Kader PKS Sebut Penundaan Pemilu Bakal Terjadi, Begini Skenario yang Dijalankan

Kader PKS yang juga Wakil Ketua Komisi V DPRD Jabar Abdul Hadi Wijaya menyebut, rencana penundaan pemilu dimungkinkan terjadi.

ISTIMEWA
Anggota Komisi V DPRD Jabar Abdul Hadi Wijaya 

Laporan Wartawan TribunJabar.id, Muhamad Syarif Abdussalam

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Kader PKS yang juga Wakil Ketua Komisi V DPRD Jabar Abdul Hadi Wijaya menyebut, rencana penundaan pemilu dimungkinkan terjadi.

Pria yang akrab disapa Gus Ahad ini juga menyebut, dari sejumlah pemberitaan di media arus utama tersirat sebuah skenario. 

"Kelihatan sekali, kita baca tulisan, ada skenario yang sedang dijalankan," ujar Gus Ahad, Kamis (3/3/2022).

Bahkan, lanjut Gus Ahad, belakangan muncul salah satu nama Menteri dalam kabinet Presiden Jokowi yang disebut sebagai dalang di balik rencana tersebut. 

"Ada informasi menyebut, Zulhas sempat bertemu Menko Marves LBP dan diminta mendukung penundaan Pemilu 2024," ungkapnya.

Skenario itu jadi mungkin. Untuk perubahan masa jabatan presiden, perlu dilakukan Amandemen UUD 1945 dengan mengubah masa jabatan presiden dan wakil presiden. Untuk Amandemen UUD 1945, dibutuhkan usulan amendemen dari sepertiga anggota MPR yang juga anggota DPR dan Anggota DPD.

Saat ini anggota MPR sendiri berjumlah 711, yang terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD. Jadi, amendemen minimal diusulkan oleh 237 anggota MPR.

"Selain itu, waktunya juga tepat, sekian tahun jelang pemilu, sangat mudah dibaca, ada keinginan dari elit politik, memang hanya sekian orang, tapi ketika di hitung suara di parlemen mencapai 70 persen lebih. Sehingga, isu dan wacana penundaan sangat mungkin terjadi," ujarnya.

Jika Pemilu 2024 Ditunda, Rakyat Sah Untuk Membangkang

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyebut usulan itu menyinggung aturan konstitusi di UUD 1945.

UUD 1945 mengatur soal masa jabatan presiden dan wakil presiden seperti diatur di Pasal 1 ayat 2. Lalu soal penyelenggaraan Pemilu setiap lima tahun untuk memilih anggota DPR, DPD dan membentuk MPR seperti diatur di pasal 2 ayat 1.

"Secara spesifik Pasal 22E UUD 45 secara imperatif menyatakan bahwa pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali," kata Yusril Ihza Mahendra dalam keterangan tertulis, Minggu, (27/2/2022).

Aturan yang dia sebut, berkaitan erat dengan masa jabatan anggota DPR, DPRD, DPD serta presiden dan wakil presiden.

Setelah 5 tahun menjabat, maka penyelenggara negara itu berakhir dengan sendirinya.

Karenanya, jika ditunda melebihi 5 tahun, jabatan penyelenggara negara tak punya dasar hukum.

"Kalau tidak ada dasar hukum, maka semua penyelenggara negara mulai dari Presiden dan Wakil Presiden, anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD semuanya “ilegal” alias “tidak sah” atau “tidak legitimate”," tutur Yusril Ihza Mahendra.

Karena ilegal, maka tidak ada kewajiban bagi warga negara untuk patuh pada pemerintah atau membangkang pada DPR, DPD dan MPR bahkan pada presiden dan wakil presiden serta para menteri.

"Rakyat berhak menolak keputusan apapun yang mereka buat karena keputusan itu tidak sah dan bahkan ilegal

Yusril mengatakan penyelenggara negara (eksekutif) yang masih legal di tingkat pusat, tinggal lah Panglima TNI dan Kapolri.

Pasalnya kedua penyelenggara negara ini hanya dapat diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan pertimbangan dan persetujuan DPR.

"Apabila Presiden dan DPR saja sudah tidak sah dan ilegal, maka bagaimana cara mengganti Panglima TNI dan Kapolri," katanya.

Yusril mengatakan TNI dan POLRI sekarang ini bukan lagi ABRI zaman dulu yang berada dibawah satu komando, Panglima ABRI.

TNI dan POLRI sekarang terpisah dengan tugas masing-masing, dan punya komando sendiri-sendiri yang masing-masing bertanggung jawab secara terpisah kepada Presiden.

"Beruntung bangsa ini kalau Panglima TNI dan Kapolri kompak sama-sama menjaga persatuan dan kesatuan bangsa pada saat yang sulit dan kritis. Tetapi kalau tidak kompak, bagaimana dan apa yang akan terjadi? Bisa saja terjadi dengan dalih untuk menyelamatkan bangsa dan negara, TNI mengambil alih kekuasaan walau untuk sementara," katanya.

Sementara itu, di daerah, gubernur, bupati dan walikota masih sah menjalankan roda pemerintahan kalau masa jabatannya belum habis, tetapi tanpa kontrol DPRD dan juga tanpa pertanggungjawaban kepada Presiden sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Pasalnya DPRD dan Presidennya sudah ilegal.

Oleh karena itu kata Yusril keadaan bangsa dan negara akan benar-benar carut marut akibat penundaan Pemilu.

"Dalam suasana carut marut, timbullah anarki. Dalam anarki setiap orang, setiap kelompok merasa merdeka berbuat apa saja. Situasi anarki akan mendorong munculnya seorang diktator untuk menyelamatkan negara dengan tangan besi. Diktator akan mendorong konflik makin meluas."

"Daerah-daerah potensial bergolak. Campur-tangan kepentingan-kepentingan asing untuk adu domba dan pecah belah tak terhindarkan lagi. NKRI “harga mati” berada dalam pertaruhan besar," tuturnya.

Yusril menegaskan persoalan penundaan Pemilu yang berimplikasi kepada legalitas dan legitimasi kekuasaan ini tidak bisa diselesaikan dengan usulan-usulan Ketua-Ketua Umum Parpol yang sarat dengan kepentingan politik.

Meskipun usul itu kemudian disepakati oleh semua partai yang punya wakil di DPR, DPRD dan MPR, tetapi kesepakatan itu bukanlah kesepakatan lembaga-lembaga negara yang resmi dan legitimate untuk mengambil keputusan menurut UUD 45.

Menurutnya, penundaan Pemilu 2024 itu hanya mungkin mendapatkan keabsahan dan legitimasi jika dilakukan dengan menempuh tiga cara, yakni:

(1) Amandemen UUD 45; (2) Presiden mengeluarkan Dekrit sebagai sebuah tindakan revolusioner; dan (3) Menciptakan konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara.

"Ketiga cara ini sebenarnya berkaitan dengan perubahan konstitusi, yang dilakukan secara normal menurut prosedur yang diatur dalam konstitusi itu sendiri, atau cara-cara tidak normal melalui sebuah revolusi hukum, dan terakhir adalah perubahan diam-diam terhadap konstitusi melalui praktik, tanpa mengubah sama sekali teks konstitusi yang berlaku," ujar Yusril.(*)

Artikel ini telah tayang di TribunJateng.com dengan judul Yusril: Jika Pemilu Diundur, Hanya Panglima TNI & Kapolri yang Legal ,

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved