Wawancara Ekslusif Ahli Gempa ITB, Sesar Lembang Itu Nyata dan Berbahaya, Bisa Picu Gempa Besar
SEJUMLAH gempa di wilayah Jawa Barat kerap dikaitkan dengan keberadaan sesar Lembang. Sesar Lembang membentang
Penulis: Cipta Permana | Editor: Ichsan
TRIBUNJABAR.ID - SEJUMLAH gempa di wilayah Jawa Barat kerap dikaitkan dengan keberadaan sesar Lembang. Sesar Lembang membentang sejauh 29 kilometer, memanjang dari Padalarang, Kabupaten Bandung Barat hingga Jatinangor, Kabupaten Sumedang.
Selama periode Mei 2010 hingga Desember 2011, terdeteksi setidaknya sembilan kali gempa di patahan Lembang. Para ahli sepakat, patahan ini aktif dan berpotensi memicu gempa-gempa lainnya. Termasuk potensi gempa dahsyat seperti digambarkan Prof. Sri Widyantoro dari ITB.
Lantas apa yang terjadi jika Jawa Barat benar-benar diguncang gempa dengan magnitudo 8,7?
Berikut petikan wawancara eksklusif jurnalis Tribun Jabar, Cipta Permana, dengan Ketua Pusat Unggulan IPTEK (PUI), Sains, dan Teknologi Kegempaan, yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) ITB, Dr. Irwan Meilano.
Setiap gempa yang terjadi di wilayah Jawa Barat, selalu dikaitkan masyarakat dengan aktifnya sesar Lembang, bagaimana sebenarnya kondisi sesar Lembang itu?
Sesar Lembang itu adalah salah satu dari lima sesar aktif potensi sumber gempa yang ada di wilayah Jawa Barat, selain sesar Cimandiri, sesar Cipamingpis, sesar Garsela, dan sesar Baribis.
Riset tentang sesar Lembang itu telah ada cukup lama, salah satunya di publikasikan oleh Prof. Cia sekitar tahun 1968 lalu.
Dalam paper-nya dijelaskan dengan sangat baik, bagaimana proses terbentuknya Gunung Api Sunda Purba, yang kemudian berkembang menjadi sebuah sesar aktif dengan memiliki pola geser mendatar mengiri dan pola turun dengan perbandingan 2:1.
Menariknya setelah paper Prof. Cia publish, kami tidak menemukan adanya literatur lain selengkap yang dibuat beliau. Inilah yang menurut saya menjadi penyebab banyak sekali pertanyaan dan ketidakyakinan bahwa sesar Lembang adalah sebuah sesar aktif.
Publikasi detail mengenai sesar Lembang baru terbit kembali pada tahun 2000-an, yang ditulis oleh Dr. Mudrik Daryono dari LIPI pada tahun 2019.

Bagaimana dengan hasil penelitian dari peneliti lain terkait sesar Lembang? Akankah menjadi sebuah pertanyaan yang tidak terjawab kondisinya?
Para peneliti hingga kini terus mencoba menggali berbagai informasi potensi terkait kondisi dari kondisi Sesar Lembang dan empat sesar aktif lainnya di Jawa Barat.
Seperti peneliti dari LIPI, Pak Mudrik Rahmawan Daryono berhasil menggali bahwa pada 500 tahun lalu pernah terjadinya sebuah gempa besar di jalur Sesar Lembang dan menemukan adanya beberapa offset atau pergeseran dipermukaan juga di bagian bawah permukaan.
Dengan penggalian kondisi tanah di jalur Sesar Lembang juga pengambilan foto dengan lidar, bahkan foto itu menjadi Lidar terbaik yang pernah ada di Indonesia menjadi bukti bahwa pernah terjadinya gempa besar di masa lalu.
Sehingga penelitiannya dapat melengkapi apa yang dilakukan oleh Prof. Cia puluhan tahun lalu, dengan data terbarukan.

Seberapa aktif sebenarnya sesar Lembang?
Selain gempa magnitudo 3,3 tahun 2011 lalu, yang merusak 384 rumah warga, aktivitas kegempaan di sesar Lembang beberapa kali terjadi meskipun magnitudenya kecil. Gempa-gempa serupa sebenarnya juga terus terjadi hingga saat ini.
Dalam penelitiannya,Pak Mudrik bahkan berhasil menunjukan adanya potensi pengulangan periodik dari aktivasi sesar Lembang ini dengan range 200-600 tahun.
Adanya hasil penelitian ditambah kemampuan jaringan yang lebih baik dimiliki BMKG saat ini, kita dapat menjawab keraguan masyarakat terkait aktivasi sesar Lembang dengan sangat jelas. Jadi kalau pertanyaan apakah riset di sesar Lembang itu sudah baik, saya pastikan sudah jauh lebih baik, dan progres perkembangannya bergerak sangat cepat dalam lima tahun terakhir.
Beberapa artikel menyebutkan bahwa zona megathrust sesar Lembang akan menyebabkan terjadinya sebuah gempa dengan magnitude 6,8 bahkan 8,7. Bagaimana gambaran kondisinya?
Beberapa hasil riset yang telah ada, termasuk yang kami lakukan selama ini bahwa potensi maksimum dari magnitude kekuatan gempa yang mungkin terjadi dari sesar Lembang ini ada di rentang angka magnitude 6,5 hingga 7,2.
Dalam rumus gempa, semakin besar magnitude yang akan dihasilkan, maka kejadiannya semakin jarang, begitu pula sebaliknya.
Kita akan mengatakan bahwa gempa kekuatan magnitude lebih kecil akan sering terjadi di sesar Lembang. Tapi untuk kesiapsiagaan, tentunya kita tidak berbicara gempa yang kecil, tapi skenario terburuk yang akan terjadi, sehingga kita akan semakin waspada.
Kami sangat berharap semua pihak dapat memahami dan bekerjasama dalam mengantisipasi terjadinya potensi gempa dari sesar Lembang.
Maka dalam konteks alur pengurangan risiko potensi bencana, bahwa kami (peneliti) bekerja di bagian hulu atau potensi bencana, maka semaksimal mungkin kami harus memperkuat data hasil riset untuk mendetilkan dan mengestimasi potensi risiko yang akan terjadi.
Kemudian riset ini selanjutnya disampaikan kepada pemerintah dan stakeholder terkait lainnya, termasuk para organisasi relawan kebencanaan untuk dapat membuat kebijakan dan langkah strategis dari upaya menyadarkan dan mendefinisikan konsep risiko dari sebuah bencana kepada masyarakat.
Masyarakat harus dilibatkan sebagai subjek dan bukan sebagai objek dari upaya mitigasi. Inilah poin pentingnya dari bagaimana membangun sebuah strategi mitigasi bencana secara baik yang khas dengan Jawa Barat, khasnya Kota Bandung, dan khasnya sesar Lembang.

Dengan ketidakpastian kapan sebuah gempa akan terjadi, bagaimana upaya mitigasi kebencanaan dapat dilakukan?
Inilah yang menjadi persoalan, sehingga tidak mudah bagi kami (peneliti) untuk dapat meyakinkan para pengambil kebijakan di level daerah, termasuk masyarakat agar mereka dapat mempersiapkan diri dalam menghadapi situasi potensi gempa yang sangat besar, yang sewaktu-waktu akan terjadi.
Apa upaya yang seharusnya dapat dilakukan pemerintah agar mitigasi dapat lebih maksimal?
Kita sebetulnya selama ini berharap akan adanya dukungan yang kuat dari para pengambil kebijakan.
Mereka perlu menyadari bahwa untuk dapat sampai ke tahap kemampuan mitigasi di masyarakat dalam upaya mengurangi risiko dampak bencana, sebelumnya peneliti harus diberikan kesempatan melakukan riset sumber gempa.
Hasil riset itulah yang kemudian menjadi dasar pemerintah membuat kebijakan mitigasi, termasuk di antaranya penataan ruang yang memasukan unsur kebencanan, dan penerapan pendidikan kebencanaan melalui kurikulum di sekolah.
Kalau upaya itu belum clear dan kuat dilakukan di masyarakat oleh semua stakeholder, maka, upaya mitigasi masyarakat kita tidak akan pernah maksimal.
