Peringati Hari Lingkungan Hidup, Aktivis Lingkungan Kaji Dampak Kebijakan KHDPK
Sejumlah elemen masyarakat di Forum Penyelamat Hutan Jawa (FPHJ) bersama Serikat Perhutani Bersatu, masyarakat adat, peringati hari lingkungan hidup
Penulis: Muhamad Nandri Prilatama | Editor: Mega Nugraha
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Muhamad Nandri Prilatama
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Forum Penyelamat Hutan Jawa (FPHJ) bersama Serikat Perhutani Bersatu, masyarakat adat, akademisi, dan lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) peringati hari lingkungan hidup sedunia.
Mereka membahas terkait isu terkini masalah lingkungan di Alam Santosa, Bandung, Sabtu (18/6/2022).
Perwakilan serikat Perhutani bersatu, Muhammad Ikhsan menyampaikan bahwa silaturahmi yang terlaksana ini sekaligus membahas SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 287 tahun 2022 mengenai kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK).
Berbagai langkah atau cara telah mereka lakukan mulai lakukan aksi damai sampai mendatangi Komisi IV DPR RI di Senayan, untuk mengadukan masalah ini. Kebijakan SK 287/2022, kata Ikhsan, tentunya sangat memberikan dampak bagi para karyawan Perhutani.
"Kami pasti sebagai karyawan (Perhutani) merasa terdampak padahal baru mau ditetapkan, tapi secara psikologis sudah terkena, meski dampaknya tak selalu pemutusan hubungan kerja (PHK)," katanya.
Ikhsan berharap penetapan kebijakan yang dilakukan pemerintah nanti ada kesetaraan dan tak ada diskriminasi, serta jika perlu dalam prinsip kebijakan publik itu harus ada konsultasi publik yang bukan hanya sosialisasi semata.
"Pemerintah itu jelas-jelas harus paling pertama berkonsultasi dengan yang paling terdampak, yakni seperti kami (karyawan Perhutani). Kami miliki anggota sebanyak 12 ribuan, lalu ada serikat pekerja dan pegawai Perum Perhutani yang jumlahnya tiga ribuan, dan 200an orang dari serikat rimbawan pembaharuan Perum Perhutani," ujarnya.
Ketua FPHJ, Eka Santosa menegaskan posisi FPHJ tak anti terhadap reforma agraria. Namun, Eka Santosa menolak jika lahan hutan menjadi objek dari reforma agraria. Terlebih, banyak lahan terlantar dan lebih cocok dijadikan objek reforma agraria dari pada hutan yang sekarang menjadi penyeimbang ekosistem dan sumber kehidupan bagi warga sekitar.
"Sekali lagi kami keberatan dan menolak tegas jika hutan yang dikelola bersama LMDH menjadi objek reforma agraria. Banyak lahan tidur dan sudah habis yang bisa dioptimalisasi menjadi reforma agraria," katanya.
Sekretaris FPHJ, Thio Setiowekti menambahkan keberadaan Perhutani ini salahsatunya melalui jasa Bung Karno yang pada 1961 menandatangani Peraturan Pemerintah nomor 17-30 tentang pembentukan perusahaan-perusahaan kehutanan negara.
"Perhutani sebagai pengelola hutan warisan Bung Karno tetap terjaga di masa presiden-presiden berikutnya sampai muncullah SK menteri LHK nomor 287/2022 yang mengancam eksistensi Perhutani," katanya.(*)