RENUNGAN RAMADHAN Menghadirkan Ikhlas, Penentu Ibadah Diterima atau Tidak
Walau Nampak sepele, tetapi ikhlas menjadi penentu diterima atau tidaknya ibadah.
Oleh Kelik N Widiyanto, Dosen dan Pengurus Pusat Studi Media Digital dan Kebijakan Publik LPPM Universitas Muhammadiyah Bandung
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - RAMADAN, bulan latihan. Shaum yang dilakukan selama sebulan, Allah tegaskan ibadah ini untuk-Nya.
“Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa, sebab ia hanyalah untuk-Ku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran padanya secara langsung ”. (HR Bukhari).
Sebanyak apapun amal ibadah yang kita lakukan bisa gugur disebabkan tiadanya keikhlasan.
Walau Nampak sepele, tetapi ikhlas menjadi penentu diterima atau tidaknya ibadah.
Jangan sampai belasan rakaat salat yang kita lakukan setiap hari, berhari-hari shaum wajib dan sunat, sedekah, berhaji dan amal kebajikan lainnya pudar karena tidak diiringi keikhlasan dalam menunaikannya.
Namun sebaliknya, sekecil apapun kebaikan yang dilakukan bila dilandasi dengan keikhlasan, ia akan menolong kita di akhirat kelak. Keikhlasan itu bisa dilihat dari tujuan dasar beramal ibadah. Kepada siapa ia tujukan ibadah yang selama ini dilakukan? Untuk Allah Swt? Atau untuk makhluk?
Kholasho akar katanya adalah khuluushan atau kholaashon artinya jernih dan bersih dari pencemaran. Ikhlas berarti jernih, bersih, dan suci dari pencemaran.
Ibnul Qayyim memberikan pengertian ikhlas sebagai, mengesakan Allah Yang Hak dalam berniat melakukan ketaatan, bertujuan hanya kepada-Nya tanpa mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
Ringkasnya, ikhlas menuntun hamba-Nya untuk menomorsatukan tujuan beramal hanya untuk Allah Swt. Tidak untuk yang lain (QS. Al An’am: 162-163).
Keikhlasan membuat hati menjadi tentram. Tiada beban terhadap hamba, tiada harap pujian dari sesama. Sebab, ketulusan dalam berbuat kebajikan tidak berorientasi pada pujian.
Pujian dari sesama melemahkan iman dan bisa menggelincirkan keikhlasan. Akibatnya, amal ibadah menjadi sia-sia. Berkesan di hadapan manusia tetapi tidak ada apa-apanya di hadapan Allah Swt.
Dengan keikhlasan ini melahirkan sikap ihsan. Ihsan ialah, hendaklah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun jika engkau tidak dapat (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihat engkau (HR. Muslim).
Tujuan utama beribadahnya hanyalah untuk Allah Swt. Dus, menyerahkan kepada Allah apakah ia mendapat pahala atau tidak. Sebab, mendapat ganjaran atau tidak bukan harapan utamanya dalam beribadah. Ia menyerahkan seluruhnya kepada Allah atas amal yang dilakukannya.
Sayyidina Ali berkata, ada tiga golongan orang yang beribadah. Pertama, mereka yang beribadah bermental pedagang, yang beribadah mengharap balasan pahala.
Kedua, laksana budak dan tuannya, yang beribadah karena diperintah.
Ketiga, ia beribadah tidak mengharap pahala dan juga bukan karena perintah semata, tetapi ia beribadah karena kecintaannya kepada Allah Swt. Lalu, di manakah kita berada?
Ikhlas pula yang menenangkan diri saat segala harapan tidak berjalan sesuai dengan yang kita inginkan.
Tidak jarang kita kecewa bahkan berburuk sangka pada Allah Swt ketika rencana tidak berjalan mulus. Bahkan sebaliknya, jauh dari harapan.
Ketika itu terjadi mudah sekali kita mengumpat, menyalahkan keadaan, diri sendiri bahkan Allah Swt menjadi sasaran pelampiasan kekecewaan. Bila ini terjadi, jelas ketika di awal tidak menyandarkan diri sepenuhnya kepada Allah Swt.
Kita hanya menggunakan cara dan logika manusia semata, padahal ada cara dan logika yang lebih baik yang sedang dipersiapkan bagi kita oleh Allah Swt tetapi justru kita menyalahkannya.
Ikhlas berhubungan dengan ketauhidan. Sedikit saja terpeleset, bisa menjadi riya. Riya dan ikhlas ini sangat berdekatan. Bahkan sulit membedakannya dihadapan manusia.
Hanya hati dan Allah Swt yang tahu. Karena keikhlasan ini mudah sekali tergelincir, seyogyanya kita menguatkan diri dalam beribadah dengan menguatkan niat. Sayyidina Umar pernah berkata, semua perbuatan tergantung dari niatnya.
Apakah amal yang dilakukan ditujukan untuk Allah Swt semata atau ingin mendapat pujian dari makhluk.
Muhammad bin Shalih Al Munajjid membedakan ibadah dari tradisi dan membedakan antara satu jenis ibadah dari jenis ibadah yang lain. “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal perbuatan kecuali amal perbuatan yang diniatkan dengan ikhlas demi meraih rida-Nya.” (HR. Nasa’i).
Semoga amal ibadah kita senantiasa diiringi keikhlasan dan dijauhkan dari perbuatan riya, ujub, sum’ah dan takabur. Ya Allah, Tuhan yang membolak-balikan hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu. (*)
Pemain Berposisi Bek Jadi Sosok Tertua di Persib Bandung, yang Paling Muda Masih 17 Tahun |
![]() |
---|
Lima Pemain Persib Bandung Potensi Debut di Pekan Kelima Super League, Siapa Saja? |
![]() |
---|
Bacaan Niat Puasa Ayyamul Bidh Rabiul Awal 1447 H Mulai Sabtu 6 September 2025, Lengkap Keutamaannya |
![]() |
---|
Menteri HAM Natalius Pigai Tegaskan Kebebasan Akademik Harus Terus Berjalan |
![]() |
---|
JADWAL Lengkap Pekan Keempat Super League 2025-2026, Persib Bandung dan Persija Jalani Laga Sulit |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.