Kisruh di Keraton Kasunanan Surakarta, Berikut Awal Mula Konflik dan Siapa Saja yang Berkonflik

Sejatinya perselisihan sudah terjadi sejak Raja Kasunanan Hadiningrat, Pakubuwono XII mangkat pada 2004 silam.

Editor: Ravianto
TribunSolo.com/Ahmad Syarifudin
Seorang abdi mengalami kepala bocor saat kericuhan di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat di Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Solo, Jumat (23/12/2022). Bahkan ada yang ditodong pistol. 

TRIBUNJABAR.ID, SOLO - Konflik yang terjadi di Keraton Kasunanan Surakarta atau Keraton Solo baru-baru ini menjadi sorotan.

Sejatinya perselisihan sudah terjadi sejak Raja Kasunanan Hadiningrat, Pakubuwono XII mangkat pada 2004 silam.

Terbaru, peristiwa pada Jumat (23/12/2022) malam menambah daftar panjang konflik internal antara dua kubu di Keraton Solo.

Kericuhan ini merupakan buntut adanya konflik antara dua kubu di Keraton Solo.

Kubu pertama adalah kubu Sasono Putro yang mengatasnamakan Raja Keraton Solo, Sri Susuhunan Pakubuwono XIII.

Kubu kedua adalah kubu Lembaga Dewan Adat (LDA) yang dipimpin Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Wandansari atau Gusti Moeng.

Gusti Raden Ajeng Koes Moertiyah gusti moeng
Ketua Lembaga Adat Keraton Kasunanan Surakarta, GKR Wandansari atau Gusti Moeng (thejakartapost.com)

LDA merupakan sekumpulan para kerabat keraton yang berisi para adik dan anak raja.

Awal Mula Konflik

Bila dirunut lebih jauh, konflik di Keraton Solo berawal setelah meninggalnya Pakubuwono XII pada 12 Juni 2004 atau sekitar 18 tahun yang lalu.

Saat itu Pakubuwono XII tidak memiliki permaisuri dan mengangkat putra mahkota.

Sehingga terjadi perebutan takhta di antara anak keturunan Pakubuwono XII.

keraton solo oke
Abdi dalem berjalan di sekitar Kori Kamandungan Lor, pintu utama Keraton Solo sebelum peringatan naik tahta PB XIII dimulai, Kamis (12/4/2018) pagi.

Dua kubu saling klaim sebagai pewaris tahta dan mendeklarasikan diri sebagai raja Keraton Solo.

Kubu tersebut adalah Hangabehi putra tertua dari selir ketiga Pakubuwono XII mendeklarasikan diri sebagai raja pada 31 Agutsus 2004.

Sementara putra Pakubuwono XII dari selir yang berbeda, Tedjowulan kemudian mendeklarasikan diri sebagai raja pada 9 November 2004.

Pada 2012, Wali Kota Solo saat itu, Joko Widodo dan anggota DPR Mooryati Sudibyo, mendamaikan dua kubu anak raja tersebut di Jakarta.

Hasilnya, Hangabehi dan Tedjowulan sepakat berdamai dan menandatangani akta rekonsiliasi.

Hangabehi yang merupakan putra tertua Pakubuwono XII tetap menjadi raja.

Sementara Tedjowulan menjadi mahapatih dengan gelar KGPH (Kanjeng Gusti Pangeran Haryo) Panembahan Agung.

Meski begitu, sejumlah keturunan Pakubuwono XII menolak rekonsiliasi dan mendirikan Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton.

Lembaga itu memberhentikan sang raja karena Hangabehi beberapa kali melakukan pelanggaran.

LDA juga melarang raja dan pendukungnya memasuki keraton.

Sejumlah pintu masuk raja menuju gedung utama Keraton Solo dikunci dan ditutup dengan pagar pembatas.

Akibatnya, Pakubuwono XIII yang sudah bersatu dengan Tedjowulan tak bisa bertakhta di Sasana Sewaka Keraton Solo.

Pada 2017, Presiden Jokowi pernah mengutus anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres), Jenderal Purn Subagyo HS, melakukan upaya rekonsiliasi, tapi gagal.

Pada Februari 2021, kisruh Keraton Solo kembali terjadi setelah lima orang, di antaranya anak keturunan PB XII, terkurung di Istana.

Hingga pada Jumat (23/12/2022) malam kembali terjadi kisruh yang membuat empat orang dilarikan ke rumah sakit akibat luka-luka.

Kata Kubu LDA

Putri PB XIII, GRAy Devi Lelyana Dewi yang dari kubu LDA menuturkan satu dari sejumlah penyebab konflik di internal keraton, yakni ketika ia kesulitan menemui ayahnya sendiri.

Diungkapkan, GRAy Devi, dirinya dihalang-halangi menemui ayahnya dan disodorkan Nawolo.

Nawolo, atau surat berisi titah raja inilah yang menjadi dasar para abdi dalem melarangnya menemui ayahnya sendiri.

Tapi, Devi mengatakan, hingga kini ia tak pernah ditunjukkan fisik dari Nawolo itu.

"Sampai hari ini pun saya tidak pernah melihat wujud Nawolo karena tidak diberikan kepada saya," tuturnya kepada TribunSolo.com, di Mapolresta Minggu (25/12/2022).

Ia pun melayangkan somasi ke pihak Kasentanan yang pada saat Suro memberikan Nawolo yang sampai hari ini tidak ada penyelesaian.

Sebelum melayangkan somasi, ia pun berusaha mengirimkan surat untuk memohon pertemuan kepada ayahnya.

"Sudah berapa kali mengirimkan surat menanyakan bagaimana. Tapi kan sama sekali tidak ada reaksi," terangnya.

Penjelasan pihak PB XIII

Sementara, dari pihak PB XIII, Pengageng Sasana Wilapa Keraton Surakarta, Kanjeng Pangeran H. Dani Nur Adiningrat bercerita sebaliknya.

Menurutnya, Sinuhun PB XIII ingin menemui GRAy Devi, namun Devi justru menolak karena tidak didampingi pengacara.

Soal Nawolo, Dani mengakui memang ada permintaan itu.

Namun, menurutnya Sinuhun PB XIII memiliki alasan tertentu mengapa ia tak mau menemui putrinya.

"Gusti Devi sempat meminta datang ke Sasonoputro ketemu Sinuhun. Sinuhun itu raja dan beliau punya penggalihan tertentu. Ada hal-hal terkait Gusti Devi yang menjadi penggalihan beliau," tuturnya.

PB XIII saat itu juga sedang menjalani suatu ritual.

"Saat itu beliau belum mau ketemu karena ada upacara ritual tersendiri bagi Sinuhun," jelasnya.

Menurutnya, penolakan ini harusnya membuat GRAy Devi introspeksi.

"Sah toh ketika seorang Bapak belum mau menemui. Seharusnya yang bersangkutan introspeksi diri," kata dia.

Namun, bukan berarti PB XIII tidak mau menemui putrinya ini.

Di suatu waktu Sinuhun berkehendak menemuinya.

Namun, justru GRAy Devi sendiri yang menolak beralasan tidak didampingi pengacara.

"Ketika utusan Kanjeng Adit saat itu memanggil Gusti Devi di Kayonan dan ketemu, Gusti Devi menjawab dia tidak bisa bertemu Sinuhun saat itu dan menunggu lawyer," aku dia.

"Mau ketemu bapaknya harus didampingi lawyer. Ada apa?" tanya Kanjeng Dani.(*)

Sebagian dari artikel ini bersumber dari Tribun Solo

Sumber: Tribun Solo
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved