Sosok RM Djokomono Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Nasional Indonesia, Berjuang Lewat Tulisan
Salah satu tokoh jurnalistik yang paling dikenal di Indonesia adalah Raden Mas Djokomono Tirto Adho Soerja.
TRIBUNJABAR.ID - Tanggal 9 Februari 2024 diperingati sebagai Hari Pers Nasional (HPN).
Hari Pers Nasional merupakan hari peringatan untuk seluruh insan pers yang ada di Indonesia.
Salah satu tokoh jurnalistik yang paling dikenal di Indonesia adalah Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerja.
Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerja pun menjadi Bapak Pers Nasional karena jasanya sebagai perintis jurnalistik di Indonesia.
Tirto Adhi Soerjo (lahir sebagai Raden Mas Djokomono di Cepu, Blora, Jawa Tengah 1880 – meninggal di Batavia, 7 Desember 1918 pada umur 37 atau 38 tahun) adalah seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia, dikenal juga sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Namanya sering disingkat T.A.S..
Tirto menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908).
Tirto juga mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah (SDI-ah)yang merupakan Organisasi tandingan dari Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh H. Samanhoedi.
Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli.
Tirto adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum.
Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Akhirnya Tirto ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara).
Setelah selesai masa pembuangannya, Tirto kembali ke Batavia, dan meninggal dunia pada 7 Desember 1918.
Kisah perjuangan dan kehidupan Tirto diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru dan Sang Pemula.
Pada 1973, pemerintah mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional. Pada tanggal 3 November 2006, Tirto mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI no 85/TK/2006
Kondisi Sarekat Prijaji yang semakin meredup membuat Tirto akhirnya bergabung dengan Budi Utomo sebagai anggota cabang Bandung. Tirto pernah memuat tentang Budi Utomo di Medan Prijaji.
Saat penyelenggaraan rapat besar Budi Utomo pada tanggal 17 Januari 1909, Tirto menyampaikan pendapatnya bahwa Budi Utomo perlu untuk merangkul para pedagang pribumi sebagai anggota BU.
Selain itu, Tirto juga menekankan agar Budi Utomo berfokus kepada pengajaran anak negeri serta mengharapkan Budi Utomo menjadi perhimpunan yang tangguh secara perlahan.
Akan tetapi, hubungan Tirto dengan Budi Utomo tidak selamanya berjalan baik yang dimulai setelah kepulangan Tirto dari Lampung pada tanggal 2 Mei 1910.
Pada hari itu, Tirto melayangkan protes kepada Budi Utomo melalui Medan Prijaji.
Di dalam surat kabar itu, Tirto menuduh bahwa Budi Utomo memboikot surat kabarnya karena rasa cemburu terhadap kesuksesan surat kabarnya yang dibuktikan dengan tidak pernahnya Budi Utomo mengirimkan laporan ke surat kabarnya.
Membela Lewat Tulisan
Sejak masih sekolah di STOVIA, Tirto Adhi Soerjo sudah aktif menulis untuk beberapa media.
Ketika bekerja di Pawarta Priangan, Tirto Adhi Soerjo sempat menetap di Bandung sebelum akhirnya dia pindah lagi ke Batavia karena surat kabar itu bangkrut.
Tirto Adhi Soerjo kemudian bergabung dengan Pembrita Betawi sebagai redaktur, di sana kariernya melesat cepat.
Pada 1901, Tirto Adhi Soerjo sudah menjadi redaktur kepala, kemudian setahun berselang ia sudah dipercaya menjadi pemimpin redaksi.
Semasa bekerja di sana, Tirto Adhi Soerjo belajar dari Karel Wijbrands, seorang jurnalis senior, pemimpin redaksi Niews van den Dag.
Tirto Adhi Soerjo mendapat bimbingan tentang bagaimana mengelola sebuah penerbitan dan ditunjukkan jalan supaya kelak bisa memiliki terbitan sendiri.
Wijbrands juga menyarankan kepada Tirto Adhi Soerjo agar mempelajari hukum untuk mengetahui batas-batas kekuasaan pemerintah kolonial, beserta hak dan kewajibannya.
Lebih lanjut, Tirto Adhi Soerjo juga diajari tentang harga diri menurut standar Eropa dan teknik menghantam kolonial, bukan pemerintah yang diserang, tetapi aparatnya lantaran hasilnya sama saja.
Tirto Adhi Soerjo juga diminta mendalami tata pemerintahan supaya lebih jeli dalam menilai kekuasaan.
Sementara untuk mengenal bangsa bumiputera yang mayoritas Muslim, Tirto Adhi Soerjo diminta mendalami ajaran Islam berikut hukum-hukumnya.
Berkat saran Wijbrands, Tirto Adhi Soerjo kemudian menerbitkan Soenda Berita, sebuah surat kabar pertama di Indonesia yang diterbitkan, dikelola, dan dimodali sendiri oleh orang bumiputra.
Soenda Berita yang diluncurkan 7 Februari 1903 menjadi tonggak sejarah pers nasional.
Surat kabar ini merupakan embrio yang menjdi pretaruhan sekaligus petunjuk pertama ke mana arah ayun kecendekiaan Tirto Adhi Soerjo dalam menyuluh bangsanya secara nasional.
Untuk menarik minat dan menyadarkan pembaca yang memang ditujukan kepada rakyat kebanyakan, Soenda Berita disematkan “Kepoenjaan kami pribumi” oleh Tirto.
Sayangnya, Soenda Berita lantas mengalami krisis finansial.
Antara 1905-1906, Tirto Adhi Soerjo melakukan perjalanan panjang ke luar Jawa untuk menggalang dana, namun justru berdampak fatal terhadap korannya tersebut.
Soenda Berita seperti kehilangan induk dan akhirnya berhenti terbit.
Tirto Adhi Soerjo kemudian meluncurkan Medan Priaji pada 1 Januari 1907 yang terbit mingguan.
Selain sebagai penggagas, Tirto Adhi Soerjo juga bertindak selaku editor sekaligus administrator.
Medan Prijaji juga memperoleh bantuan dana dari para bangsawan dan saudagar lokal.
Pada 10 Desember 1908, NV Javasche Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrijfbohoeften “Medan Prijaji” resmi berbadan hukum.
NV (Naamloze Vennootschap atau perseroan terbatas alias PT) ini tidak hanya menerbitkan Medan Prijaji, melainkan juga beberapa media lainnya, termasuk Soeloeh Keadilan.
Dua media itu berhasil menjadikan Tirto Adhi Soerjo sebagai orang Indonesia pertama yang menyuluh rasa kesadaran berbangsa bumiputra melalui media.
Dalam konteks ini, ia memperkenalkan apa yang sekarang disebut sebagai jurnalisme advokasi.
Tak jarang, Tirto membela kaum tertindas lewat surat kabarnya.
Pencetus Berdirinya Sarekat Prijaji
Di dunia pergerakan, Tirto Adhi Soerjo juga sangat progresif.
Pada 1905, bersama Wahidin Soediro Hoesodo, tokoh sekolah dokter STOVIA, Tirto Adhi Soerjo menggagas perhimpunan yang melahirkan Sarekat Prijaji pada 1906.
Sayangnya belum genap setahun Sarekat Prijaji sudah tersendat-sendat kerana masalah dana.
Tirto Adhi Soerjo kemudian bergabung dengan Budi Utomo Cabang Bandung.
Namun hal itu tidak bertahan lama, Tirto Adhi Soerjo menilai Budi Utomo hanya akan mengangkat kaum priyayi Jawa.
Tirto Adhi Soerjo juga mengklaim bahwa Sarekat Prijaji lebih maju dalam wawasan nasionalismenya daripada Boedi Oetomo, yang mana tidak memperhitungkan perbedaan bangsa-bangsa di dalamnya.
Tirto Adhi Soerjo kemudian mendeklarasikan organisasi baru bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) di Bogor pada 5 April 1909.
Ia berpikiran, bila ingin memajukan kaum “terprentah” hendaknya jangan bergantung kepada golongan ningrat atau orang-orang pemerintahan, melainkan bergerak bersama orang-orang bebas, yakni pedagang.
Tirto Adhi Soerjo kemudian berkolaborasi dengan Haji Samanhoedi, pemimpin perkumpulan Rekso Roemekso di Solo yang mewadahi para pedagang batik, pegawai rendah Kasunanan, hingga orang-orang petugas keamanan.
Rekso Roemekso yang diujung tanduk karena terancam dibubarkan pemerintah kolonial, akhirnya dibantu oleh Tirto Adhi Soerjo menjadi SDI cabang solo yang memiliki badan hukum.
Bahkan Tirto turut merumuskan dan menandatangani anggaran dasar SDI cabang Solo pada November 1911.
Keaktifannya di bidang jurnalistik masih ditandai dengan kepengurusannya menjadi kolomnis di 14 surat kabar antara lain, Pembrita Betawi, Soenda Berita, Medan Prijaji, Soeloeh Keadilan, Poetri Hindia, Sarotomo, Soeara B.O.W., Soara Spoor dan Tram Soearaurna.
Karena tulisan-tulisan di medianya yang begitu lantang melawan pemerintah kolonial Belanda, Tirto Adhi Soerjo kemudian dikriminalisasi, ia dijerat delik pers dan diajukan ke meja hijau.
Medan Prijaji diberedel, di penghujung 1912, Tirto Adhi Soerjo kemudian diasingkan ke Maluku.
Sepulang dari pembuangan dan kembali ke Batavia, pengaruhnya sudah melemah, harta dan asetnya ludes disita negara, teman-temannya pun beranjak menjauh.
Selepas masa pengasingan, jejak pena Tirto Adhi Soerjo seolah dimusnahkan oleh pemerintah Belanda karena pemerintah Belanda yang terus menerus memata-matainya secara intensif.
SDI cabang Bogor yang diprakarsainya pun ikut terbengkalai.
Di sisi lain, SDI cabang Solo yang dikomandoi oleh Haji Samanhoedi jauh lebih berkembang pesat dan lebih dikenal daripada SDI milik Tirto Adhi Soerjo.
Haji Samanhoedi merangkul Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin SDI cabang Surabaya, untuk membesarkan SDI bersama-sama.
Inilah yang di kemudian hari menjadi cikal bakal organisasi Sarekat Islam, organisasi massa terbesar di Indonesia.
Tirto sendiri akibat gerak geriknya selalu diawasi dan dibatasi oleh penguasa kolonial, kesehatan fisik dan mentalnya pun menurun drastis.
Bahkan ia nyaris kehilangan ingatan dan akal sehat yang disebabkan penderitaan fisik dan batin yang menyerang dari segala sisi.
Ia akhirnya harus menyerah pada ajal dalam kesepiannya pada 7 Desember 1918 di usia 38 tahun.
55 tahun kemudian, pemerintah menetapkannya sebagai Bapak Pers Nasional.
Akhirnya Tirto Adhi Soerjo memperoleh gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana pada 10 November 2006. (15)
Gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada Tirto Adhi Soerjo melalui SK Presiden RI Nomor 085/TK/Tahun 2006 tanggal 3 November 2006.
Sebagian artikel ini tayang di Tribunnewswiki.com dengan judul Jadi Bapak Pers Nasional, Siapa Sosok Tirto Adhi Soerjo? Gigih Membela Rakyat Lewat Tulisan
Hari Pers Nasional (HPN)
jurnalistik
Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerja
Bapak Pers Nasional
Tirto Adhi
Medan Prijaji
pers
MIND ID Gelar Kompetisi Karya Jurnalistik MediaMIND 2025 |
![]() |
---|
Surat Kabar Tribun Network Raih 8 Penghargaan dari Serikat Perusahaan Pers di Ajang SPS Awards 2025 |
![]() |
---|
Hendry dan Zulmansyah Sepakati Panitia Kongres Persatuan PWI |
![]() |
---|
AI Ancaman Bagi Pers, Kommarudin Hidayat: Banyak Konten yang Hanya Cari Sensasi |
![]() |
---|
AI Jadi Tantangan Serius Industri Media, Dewan Pers Harus Mampu Adaptasi dengan Ekosistem Digital |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.