7/3/2021).

Menyikapi keterlibatan Moeldoko dalam 'kudeta' Partai Demokrat, Gatot menyebut dirinya sempat ditawari untuk ikut serta dalam aksi itu.

"Ada juga yang datang kepada saya. Saya tanya gimana prosesnya, nanti bikin KLB. Yang dilakukan kita mengganti AHY dulu melalui mosi tidak percaya. Setelah AHY turun, nanti pemilihan," jelas Gatot.

Menurut Gatot, bagaimanapun SBY memiliki peran penting terhadap kariernya hingga menjadi panglima TNI.

Baca juga: Pejabat Kejati Riau Temuka Pisau di Depan Rumah, Saat Lihar Rekaman CCTV, Juga Ada Kepala Anjing

Baca juga: TNI Kontak Senjata dengan KKB, Satu Orang di Pihak Musuh Tewas, Satu Lagi Tertembak di Kaki

Jadi, tidak mungkin ia menerima tawaran itu meskipun dijanjikan dengan 'kekuasaan' apabila sudah menguasai Partai Demokrat.

"Saya bilang, 'saya ini bisa naik bintang satu, dua, tiga, kemudian jabatan pangkostrad presidennya pasti tahu'. Saat itu presidennya Pak SBY. Bahkan saya saat pangkostrad, saya dipanggil ke Istana, beliau bilang, 'kamu akan menjadi kepala staf angkatan darat'. Beliau hanya pesan, 'laksanakan tugas dengan profesional, cintai prajurit dan keluargamu dengan segenap hati dan pikiran'."

"Apakah iya saya dibesarkan oleh dua presiden, Pak SBY dan Pak Jokowi, terus saya membalasnya dengan mencongkel anaknya. Lalu nilai-nilai atau value apa yang akan saya berikan kepada anak saya?"

"Ini jadi semacam cerita sejarah juga. Waktu itu di Amerika tahun 1940-an, ada mafia, dia kaya sekali. Anaknya cuma satu. Terus dia merenung, nilai-nilai apa yang saya berikan kepada anak saya, dicap sebagai anak mafia. Dia sadar kemudian berubah. Dia akhirnya ditembak mati."

Saat merenungi itu, Gatot pun menolak ikut terlibat dalam aksi pengambilalihan Partai Demokrat.

"Saya terima kasih, tapi moral etika saya tidak bisa menerima dengan cara seperti itu," ucapnya.

Skenario 'membunuh' Partai Demokrat

Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saiful Mujani turut prihatin dengan tindakan pengambilan kepengurusan Partai Demokrat yang dilakukan dengan KLB hingga pengangkatan Moeldoko sebagai Ketua Umum Demokrat.

Saiful Mujani menilai, kini 'hidup dan mati' Partai Demokrat ada di tangan Yasonna Laoly selaku Menteri Hukum dan HAM.

"Setelah KSP Moeldoko ditetapkan jadi ketua partai Demokrat lewat KLB maka selanjutnya tergantung negara, lewat menkumham dari PDIP, Yasona, mengakui hasil KLB itu atau tidak," tulisnya di akun Twitter, dikutip pada Sabtu (6/3/2021).

Dalam beberapa kasus pengambilalihan parpol sebelumnya, Yasonna memenangkan pihak yang menggelar KLB atau yang dituding 'mengambilalih paksa' sebuah parpol.

Terakhir terjadi pada kasus Partai Berkarya di mana Tommy Soeharto hampir saja disingkirkan setelah kubu KLB disahkan oleh Kemkumham.

Beruntung, saat menggugat ke pengadilan, Partai Berkarya yang dirintis Tommy berhasil kembali.

Apabila nantinya Yasonna mengakui kepengurusan Demokrat versi Moeldoko, Saiful Mujani menyebut, itu pertanda Partai Demokrat akan benar-benar mati.

"Kalau mengakui, dan membatalkan kepengurusan PD Ahy, lonceng kematian PD makin kencang," tulisnya.

Saiful Mujani menyebut, seandainya Yasonna mensahkan kepengurusan Demokrat versi Moeldoko dan kubu AHY mempermasalahkannya ke pengadilan, itu juga bukan perkara mudah.

Sebab, ia menilai akan ada proses panjang meskipun kubu AHY memiliki legalitas sekalipun.

"PD Ahy selanjutnya akan menggugat ke pengadilan, dan ini biasanya hanya bisa selesai di Mahkamah Agung. Berarti itu bisa makan waktu lama, bisa sampai melewati deadline daftar pemilu 2024. Katakanlah Demokrat KSP Moeldoko yang bisa ikut pemilu. Lalu bagaimana peluangnya?" tulisnya.

Saiful Mujani membayangkan seandainya Partai Demokrat benar-benar dikuasi oleh Moeldoko dan kelompoknya, maka Demokrat tidak akan lagi sebesar ketika dipimpin oleh SBY.

Baca juga: Calon Menantu Tersangkut Kasus Video Syur dengan Gisel, Begini Reaksi Bakal Mertua Nobu

Baca juga: Rasakan Udara dari Balik Cermin di Kamar Mandi, Wanita Ini Kemudian Alami Hal Seperti Film Horor

"Saya tak bisa membayangkan PD bisa besar dan bahkan terbesar pada 2009 tanpa SBY. Suka ataupun tidak itu adalah fakta. Moeldoko bisa gantikan itu? seperti mantan jendral-jenderal lainnya mimpin partai, KSP ini tak lebih dr Sutiyoso, Hendro, Edi Sudrajat, yang gagal membesarkan partai," tulis Saiful.

