Legislator PKB Nilai Gugatan PTUN Alarm Buruknya Komunikasi Gubernur dengan Sekolah Swasta

TRIBUNJABAR.ID - Bandung - Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dari Fraksi PKB, Maulana Yusuf Erwinsyah, menilai gugatan

Istimewa
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dari Fraksi PKB, Maulana Yusuf Erwinsyah 

TRIBUNJABAR.ID - Bandung - Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dari Fraksi PKB, Maulana Yusuf Erwinsyah, menilai gugatan yang dilayangkan oleh 8 organisasi sekolah swasta ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan bukti nyata buruknya komunikasi Gubernur Dedi Mulyadi dengan para penyelenggara pendidikan swasta.

Menurut Maulana, gugatan itu tidak bisa dianggap sebagai serangan semata, melainkan sebagai alarm serius bahwa kebijakan Gubernur tidak melibatkan dialog dan partisipasi dari pihak-pihak yang terdampak langsung.

“Ini bukan semata persoalan hukum. Ini bukti bahwa Gubernur tidak membuka ruang komunikasi yang sehat. Kalau sejak awal mau berdialog, mungkin gugatan ini tidak terjadi,” ujar Maulana di Bandung, Kamis (8/8/2025).

Ia pun menyampaikan kritik tajam terhadap pernyataan Gubernur Dedi Mulyadi yang mengklaim telah menyelamatkan 47.000 anak dari ancaman putus sekolah melalui kebijakan penambahan kuota siswa di sekolah negeri.

 Maulana menilai narasi tersebut terlalu bombastis dan berpotensi menutupi persoalan serius dalam tata kelola pendidikan di Jawa Barat.

“Jangan tutupi masalah struktural dengan narasi penyelamatan yang seolah-olah tanpa cela. Banyak kebijakan pendidikan kita hari ini justru tidak menyentuh akar masalah,” tegasnya.

Menurutnya, kebijakan menaikkan rombongan belajar (rombel) hingga 50 siswa per kelas justru menunjukkan ketidaksiapan sistem pendidikan negeri, serta berisiko menurunkan kualitas pembelajaran. Terlebih, kebijakan ini telah memicu gugatan hukum dari delapan organisasi penyelenggara sekolah swasta ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

“Tindakan hukum ini bukan hal sepele. Gugatan ini mempertontonkan bahwa kebijakan Gubernur dirasa sebagian masyarakat sebagai kebijakan yang tidak adil,” tegas Maulana.

Ia juga menilai bahwa munculnya gugatan ini mencerminkan buruknya komunikasi politik dan kelembagaan pemerintah, yang dinilai gagal membangun dialog atau mencari solusi bersama sebelum keputusan diambil.

“Kalau pemerintah mendengar lebih awal, berdialog dengan penyelenggara pendidikan swasta, gugatan ini bisa dicegah. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, Gubernur tampaknya hanya tertarik membuktikan siapa benar dan siapa salah melalui meja persidangan,” kritik Maulana.

Ia mengingatkan bahwa pendekatan hukum bukanlah solusi jangka panjang, apalagi jika keputusan kebijakan tidak mengindahkan regulasi teknis seperti Permendikbudristek Nomor 22 Tahun 2023 tentang standar sarana-prasarana ruang kelas.

“Bukan hanya soal jumlah anak yang masuk sekolah negeri. Apakah mereka belajar dengan baik? Apakah ruangannya layak? Apakah gurunya cukup? Bagaimana dengan swasta? Ini yang harus dijawab,” ujarnya.

Maulana juga menekankan dampak finansial yang ditanggung sekolah swasta akibat kebijakan tersebut. Banyak sekolah swasta mengaku kehilangan siswa secara drastis, bahkan ada yang hanya mendapat satu murid baru tahun ini.

“Kita bisa kehilangan ekosistem pendidikan masyarakat. Kalau sekolah swasta tutup, guru-gurunya kehilangan pekerjaan, lalu apa kita siap menanggung semuanya di sektor negeri?” ujar Maulana.

Ia mendesak agar Pemprov Jawa Barat meninjau ulang kebijakan PAPS (Pencegahan Anak Putus Sekolah) dan melibatkan semua pemangku kepentingan pendidikan untuk merumuskan solusi yang adil dan berkelanjutan.

“Kebijakan publik bukan panggung pembuktian pribadi. Ini ruang dialog, kolaborasi, dan akuntabilitas,” tutupnya.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved