Kisah Pilu Dua Bocah Ini, Tinggal di Poskamling, Hidup Nomaden, Terpaksa Berhenti Sekolah
Seakan-akan rumah, pos kamling tersebut telah menjadi tempat tinggal bocah bernama Zahra Fitriani (9) dan Salsabila Putri (8).
TRIBUNJABAR.ID, JEMBER - Kerasnya hidup harus dijalani oleh dua bocah perempuan di Jember.
Dua bocah perempuan ini tak memiliki pilihan lain selain tinggal di poskamling.
Bocah-bocah tersebut tampak duduk di bagian depan poskamling yang terbuat dari bambu di Jalan Slamet Riyadi, Kelurahan Baratan, Kecamatan Patrang, Jember.
Seakan-akan rumah, pos kamling tersebut telah menjadi tempat tinggal bocah bernama Zahra Fitriani (9) dan Salsabila Putri (8).
Kedua bocah ini hidup bersama sang ayah, M Solehuddin.
Baca juga: Pengakuan Pilu Yosef ke Saudara, Sebut Yoris Kini Jadi Satu-satunya Harta, Yoris Sudah Menunggu
Dilansir dari Kompas.com, Poskamling itu sudah menjadi tempat tinggal keluarga Solehuddin sejak setahun yang lalu.
“Sudah tinggal disini sekitar setahun,” kata Solehuddin pada Kompas.com saat ditemui di lokasi, Senin (4/10/2021).
Poskamling terletak di pinggir sebuah jalan kecil. Luasnya hanya sekitar 2x1 meter.
Dinding-dinding Poskamling tampak ditutup dengan kelambu bekas seadanya.
Untuk penerangan, mereka menumpang lampu pada rumah warga.
Di dalam Poskamling tak ada kasur empuk, yang ada hanya tumpukan baju, makanan ringan maupun beras.
“Kalau tidak hujan, masaknya di depan, mandi kadang numpang, kadang di sungai,” ucap dia.
Awal mula tinggal di Poskamling
Solehuddin mengaku, dirinya lahir di Desa Sempolan Kecamatan Silo. Orangtuanya sudah meninggal.
Rumah orangtuanya di Silo juga sudah tidak ada.
Dia pernah merantau ke Bali untuk bekerja. Solehuddin kemudian menikah dengan istrinya.
Baca juga: Kisah Pilu Driver Ojol, Sering Belikan Martabak untuk Konsumen tapi Belum Mampu Belikan Istri
Namun sayangnya, sang istri lalu meninggal dunia karena kecelakaan.
“Dulu sempat tinggal di Kecamatan Pakusari bersama istri, ada rumah milik orang tidak dipakai,” tutur dia.
Solehuddin bersama istrinya diminta untuk tinggal dan membersihkan tempat tersebut.
Tetapi ketika sang istri meninggal dunia, dia tak bisa lagi tinggal di tempat tersebut karena tidak maksimal merawat rumah milik orang lain itu.
“Saya harus bekerja cari uang, jadi akhirnya pindah,” jelas pria berusia 32 tahun itu.
Hidup nomaden
Solehuddin sempat menyewa tempat indekos.
Namun karena sudah tidak memiliki uang, dia hidup secara nomaden bersama anaknya.
“Kadang tinggal di emperan toko, rumah orang, pindah-pindah,” ucap dia.
Dia mengaku, rumah mertuanya juga ditempati oleh keluarganya sendiri.
Sudah tak bisa menampung dirinya, akhirnya Solehuddin memilih untuk tidak tinggal di sana.
Tinggal di Poskamling
Lalu, pada tahun 2020 lalu, dia juga menumpang untuk tinggal di halaman rumah warga di Kelurahan Baratan Kecamatan Patrang.
Namun karena rumah tersebut dibangun, dia lagi-lagi terpaksa harus pindah.
“Kebetulan ada Poskamling, akhirnya tinggal disini,” jelas dia.
Solehuddin mengaku sudah setahun tinggal di tempat itu.
Untuk memenuhi kebutuhannya, dia bekerja serabutan. Seperti membuat layang-layang untuk dijual hingga membantu tukang bengkel.
“Kadang anak saya ikut kalau bekerja,” tutur dia.
Ketika tinggal di Pakusari, kedua anaknya sempat sekolah. Namun karena sudah sering berpindah-pindah, akhirnya sekolah mereka sudah tidak jelas.
”Apalagi sekarang daring, sudah lama tidak belajar,” tutur dia.
Bercita-cita menjadi dokter
Zahra Fitriani (9), bocah yang tinggal di Poskamling mengaku memiliki cita-cita ingin menjadi dokter.
Sedangkan saudaranya, Putri ingin menjadi pesilat. Namun, keduanya tidak bisa belajar dan tidur dengan nyaman. Sebab tempat yang mereka tinggali kini sangat terbatas.
“Kalau saya ingin jadi dokter,” kata dia.
Dua bocah itu juga tak bisa berbuat banyak. Sebab, mereka tak memiliki buku untuk belajar.
Selain ikut sang ayah bekerja, mereka juga kerap bermain dengan teman-teman di sekitar lokasi Poskamling.
Pengakuan warga
Sementara itu, Anang Bahtiar Dwi Utomo, warga setempat mengatakan, M Solehuddin juga sempat menumpang tinggal di rumah warga di dekat rumahnya.
Namun karena rumah itu sudah dibangun, akhirnya Solehuddin pindah ke Poskamling yang tidak dipakai tersebut.
“Dia izin pada pemilik tanah, ternyata diperbolehkan,” tutur dia. Setiap harinya, Solehuddin bekerja sebagai buruh kasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dia mengatakan, kedua anak Solehuddin tidak sekolah karena keterbatasan biaya. Untuk itu, dia berharap kondisi keluarga tersebut mendapat perhatian dari pemerintah.
“Saya juga sebagai Taruna Siaga Bencana (Tagana) Dinsos memohon mungkin ada yang berdonasi untuk kelayakan tempat tinggal dan kehidupan mereka,” papar dia.
Dia juga berharap agar ada kepedulian dari pemerintah agar kedua anak tersebut bisa kembali sekolah. Sebab, masa depan mereka masih panjang.
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Jember Widy Prasetyo menambahkan sudah meminta anggotanya untuk melakukan assessment.
Rencananya dia akan mengunjungi Solehuddin dan anak-anaknya.
“Teman-teman Dinsos sudah saya minta assessment,” tutur dia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Pilu 2 Bocah di Jember, Tinggal di Poskamling, Hidup Nomaden dan Terpaksa Berhenti Sekolah"