Ibadah Haji 2023

Kisah Luar Biasa Kuli Panggul asal Madura Bisa Naik Haji, Menabung Sejak Upahnya Rp 50

Ponah nama almarhum ayahnya di Sampang. Sedangkan Ahmad nama "bin" mendiang kakeknya di Pamekasan.

Editor: Ravianto
AFP
Pelaksanaan tawaf dalam ibadah haji tahun ini. Seorang kuli panggul di Madura membagikan kisahnya bisa naik haji. 

TRIBUNJABAR.ID, SAMPANG - NAMANYA di KTP-nya Sahlan saja. Tanpa nama belakang, nama depan, atau gelar.

Tanggal 10 Dzulhijjah 1444 Hijriyah, atau tiga pekan lagi, Sahlan berhak menyematkan gelar "Haji" di depan namanya. 

WARGA di dusun kelahirannya, Gilin Laok, Ketapang Timur, Sampang, Madura belakangan sudah tak canggung lagi menyapa Sahlan dengan "Kak Towan Haji". 

"Inya Allah, mabror engghi (ya)." ujar Sahlan di pelataran Hilton Hotel, Madinah, Rabu (31/5) malam.

Pertemuan Tribun dengan kuli keranjang ikan Pasar Kemissan, Ketapang ini, tak terencana.

Usai Magrib, Sahlan dan tetangganya, Bihaki Partah Mohammad (68), tengah bersantai menunggu azan Isya di pelataran pintu 22 Masjid Nabawi, Madinah Al Munawwarah. Di KTP, namanya satu kata, Sahlan belaka. 

Namun, untuk kepentingan urusan dokumen perjalanan luar negeri, pihak kemenag mendaftarkan namanya ke Imigrasi Surabaya, dengan tiga kata; Sahlan Ponah Ahmad.

Ponah nama almarhum ayahnya di Sampang. Sedangkan Ahmad nama "bin" mendiang kakeknya di Pamekasan.

Kisah Sahlan naik haji, terbilang luar biasa.

"Sahlan kiih, buta huruf tak ada sekolah sama sekali," kata Bihaki, teman sekamar di Al Madinah Concorde Hotel sekaligus sahabat sekampung Sahlan di Ketapang Timur.

Sahlan tak bisa berbahasa Indonesia sama sekali. Komunikasi Tribun dengan Sahlan atas bantuan Bihaki. 

Sejak lahir tanggal 9 Juni 1966, Sahlan hanya mendengar dan menggunakan bahasa ibunya, Madura.

Sebelum ke Madinah, akhir pekan lalu, Surabaya juga kota terbesar pertama yang pernah dikunjunginya.

Sahlan termasuk sosok tak banyak bicara. Ia baru menjawab kalau ditanya. Jika diajak bercakap, bola matanya selalu tertuju ke mata lawan bicara. Orangnya bersahaja. Jika diam, banyak mendengar adalah definisi baik, Sahlan laik berpredikat orang baik.

Sahlan bercerita selama empat puluh tahun terakhir hidupnya, ia habiskan hari di dua pasar terjadwal di Kecamatan Ketapang, Pasar Kemisan dan Pasar Jumat Pagi. Di dua pasar tradisional itulah Sahlan bekerja sebagai kuli keranjang ikan atau kuli panggul

Ikan dari kapal dia angkut, pikul ke lapak pedagang. Upah hariannya antara Rp 5.000 hingga Rp 10 ribu. 

"Jadi kole masih seket (rupiah) Pak Suharto," ujarnya mengenang awal bayaran Rp 50 rupiah era kejayaan Orde Baru, 1980-an.

Untuk menambah pendapatan, pada malam harinya Sahlan menjadi tukang pijat panggilan tetangga dan warga kampung tetangga. Buruh di pasar kerap juga disebut kuli kasar. Saat Tribun menjajal pijatan Sahlan, terasa betul kekasaran kulit telapak jemarinya. "Saya  merasa telapak Sahlan laiknya papan yang belum diketam." 

Bihaki menyebut, kalau pakai minyak Madura, pijatan tangan Sahlan sekaligus jadi kerokan. 

Bayaran juru pijat keliling juga sebelas-dua belas dari upah kuli keranjang ikan di pasar. Karena iri melihat tetangga dan kerabat pergi berhaji, di umur 30 tahun dia mulai buka tabungan haji pribadi. Di hari biasa, dia disiplinkan menabung Rp4000-Rp 5000 pendapatannya untuk setoran haji. 

"Kalo Pasar Kemmisan dan Jumat sepoloh rebo (Rp10 ribu)," ujar suami tanpa anak itu. 

Di kampung-kampung Pulau Madura, nama pasar menyesuaikan hari pasar. Tahun 2010, tabungan di rumah dipindahkan ke tabungan haji resmi di unit bank capem kecamatan.

Tabungan hariannya lanjut. Tepat, 12 tahun, 2022, nama dan nomor porsinya masuk jatah pelunasan.

"Alhamdulillah, sekkone settong jede bannya' (syukur satu sedikit, jadi banyak)."

Jika dihitung, total tabungan haji Sahlan memang cukup untuk biaya haji reguler, dan bahkan bisa membiayai acara slemetan potong 1 ekor sapi sepekan sebelum masuk Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Mei 2023 lalu. Satu ekor sapi Madura, dihargai Rp 20 juta.

Di Madura, ada tradisi "slemetan" sebelum dan sepulang naik haji. Tradisi tua itu sekaligus mengabarkan dan meminta restu keluarga, kerabat, dan tetangga sekampung. Tradisi inilah mengkonfirmasikan kenapa di Madura Lebaran Iduladha selalu lebih ramai dari Lebaran Idulfitri. 

Dzulqaidah jadi momen melepas dan mengantar keluarga berhaji. Sedangkan  Dzulhijjah, bulan ke-12 tahun Hijriyah, jadi momen menunggu kepulangan jamaah haji.

Di pulau timur Jawa itu, acara ini dikenal dengan nama "Toron ajji" (turun haji atau datang dari Tanah Suci). Karena itu, ketika "toron ajji", maka para towan disambut bak orang penting.  Prosesi ini disebut "ngamba ajjiyan" (menunggu haji). Prosesi ini adalah kelanjutan dari "ngater ajjiyan" (mengantar haji) yang dilakukan sebelumnya.

Dalam dua prosesi tradisional itu, orang-orang Madura terutama dari desa berbondong-bondong untuk mengiringi pergi dan kembalinya para haji. Setiap haji disambut ratusan penjemput dalam konvoi meriah lengkap dengan nyanyian salawat plus tetabuhan hadrah di atas mobil terbuka.(TRIBUNNETWORK/Thamzil Thahir)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved