Mengenang Kisah Hidup Pierre Tendean, Berkorban Demi Lindungi Jenderal AH Nasution di Malam G30S
Menjadi korban penculikan G30S/PKI bersama sejumlah perwira tinggi militer. Siapa sebenarnya sosok Pierre Tendean?
Penulis: Widia Lestari | Editor: Widia Lestari
TRIBUNJABAR.ID - Sosok Kapten Tendean atau Pierre Tendean termasuk korban G30S atau Gerakan 30 September.
Hingga kini, namanya selalu dikenang sebagai pahlawan revolusi yang gugur dalam peristiwa bersejarah di Indonesia.
Ia menjadi korban penculikan G30S/PKI bersama sejumlah perwira tinggi militer. Siapa sebenarnya sosok Pierre Tendean?
Baca juga: Kuatnya Ade Irma Suryani Anak AH Nasution, Tak Nangis Tertembak di Malam G30S, Padahal Terluka Parah
Ia bernama lengkap Pierre Andreas Tendean. Ia adalah anak dari pasangan AL Tendean dan Maria Elizabeth Cornet.
Ayahnya berdarah Minahasa, sedangkan sang ibu berdarah campuran, Indonesia dan Prancis.
Melansir dari berbagai sumber, Pierre Andreas Tendean bercita-cita menjadi TNI, tetapi awalnya ia diarahkan menjadi seorang dokter atau insinyur.
Namun, ia teguh atas tekadnya menjadi prajurit TNI. Ia akhirnya mengenyam pndidikan di Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD).
Pierre Andreas Tendean berpangkat letnan dua saat lulus dari pendidikan militer. Ia pun sempat bertugas sebagai anggota TNI di Medan.
Kemudian, ia mengikuti pendidikan intelijen. Setelah lulus, ia terjun menjadi seorang intel. Ia bahkan pernah bertugas saat ada konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Kala itu, ia melakukan penyusupan sebagai mata-mata. Keahlian Pierre Tendean pun tak dianggap remeh.
Hal itu membuat dia menjadi prajurit yang unggul dan bisa diandalkan.
Dilansir Tribunjabar.id dari Kompas, hal ini terbukti dari berebutnya tiga jenderal untuk menjadikan Pierre Tendean sebagai ajudan.
Mereka adalah Jenderal AH Nasution, Jenderal Hartawan, dan Jenderal Kadarsan.
Dari ketiga jenderal itu, Jenderal AH Nasution lah yang mendapatkan sosok Pierre Andreas Tendean.
Hal ini disebabkan Jenderal AH Nasution disebut sangat menginginkan Pierre Tendean menjadi ajudannya.
Baca juga: Kata-kata Terakhir Ade Irma Suryani, Putri Kecil AH Nasution Korban G30S, Akhir Hidupnya Memilukan
Akhirnya, Pierre Andreas Tendean pun menggantikan ajudan sebelumnya, Kapten Manullang.
Kapten Manullang gugur saat bertugas di Kongo untuk menjaga perdamaian.

Pierre Andreas Tendean dipromosikan sebagai Letnan Satu (Lettu).
Lettu Pierre Tendean pada akhirnya menjadi ajudan Jenderal AH Nasution termuda.
Pada usia 26 tahun, ia sudah mengawal sang jenderal ternama.
Tidak hanya mengawal Jenderal AH Nasution, Lettu Pierre Tendean pun akrab dengan putri Jenderal AH Nasution, Ade Irma Suryani.
Potret berdua mereka bahkan terpajang di Museum AH Nasution.
Namun, kisah hidup Lettu Pierre Tendean sebagai ajudan AH Nasution berakhir tragis.
Masih dilansir Tribunjabar.id dari Kompas.com, saat itu (30/9/1965) Lettu Pierre Tendean biasanya pulang ke Semarang merayakan ulang tahun sang ibu.
Namun, ia menunda kepulangannya karena tugasnya sebagai pengawal Jenderal AH Nasution.
Ia tengah beristirahat di ruang tamu, di rumah Jenderal AH Nasution, Jalan Teuku Umar Nomor 40, Jakarta Pusat.
Namun, waktu istirahatnya terganggu karena ada keributan.
Lettu Pierre Tendean pun langsung bergegas mencari sumber keributan itu.
Ternyata keributan itu berasal dari segerombol orang.
Disebutkan bahwa orang-orang yang datang ke rumah AH Nasution mengatasnamakan sebagai pasukan Tjakrabirawa.
Mereka pun menodongkan senjata sehingga Lettu Pierre Tendean tak bisa berkutik dan dikepung pasukan itu.
Demi melindungi atasannya, Lettu Pierre Tendean pun menyebut dirinya sebagai Jenderal AH Nasution.
"Saya Jenderal AH Nasution," ujarnya.
Akhirnya, ia yang dikira Jenderal AH Nasution pun langsung diculik.

Sementara itu, putri Jenderal AH Nasution, Ade Irma pun tertembak.
Pada akhirnya, Lettu Pierre Tendean pun harus gugur di tangan orang-orang yang menyerangnya.
Tubuhnya yang tidak bernyawa diikat kakinya, lalu dimasukkan ke dalam sumur, di Lubang Buaya.
Pada usianya yang masih muda, Lettu Pierre Tendean pun tinggal menjadi kenangan dalam peristiwa mengerikan itu.
Kematiannya memberikan luka mendalam terhadap keluarganya.
Sebenarnya pada November 1965, Lettu Pierre dijadwalkan akan menikah dengan pujaan hatinya.
Ia disebut akan menikahi Rukmini Chaimin, di Medan.
Namun, takdir berkata lain. Ia meninggal mengatasnamakan atasannya di depan para pembunuh itu.
Sebagai bentuk kehormatan, ia pun dinaikkan pangkatnya menjadi Kapten.
Kapten Tendean pun ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia, pada 5 Oktober 1965.