"Akibatnya, 2024 Demokrat bisa menjadi seperti Hanura sekarang, yang hilang di parlemen setelah Wiranto tak lagi mimpin partai itu," terangnya.

Ia pun menduga, skenario terakhir dari apa yang dilakukan Moeldoko tersebut adalah untuk membunuh Partai Demokrat.

"Hasil akhir dari manuver KSP Moeldoko ini adalah membunuh PD. Demokrat mati di tangan seorang pejabat negara. Backsliding demokrasi Indonesia makin dalam, dan ini terjadi di bawah Jokowi yang ironisnya ia justru jadi presiden karena demokrasi," tulis Saiful.

Tanggapan Mahfud MD

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam), Mahfud MD, akhirnya memberikan pernyataan terkait KLB yang digelar kubu Johnny Allen di Deliserdang, Sumatera Utara, hingga penetapan Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.

Mahfud menyebut, pemerintah tidak bisa melarang terselenggaranya kegiatan tersebut.

"Sesuai UU 9/98 Pemerintah tak bs melarang atau mendorong kegiatan yang mengatasnamakan kader Partai Demokrat di Deliserdang," jelas Mahfud MD di akun Twitternya, Sabtu (11/3/2021)

Mahfud MD kemudian memberikan contoh kejadian serupa, di mana saat itu terjadi KLB hingga membuat Partai Kebangkitan Bangsa terpecah.

"Sama dengan yang menjadi menjadi sikap Pemerintahan Bu Mega pada saat Matori Abdul Jalil (2020) mengambil PKB dari Gus Dur yang kemudian Matori kalah di Pengadilan (2003)," tulis Mahfud.

Mahfud juga singgung sikap diam SBY ketika menjadi presiden dan terjadi perebutan partai antara Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dengan Muhaimin Iskandar.

"Saat itu Bu Mega tak melarang atau pun mendorong karena secara hukum hal itu masalah internal PKB. Sama juga dengan sikap Pemerintahan Pak SBY ketika (2008) tidak melakukan pelarangan saat ada PKB versi Parung (Gus Dur) dan versi Ancol (Cak Imin). Alasannya, itu urusan internal parpol."

Mahfud menilai, saat ini pemerintah memandang konflik Partai Demokrat sebagai persoalan internal partai dan tidak akan ikut campur.

"Bagi Pemerintah sekarang ini peristiwa Deli Serdang merupakan masalah internal PD. Bukan (minimal belum) menjadi masalah hukum. Sebab belum ada laporan atau permintaan legalitas hukum baru kepada Pemerintah dari Partai Demokrat. Pemerintah sekarang hanya menangani sudut keamanan, bukan legalitas partai," jelas Mahfud.

SBY akan demo Istana

Di sisi lain, sejumlah pihak menyambut rencana Susilo Bambang Yudhoyono yang akan turun langsung memimpin aksi demonstrasi pasca-pengumuman Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat kubu Johnny Allen.

Sebelumnya, Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) DPP Partai Demokrat Andi Arief menegaskan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan berdemonstrasi di Istana Kepresidenan.

Langkah itu ditempuh untuk mempertanyakan sikap diam Presiden Joko Widodo atas pengambilalihan kepengurusan yang dilakukan Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko.

Seperti diketahui, dalam Kongres Luar Biasa yang digagas para mantan kader Demokrat di Deliserdang, Moeldoko ditunjuk sebagai ketua umum Partai Demokrat melalui voting berdiri.

Proses pemilihan ketua umum berlangsung sangat cepat, disebut tanpa melalui prosedur semestinya.

Meski demikian, Moeldoko dengan tegas menerima penunjukkan dirinya sebagai ketua umum Partai Demokrat.

 Andi menilai Jokowi mengabaikan demokrasi dengan membiarkan KLB Partai Demokrat kubu Johnny Allen yang telah menetapkan Moeldoko sebagai ketua umum.

"Soal etika hargai mantan Presiden (SBY) yang lakukan kebenaran juga beku hatinya. Jangan salahkan jika mantan Presiden demonstrasi di Istana dengan standar prokes," tulis Andi lewat akun Twitter @AndiArief_ID, Jumat (5/3)

Andi menyebut pemerintahan Jokowi membiarkan KLB Demokrat ilegal terjadi.

Padahal, menurutnya, Jokowi punya kuasa untuk bertindak mencegah kegiatan itu.

Apalagi, kongres itu disebut tidak mengantongi izin. Namun, tidak ada upaya nyata baik dari pemerintah maupun dari pihak kepolisian untuk mencegah kegiatan tersebut.

Nyatanya, kongres tetap berlangsung meski sempat diwarnai aksi bentrokan antara Kader Demokrat Sumatera Utara dengan orang-orang yang mengenakan kaos bergambar Moeldoko.

Andi menegaskan KLB Demokrat bukan sekadar urusan internal partai.

Andi menyebut kejadian ini sebagai tanda matinya demokrasi Indonesia.

"Pak Jokowi harusnya bisa bertindak, terlalu lembek bela demokrasi," cuit Andi. (*)

Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Sempat Dirayu untuk Ikut Gulingkan AHY, Jenderal Gatot: Moral Etika Saya Tidak Bisa Menerima Itu, https://wartakota.tribunnews.com/2021/03/07/sempat-dirayu-untuk-ikut-gulingkan-ahy-jenderal-gatot-moral-etika-saya-tidak-bisa-menerima-itu?page=all.

Berita Terkini