Hari Ini Dijadwalkan Dieksekusi, Terpidana Kasus Narkoba Tak Jadi Dihukum Mati Karena IQ-nya Jongkok

Nagaenthran K. Dharmalingam, nama terpidana mati kasus narkoba di Singapura itu sudah divonis mati tahun 2010 silam setelah tertangkap.

Editor: Ravianto
via bbc/tribunnews
Nagaenthran (kedua dari kiri) berfoto bersama anggota keluarganya (via BBC.com) 

TRIBUNJABAR.ID, SINGAPURA - Seorang terpidana mati kasus penyelundupan narkoba seharusnya dihukum mati hari ini, Rabu (10/11/2021).

Nagaenthran K. Dharmalingam, nama terpidana mati kasus narkoba di Singapura itu sudah divonis mati tahun 2010 silam setelah tertangkap menyelundupkan heroin seberat 42,7 gram.

Namun eksekusi hukuman mati dengan cara digantung itu ditunda setelah muncul beberapa kecaman.

Seorang aktivis yang memegang poster dan lilin, menolak eksekusi Nagaenthran K. Dharmalingam, yang dijatuhi hukuman mati karena menyelundupkan heroin ke Singapura, di luar kedutaan Singapura di Kuala Lumpur pada 8 November 2021. (Mohd RASFAN / AFP)
Seorang aktivis yang memegang poster dan lilin, menolak eksekusi Nagaenthran K. Dharmalingam, yang dijatuhi hukuman mati karena menyelundupkan heroin ke Singapura, di luar kedutaan Singapura di Kuala Lumpur pada 8 November 2021. (Mohd RASFAN / AFP) (Mohd RASFAN / AFP)

Kecaman terutama menyangkut tingkat kecerdasan intelektual atau IQ Nagenthran yang dinilai sangat rendah.

BBC melaporkan, IQ Nagaenthran hanya 69, tingkat yang diakui sebagai indikasi disabilitas intelektual alias IQ jongkok

Bahkan Perdana Menteri Malaysia sampai menyurati Perdana Menteri Singapura soal kasus tersebut.

Menarik Perhatian Dunia

Kasus Nagaenthran K. Dharmalingam, terpidana mati kasus narkoba, menarik perhatian dunia.

Warga negara Malaysia keturunan India ini ditangkap pada April 2009 di Singapura karena mencoba menyelundupkan heroin.

Dia berusia 21 tahun saat itu.

Satu tahun kemudian, Nagaenthran divonis hukuman mati.

Nagaenthran Dharmalingam dijadwalkan akan digantung pada hari Rabu (10/11/2021).

Namun dua hari sebelum eksekusi, Pengadilan Tinggi Singapura mengabulkan permintaan penundaan eksekusi.

Pihak berwenang Malaysia dan kelompok hak asasi manusia menyerukan penundaan eksekusi karena IQ Nagaenthran yang rendah.

BBC melaporkan, IQ Nagaenthran hanya 69, tingkat yang diakui sebagai indikasi disabilitas intelektual alias IQ jongkok

Namun Pengadilan Singapura sebelumnya telah memutuskan bahwa Nagaenthran tahu betul apa yang dia lakukan.

Keputusan pemerintah Singapura untuk mengeksekusi Nagaenthran menimbulkan kecaman oleh organisasi hak asasi manusia dan masyarakat sipil.

Mereka berpendapat bahwa telah terjadi pelanggaran hukum dan standar hak asasi manusia internasional dalam kasus Nagaenthran, mengingat ia memiliki fungsi intelektual dan defisit kognitif yang terbatas.

Kecacatan ini dianggap akan mempersulit Nagaenthran untuk menilai risiko dan juga akan menyulitkannya untuk secara akurat menjelaskan keadaannya.

Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yaakob baru-baru ini menulis surat kepada rekannya di Singapura, Lee Hsien Loong menuntut keringanan hukuman dalam kasus Dharmalingam.

Bagaimana kasus Nagaenthran K. Dharmalingam?

Mengutip Indian Express, pada 22 November 2010, Dharmalingam dijatuhi hukuman mati karena mencoba menyelundupkan 42,72 gram heroin ke Singapura.

Dia ditangkap pada April 2009 ketika mencoba menyelundupkan heroin di Woodlands Checkpoint saat memasuki Singapura dari Malaysia.

Heroin itu diikatkan ke pahanya saat itu.

Dharmalingam mengajukan banding di pengadilan banding Singapura pada Juli 2011, namun ditolak.

Pada Februari 2015, Dharmalingam mengajukan permohonan untuk diberikan hukuman penjara seumur hidup, bukan hukuman mati.

Pada titik ini, salah satu masalah yang dipertimbangkan selama hukuman ulangnya adalah bahwa tanggung jawab mental terdakwa atas tindakannya "dirusak secara substansial" pada saat ia melakukan pelanggaran.

Pengadilan Tinggi menyatakan terdakwa tahu apa yang dia lakukan.

Sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri Singapura mengatakan pada saat itu seorang psikiater yang dipanggil atas namanya setuju Nagaenthran tidak cacat intelektual.

Pernyataan tersebut mencatat bahwa pada 2015, pengadilan menemukan terdakwa "mampu merencanakan dan mengatur dengan cara yang lebih sederhana" dan "relatif mahir hidup mandiri".

Selain itu, pengadilan mencatat tindakannya "mengungkapkan bahwa dia mampu manipulasi dan menghindar”.

Misalnya, ketika ia berhenti di pos pemeriksaan, berusaha untuk mencegah penggeledahan dengan memberi tahu petugas Biro Narkotika Pusat bahwa dia “bekerja di bidang keamanan”, yang menarik persepsi sosial bahwa petugas keamanan dapat dipercaya.

Mengapa Muncul Protes atas Kasus Ini Sekarang?

Masih mengutip Indian Express, pada 26 Oktober, Layanan Penjara Singapura mengirim surat kepada ibu Dharmalingam yang menginformasikan tentang eksekusi anaknya yang ditetapkan pada 10 November.

Surat itu beredar di media sosial.

Sejak itu, organisasi hak asasi manusia mulai meminta pemerintah untuk mengampuni Nagaenthran, mengingat mentalnya yang dianggap cacat.

Kasus ini mendapat kecaman dari Uni Eropa, Amnesty International, Divisi Keadilan Sosial Asosiasi Psikologi Amerika, Kampanye Anti-Hukuman Penalti Singapura, dan Kolektif Keadilan Transformatif.

"Delegasi Uni Eropa dan misi diplomatik Negara Anggota Uni Eropa dan Norwegia dan Swiss menentang penggunaan hukuman mati, yang tidak pernah dapat dibenarkan, dan mengadvokasi Singapura untuk mengadopsi moratorium pada semua eksekusi sebagai langkah pertama yang positif menuju penghapusannya," kata Delegasi Uni Eropa dalam pernyataannya.

"Hukuman mati adalah hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan tidak biasa, peninggalan masa awal penologi, ketika perbudakan, branding, dan hukuman fisik lainnya adalah hal biasa."

"Seperti praktik-praktik biadab itu, eksekusi tidak memiliki tempat dalam masyarakat yang beradab," ungkap Divisi Keadilan Sosial Asosiasi Psikologi Amerika dalam pernyataannya.(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved