Konflik Palestina vs Israel

Otoritas Palestina Harus Memerintah di Gaza dan Tepi Barat jika Perang Hamas vs Israel Selesai

Presiden Amerika Serikat (AS) mengatakan Otoritas Palestina harus memerintah Gaza dan Tepi Barat setelah perang antara Israel dengan Hamas berakhir

|
Editor: Ravianto
MOHAMMED ABED / AFP
Sejumlah warga Palestina memeriksa kerusakan akibat gempuran udara Israel di lingkungan al-Rimal, Gaza City, Selasa (10/10/2023). Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden mengatakan Otoritas Palestina harus memerintah Gaza dan Tepi Barat setelah perang antara Israel dengan Hamas berakhir. 

TRIBUNJABAR.ID, GAZA - Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden mengatakan Otoritas Palestina harus memerintah Gaza dan Tepi Barat setelah perang antara Israel dengan Hamas berakhir.

Biden mengungkapkan hal itu dalam artikel opininya di Washington Post, Sabtu (18/11) waktu setempat.

"Saat kita mengupayakan perdamaian, Gaza dan Tepi Barat harus dipersatukan kembali di bawah satu struktur pemerintahan, yang pada akhirnya di bawah revitalisasi Otoritas Palestina, seiring kita semua berupaya menuju solusi dua negara," ujar Biden.

Biden mengatakan, tidak boleh ada pendudukan kembali atau pengepungan Gaza ketika Otoritas Palestina memimpin.

"Tidak boleh ada pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza, tidak boleh ada pendudukan kembali, tidak boleh ada pengepungan atau blokade, dan tidak boleh ada pengurangan wilayah," tambahnya.

Biden menggunakan opini tersebut untuk mencoba menjawab pertanyaan tentang apa yang Amerika inginkan untuk Gaza setelah konflik selesai.

Selain itu, Biden juga mengatakan Amerika Serikat siap mengeluarkan larangan visa terhadap "ekstremis" yang menyerang warga sipil di Tepi Barat.

Pernyataan Biden senada dengan Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa (UE), Josep Borrel, yang diungkapkannya dalam  Dialog Manama, konferensi tahunan mengenai kebijakan luar negeri dan keamanan di Bahrain.

"Hamas tidak bisa lagi mengendalikan Gaza. Jadi siapa yang akan menguasai Gaza? Saya pikir hanya satu yang bisa melakukan itu – Otoritas Palestina," ujar Borrel pada Sabtu, dikutip dari Al Arabiya.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Prancis, Anne-Claire Legendre menegaskan bukan tugas Israel untuk memutuskan siapa yang memerintah atas Gaza di masa depan.

Prancis menggambarkan perang antara Zionis dengan kelompok militan Hamas Palestina sebagai sebuah tindakan yang tidak pantas.

"Gaza harus menjadi bagian dari negara Palestina di masa depan," kata Legendre, dikutip dari Artigercek.

Prancis mengecam konflik yang dilakukan pendudukan Israel di Tepi Barat yang diduduki.

"Mengenai Tepi Barat, saya ingin menyampaikan kecaman keras Prancis atas kekerasan yang dilakukan pemukim terhadap warga Palestina," kata Legendre.

Legendre menyatakan bahwa Israel melakukan tindakan 'genosida', mengorganisir kekerasan dan pembunuhan di Tepi Barat.

Prancis menyebutnya sebagai kebijakan teror yang bertujuan untuk menggusur warga Palestina.

Membingungkan

Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah menilai pandangan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden terkait otoritas Palestina harus memerintah jalur Gaza dan Tepi Barat setelah perang Israel-Hamas selesai membingungkan kalangan Palestina, Israel, dan masyarakat dunia.

"Bagaimana mungkin otoritas Palestina memerintah di Gaza, jika wilayah Gaza itu telah semakin kecil dan sebagian besarnya sudah dikuasai militer Israel," ujarnya saat dihubungi, Minggu (19/11).

Teuku mengatakan, otoritas Palestina memang masih mungkin memerintah di Tepi Barat. Namun pemerintahan tersebut tetap akan sulit berjalan dengan baik karena wilayah perbatasannya sering disisir oleh Israel.

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu sebelumnya sempat mengatakan keberatan atas rencana Biden supaya otoritas Palestina memerintah Gaza. Otoritas Palestina pernah memerintah Tepi Barat dan Gaza. Tetapi, mereka digulingkan pada 2007 setelah adanya perang saudara singkat dengan Hamas.

"Dengan terkesan melunak, Biden ingin menempatkan Amerika Serikat dalam kubu mayoritas masyarakat dunia yang terus mengkritisi Israel. Jadi, Amerika Serikat ingin menjadi bagian dari penyelesai masalah dan bukan lagi bagian dari pembawa masalah yang pada intinya ingin mengambil simpati dunia," ujarnya.

Bombardir Gaza

Israel telah membombardir rumah sakit, kamp pengungsi, sekolah dan daerah pemukiman di utara dan selatan Gaza sepanjang siang dan malam, sejak serangan balasan Hamas ke Israel, 7 Oktober lalu. Lebih dari 12.300 orang meninggal, termasuk di antaranya adalah 5.000 anak-anak. dan 3.300 wanita. Sedikitnya, dan 30.000 orang lainnya terluka.

Nyawa mereka terancam, bukan saja karena persediaan obat yang sudah sangat menipis, tapi karena pengungsian dan rumah sakit terus menerus dihujani rudal Israel.

Kementerian kesehatan di Gaza, sebelumnya mengatakan pihaknya tidak dapat lagi memberikan jumlah pasti korban karena pertempuran sengit yang menghambat proses identifikasi dan pengurusan jenazah. Puluhan jenazah saat ini berserakan di jalan-jalan di Jalur Gaza utara.

Mereka tidak mungkin menghitung jumlah korban karena tentara Israel juga menargetkan ambulans dan pekerja medis yang mencoba mendekati mereka.

Tim WHO yang memeriksa Rumah Sakit al-Shifa, Sabtu (18/11), menggambarkannya sebagai zona kematian. Ribuan orang hanya diberi waktu satu jam untuk meninggalkan rumah sakit sehingga menimbulkan kepanikan. (tribunnetwork/nandri prilatama/widya lisfianti/andari wulan nugrahani)

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved