Gempa Bumi di Cianjur
Gempa Cianjur Rusak Ribuan Bangunan, Ini Gambaran Bangunan Tahan Gempa yang Bikin Aman Tak Ambruk
Konstruksi bangunan tahan gempa pun kini muncul kembali untuk membantu masyarakat agar terhindar dari kerusakan bangunan saat kondisi gempa.
Penulis: Muhamad Nandri Prilatama | Editor: Seli Andina Miranti
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Muhamad Nandri Prilatama
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Bencana gempa bumi yang terjadi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, mengakibatkan puluhan ribu bangunan hancur dan roboh.
Konstruksi bangunan tahan gempa pun kini muncul kembali untuk membantu masyarakat agar terhindar dari kerusakan bangunan saat kondisi gempa.
Kelompok keahlian (KK) Teknologi Bangunan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof Sugeng Triyadi menyampaikan masyarakat saat ini lebih cenderung ingin memiliki rumah gedong atau rumah tembok dan meninggalkan rumah kayu lantaran gaya hidup dan sebagainya.
Padahal, katanya, rumah kayu merupakan rumah kearifan lokal Sunda (Jabar) dan tahan akan bencana gempa, karena sambungan kayu yang dipasak dan dibaut ketika ada terjadi gempa hanya bergerak dan tak akan lepas atau runtuh.
"Tapi, kalau dari bata atau beton itu kan sifatnya kaku sekali. Jadi, bisa menyebabkan retak ketika ada gerakan. Dan biasanya kesannya rumah kayu itu ketinggalan zaman. Lalu, sekarang tukang yang membuat rumah tembok ya asal pasang saja atau saya menyebutnya non engineer, karena mereka enggak mendapat pendidikan soal rumah tahan gempa," katanya saat dihubungi, Rabu (23/11/2022).
Ketika zaman Belanda atau era 60an, lanjutnya, masih ada sekolah pertukangan atau bahasa Belandanya, Ambah School yang mendidik untuk menjadi tukang yang mengetahui persis dalam memasang bata dan beton.
Tetapi, di era saat ini tukang tak mengetahui caranya sehingga yang terjadi seperti di Cianjur rumah banyak yang hancur tak tahan gempa.
Lalu, bagaimana ciri-ciri rumah atau bangunan yang tahan gempa?
Baca juga: Berpacu dengan Waktu, Petugas Cari Ibu & Anak di Nagrak Korban Gempa Cianjur yang Tertimbun Bangunan
Prof Sugeng menjelaskan bahwa bangunan itu harus ada penguatnya, semisal harus ada tiang betonnya.
Dia menyebut rumah saat ini tak ada tiangnya sehingga hanya bata bertemu bata. Meskipun ada batanya hanya dirangkap menjadi dua kali ukurannya dan menjadi pilar bata tetapi bukan beton.
"Rumah tahan gempa itu harus ada tulangan-tulangan betonnya. Harus ada rangka betonnya, batu batanya hanya mengisi dan tak menahan beban tetapi yang menahan beban itu tiangnya atau kolom-kolomnya," ujarnya.
Sehingga rumah atau bangunan tahan gempa, lanjutnya, ada tiang kolomnya dan tiang betonnya.
Selain itu, ada pondasinya yang cukup kuat, dan besi beton harus masuk ke dalam pondasi yang tak hanya sekedar disimpan.
Ketika ada tiang, maka tiangnya itu nanti berdiri di atas pondasi dan harus ada balok sloof yang ukurannya sekitar 15x20 sentimeter dan harus mengelilingi atau menutup semuanya seperti ring.
"Jika bangunannya besar maka di bagian tengahnya itu harus ada ikatan bawah yang menghubungkan antartiang-tiang dan terus ada sloof-nya. Lalu, di atas sloof dipasangi bata," katanya.
Belanjut ke bagian atas bangunan, di bagian atas pintu dan jendela dipasangi balok mengelilingi seperti sloof yang dinamakan ring balok.
Jika bangunannya itu lebar, Prof Sugeng mengatakan tengahnya harus ada yang melintang, lalu kuda-kuda menumpu di atasnya bukan di atas tembok melainkam di kerangka beton.
Baca juga: Kisah Emak Acah, Tatapannya Kosong Ingat Rumah Hancur Akibat Gempa Cianjur, Bingung Mau ke Mana Lagi
"Atapnya pun harus mengikat ke ring balok atau kolom. Harus diikat bukan hanya disimpan supaya menempel. Nah, sekarang kan ada baja ringan yang hanya disimpan dan enggak mengikat, maka ketika ada goyangan gempa material itu akan jatuh. Sama halnya dengan kayu jika tak diikat kuda-kuda atap kerangka ke ring balok maka akan copot," ujarnya seraya menyebut kuda-kuda diletakkan di kolomnya maka tak akan menambah beban.
"Jika panduan ini diikuti dengan baik, saya yakin akan tahan gempa, meski berada di patahan sesar. Ketika memasang tembok itu harus menempel ke tiang yang diberi tulangan beton dan masuk ke tembok sekitar 30 sentimeter. Dari tiang diberi sisa tulangan yang masuk ke tembok, lalu di bawah sloof diberi tulangan yang menonjol ke luar dan masuk ke tembok agar tembok tak roboh saat gempa," ucapnya.
Selanjutnya, ketika membuat jendela yang besar jika tak sampai ke atas, maka di atas jendelanya diberi balok beton, jika tidak maka tembok akan ditahan oleh kusen langsung.
Balok beton itu pun bisa berfungsi sebagai ring balok yang menambah kuat bangunan.
"Tembok harus menempel ke tiang. Jika tembok besar lebih dari 12 m⊃2;, maka diberi lagi tiang kecil di tengahnya seukuran tembok itu dan saya menyebutnya kolom praktis untuk ikut menahan," katanya.
Hal terpenting lainnya, kata Prof Sugeng usahakan bentuk bangunan itu simetris atau geometris untuk menetralisasi ketika ada gempa.
"Jika tak berbentuk tersebut maka akan saling kontradiksi dan terjadi retak. Tipe-tipe rumah ini bisa terlihat di rumah-rumah Belanda, seperti di Jalan Dago, Bengawan, dan lainnya," katanya.
PATAHAN
Jawa Barat ada sekitar tiga patahan (sesar), yakni Patahan Baribis, Patahan Cimandiri, dan Patahan Lembang.
Prof Sugeng menegaskan, bahwa daerah sesar sebetulnya tak boleh terbangun bangunan karena paling beresiko. Namun, kondisi ini tak pernah ada penjelasan, larangan atau arahan, sehingga menjadi masalah dan orang-orang membangun bangunan di daerah sesar lantaran minimnya edukasi dari pihak terkait.
Baca juga: 7 Guru dan 1 Anak Sekolah Masih Tertimbun di Jalan Raya Puncak, Sempat Beriringan dengan Bupati
"Jika memang keukeuh (tetap) ingin membangun di daerah sesar, ya harus ikuti pedoman bangunan tahan gempa. Lalu, dimensinya dibesarkan, misal biasanya memakai tiang 15x15 sentimeter maka jadikan 20x20 sentimeter, supaya lebih kuat. Paling penting, ikuti harus ada tiang, balok, dan pertemuan antara tiang dengan balok harus ada tulangan yang saling mengikat, karena kan enggak hanya disimpan begitu saja melainkan ditambah besi yang masuk ke tiang," katanya.
Ketika disinggung alasan banyak masyarakat yang tak mengikuti panduan bangunan tahan gempa, Prof Sugeng menyebut panduan itu saat ini siapa yang membacanya, sebab tukang tak bisa membaca itu.
"Ya memang harus mulai dari tingkat kelurahan dan kecamatan yang memberikan penjelasan. Sekarang ini kan enggak ada, meskipun ada aturan standarisasi bangunan tahan gempa yang hanya terputus sampai perguruan tinggi. Lalu, perguruan tinggi pun ada sosialisasi hingga mata kuliah, semisal struktur tahan gempa, tapi jika di jurusan sipil itu hanya struktur bangunan yang bertingkat tidak untuk rumah. Ya memang masih kurang dan perguruan tinggi harus diajarkan kembali. Saran saya ya diajarkan pula di SMK dan SMA sekaligus pengendaliannya ketika membuat izin mendirikan bangunan (IMB)," katanya.(*)