Kisah Sukirwan dan Perahu Eretan di Kali Ciliwung Tarif Seikhlasnya Bertahan di Tengah Kota Jakarta

Meski sudah banyak transportasi yang lebih modern, jasa penyeberangan perahu eretan tetap setia bagi warga lokal yang ditarik tangan renta Sukirwan.

Editor: Hilda Rubiah
Tribunjakarta/Elga Hikari Putra
KISAH HIDUP: Sukirwan (80) penarik perahu eretan yang masih melayani penumpang di aliran Kali Ciliwung, tepatnya di perbatasan Tanah Abang dan Palmerah, tarif seiklhasnya. 

TRIBUNJABAR.ID - Ternyata di tengah modern-nya Kota Jakarta, siapa sangka masih ada perahu eretan yang setia melintasi aliran Kali Ciliwung.

Perahu eretan ini tetap beroperasi di aliran Kanal Banjir Barat (KBB) yang membelah wilayah Tanah Abang, Jakarta Pusat dan Palmerah, Jakarta Barat.

Meski sudah banyak transportasi yang lebih modern, jasa penyeberangan perahu eretan ini tetap setia bagi warga lokal dengan tarif seikhlasnya.

Tak hanya itu, alasan perahu kayu sederhana itu masih beroperasi lantaran jadi penyambung hidup bagi Sukirwan (80)

Ya, pria lansia ini ternyata pemilik dari perayu eretan di Kali Ciliwung tersebut.

Di usianya yang sudah renta dan tenaganya yang tersisa, Sukirwan tetap melayani jasa akses jalan warga, yang dikayuh oleh tangan-tangan renta miliknya.

Baca juga: Kisah Ayi Anak Penjual Pulsa Diterima di ITB, Piagam dan Medali Penuhi Dinding Buat Dosen Terkesima

"Saya lahir tahun 1945 nggak lama dari Indonesia merdeka," ujar Sukirwan memperkenalkan dirinya saat berbincang di atas perahu eretan, Jumat (1/8/2025).

Melapisi tangannya dengan potongan sandal jepit, Sukirwan memegang tambang yang membentang di aliran kali tersebut untuk menjalankan perahu eretan.

Cukup dua sampai tiga menit, perahu eretan itu berjalan menyeberangi Kali Ciliwung yang siang tadi arusnya cukup tenang serta dihiasi sejumlah sampah plastik men

“Dari zaman Soeharto saya sudah narik di sini. Sekarang udah 35 tahun lebih,” ujar Sukirwan.

Perahu eretan yang dikayuh dengan tambang ini menjadi bukti bahwa tradisi bisa bertahan, bahkan di jantung ibu kota.

Ketika jembatan dan jalan layang menjulang tinggi, eretan Sukirwan tetap melaju pelan, mengantar warga menyeberang dengan ongkos seikhlasnya.

“Dulu orang kalau mau nyeberang harus muter jauh. Saya ajukan izin ke RW, terus ke kelurahan, akhirnya boleh buka eretan ini,” katanya.

Kini, meski pengguna tak seramai dulu, perahu itu masih dibutuhkan, terutama oleh warga lokal yang butuh akses cepat tanpa harus memutar jauh.

Yang paling terasa yakni pendapatannya yang kini tak menentu.

Sumber: Tribun Jakarta
Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved