Cerita Sisi Lain Pembangunan Jalan Raya Pos di Cileunyi ke Sumedang

Jalan Raya Pos membentang dari Anyer-Panarukan. Pembangunannya memakan banyak korban jiwa, terutama saat pembangunan sesi Parakanmuncang - Sumedang

Penulis: Kiki Andriana | Editor: Mega Nugraha
seli andina miranti/tribun jabar
Patung Pangeran Kornel (kiri) bersalaman dengan orang yang diyakini Herman Willem Daendels di Cadas Pangeran 

Laporan Kontributor TribunJabar.id Sumedang, Kiki Andriana.

TRIBUNJABAR.ID, SUMEDANG -Jalan Raya Pos membentang dari Anyer-Panarukan. Pembangunannya memakan banyak korban jiwa, terutama saat pembangunan sesi Parakanmuncang - Sumedang.

Pramoedya Ananta Toer memerinci pembangunan jalan Raya Pos yang melintas Parakamuncang-Sumedang terutama di Cadas Pangeran, memakan korban dengan angka yang Pramoedya sendiri meragukan, 5.000 jiwa.

Mitos tentang pembangunan jalan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels (1808-1811) ini pun telah melekat kuat di dalam benak pribumi, terutama mereka yang tempat tinggalnya dilintasi jalan tersebut.

Baca juga: Kisah Deretan Makam Tanpa Nisan Terpanjang di Cadas Pangeran, Saksi Bisu Kekejaman Daendels

Di Priangan, secara umum, citra Daendels yang bengis bahkan melahirkan sebutan tersendiri dari warga. Daendels disebut Mas Galak, yang juga merupakan pelafalan lokal untuk kata "Marschaalk" pangkat keperwiraan Daendels.

Banyak studi maupun karya sastra yang menyebutkan bahwa yang dimaksud Parakanmuncang dalam pembangunan jalan itu adalah Parakanmuncang kini yang secara administratif masuk ke Desa Sindangpakuon, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang.

Baca juga: Tunjukkan Kepedulian Terhadap Lansia, KPP Jabar dan Sumedang Gelar Kegiatan Baksos

Di pingir Jalan Raya Pos yang melintas ke Parakanmuncang kini ada sebuah pasar tradisional, Pasar Parakanmuncang

Di depan pasar ini menumpuk sampah yang baunya menyengat ke mana-mana. jalan ini menyambung pembangunan Jalan Raya Pos dari Cileunyi-Parakanmucang.

Pandangan sejarah bahwa Jalan Daendels melintas ke Pasar Parakanmuncang dikaitkan dengan letak pusat pemerintahan Kabupaten Parakanmuncang yang berada di Tarikolot Kaler, daerah sebelah selatan pasar Parakanmuncang kini.

Meski pada saat pembangunan berlangsung, kota Kabupaten Parakanmuncang itu dipindahkan ke Anawadak, di sekitar Tanjungsari saat ini. Namun, pandangan ini perlu didekonstruksi berdasarkan sejumlah data yang lebih masuk akal.

"Tesis saya, jalan yang dibangun oleh Daendels itu bukanlah Cileunyi-Parakanmuncang, tetapi dari Cileunyi yang lurus terus ke Tanjungsari bersambung ke Sumedang," kata Ardi Aliyudin, pengajar sejarah dalam diskusi bertajuk "Ngawincik Sajarah Parakanmuncang" yang digagas Jaringan Ngebon Minggu, di halaman Masjid Darul Ilmi, Cimanggung, Minggu (23/1/2022).

Jalan Parakamuncang-Simpang-Sumedang sendiri, telah ada sejak dahulu. namun, jalur lama itu bukanlah jalur yang diperlebar oleh Daendles.

Ardi berpendapat bahwa kemungkinan tesis itu bisa jadi mendekati benar, mengingat perintah tertulis Daendels dalam Besluit 25 September 1810, yang sama dengan perintah memindahkan Ibukota Bandung dari Karapyak ke dekat Cikapundung, ada perintah pemindahan ibukota Parakanmuncang ke Anawadak.

"Logika pemindahan ibukota itu adalah untuk mendekati letak Jalan Raya Pos. Sehingga, boleh jadi ibukota Parakanmuncang dipindahkan ke Anawadak itu untuk mendekati jalan Raya Pos yang dibangun melintas ke daerah itu," kata Ardi.

Anawadak sendiri menurut penelusuran Ardi kemungkinan berada di daerah yang kini dibangun di atasnya SMA Yadika Tanjungsari, bukan di alun-alun Tanjungsari seperti yang bisa dijumpai kini.

Daerah-daerah yang kini disebut Tanjungsari, Rancakalong, hingga ke perbatasan Subang, bahkan di Timur hingga ke Limbangan adalah disebut juga Parakanmuncang ketika itu.

"Wilayah yang tercakup Kabupaten Parakanmuncang itu luas. Sehingga boleh jadi yang dimaksud Parakanmuncang di dalam perintah pembangunan jalan itu yang melintas Cileunyi-Tanjungsari-Sumedang, wilayah itu disebut Parakanmuncang juga," katanya.

Diskusi Jaringan Ngebon Minggu itu berakhir dengan trigger untuk studi lebih lanjut mengenai jalur Jalan Raya Pos sesi Parakanmuncang-Sumedang.

Panitia diskusi Jaringan Ngebon Minggu, Fajar Islam mengatakan diskusi itu merupakan diskusi pertama komunitas lintas golongan di Cimanggung.

"Jaringan Ngebon Minggu diharapkan menjadi oase atau mata air bagi kehausan kaum muda di Cimanggung akan ruang terbuka dan merdeka untuk berdiskusi," katanya.

Menurut Fajar, yang dibahas dalam Jaringan Ngebon Minggu setiap minggu akan beragam, mulai dari bahasan lingkungan, budaya, sejarah, agama, bahkan sampai ke persoalan sampah.

"Yang hadir dalam diskusi ini adalah kaum muda dari beragam latar belakang, dari beragam organisasi pula, ruang diskusi seperti ini sangat jarang jika tak boleh dibilang tidak ada di Cimanggung," katanya.

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved