Pesawat Sriwijaya Air Hilang

Mesin Pesawat Sriwijaya Air SJ-182 Diduga Masih Menyala saat Masuk Air, Pesawat Tak Meledak di Udara

Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono menduga hal tersebut setidaknya berdasarkan tiga temuan.

Editor: Ravianto
destinasian.co.id
Sriwijaya Air1 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNJABAR.ID, JAKARTA -- Komite Nasional Keselamatan Trasportasi (KNKT) menduga mesin pesawat Sriwijaya Air SJ -182 yang jatuh pada Sabtu (9/1/2021) dalam kondisi hidup sebelum membentur permukaan air.

Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono menduga hal tersebut setidaknya berdasarkan tiga temuan.

Pertama adalah data radar (ADS-B) dari Perum LPPNPI (Airnav Indonesia).

Dari data tersebut, kata Soerjanto, tercatat pesawat mengudara pada pukul 14.36 WIB dan terbang menuju arah barat laut.

Kemudian, kata dia, pada pukul 14.40 WIB pesawat mencapai ketinggian 10.900 kaki.

Tercatat, lanjutnya, pesawat mulai turun dan data terakhir pesawat pada ketinggian 250 kaki.

Soerjanto mengatakan terekamnya data sampai dengan 250 kaki, mengindikasikan bahwa sistem pesawat masih berfungsi dan mampu mengirim data.

"Dari data ini kami menduga bahwa mesin dalam kondisi hidup sebelum pesawat membentur air," kata Soerjanto dalam keterangan resmi KNKT pada Selasa (12/1/2021).

Kemudian data kedua yang mendukung dugaan tersebut yakni data lapangan yang didapat KNKT dan KRI Rigel.

Data tersebut menunjukkan sebaran wreckage memiliki besaran dengan lebar 100 meter dan panjang 300 - 400 meter.

"Luas sebaran ini konsisten dengan dugaan bahwa pesawat tidak mengalami ledakan sebelum membentur air," kata Soerjanto.

Temuan bagian pesawat yang telah dikumpulkan oleh Basarnas, kata Soerjanto, salah satunya adalah bagian mesin yaitu turbine disc dengan fan blade yang mengalami kerusakan.

"Kerusakan pada fan blade menunjukan bahwa kondisi mesin masih bekerja saat mengalami benturan. Hal ini sejalan dengan dugaan sistem pesawat masih berfungsi sampai dengan pesawat pada ketinggian 250 kaki," kata Soerjanto.

Black Box Akan Mudah Ditemukan

Mantan Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Tatang Kurniadi menilai pinger yang mengeluarkan sinyal kotak hitam (black box) lebih mudah ditemukan jika kapal-kapal besar bersuara bising tidak mendekati area yang terdeteksi.

Pernyataan ini ia sampaikan berdasar pada pengalamannya dan terkait upaya pencarian black box pesawat Sriwijaya Air SJ-182 yang jatuh di perairan Kepulauan Seribu, Sabtu (9/1/2021).

Menurutnya, suara dan sinyal ping yang dikeluarkan pinger akan lebih jelas terdengar jika area tersebut steril dari suara lainnya.

Sehingga para penyelam yang membawa pinger finder bisa segera menemukan black box.

"Nah oleh karenanya salah satunya, para penyelam yang membawa pinger finder itu supaya jelas mendengar suaranya itu, tolong kapal-kapal yang besar, jangan mendekati area yang sudah dideteksi ada suara itu," ujar Tatang, dalam tayangan Kompas TV, Senin (11/1/2021).

Untuk memudahkan pencarian, Tatang menyarankan agar hanya kapal kecil atau perahu karet saja yang mendekati area tersebut.

"Jadi cukup kapal yang kecil yang suaranya tidak begitu mengganggu di dalam air dan cukup untuk membawa perahu karet bagi si penyelam. Kapal-kapal besar sekitar situ kalau tidak terkendali, akan sulit mencari suara (pinger) itu," jelas Tatang.

Perlu diketahui, dalam pencarian black box yang menjadi bagian penting dalam proses investigasi penyebab jatuhnya pesawat, biasanya akan ada sejumlah kendala yang dihadapi, satu di antaranya medan berlumpur.

Tatang mengatakan pinger pada black box itu tentunya akan sulit ditemukan sinyal dan bunyinya jika terendam lumpur.

"Pasti kesulitan ya, kalau yang namanya pinger itu yang mengeluarkan sinyal ping ping, akan kesulitan kalau dia terendam lumpur," kata Tatang.

Kendati demikian, pinger masih bisa mengirimkan sinyal black box selama masih ada air.

"Tapi sejauh ada air, melalui media air itu dia (pinger) akan mentransmit frekuensinya," papar Tatang.

Ia menambahkan pinger mudah ditemukan jika masih berada di bawah reruntuhan pesawat.

Namun saat tertimbun lumpur, tentu akan sulit bagi pinger untuk mengirim sinyal frekuensinya.

"Kalau di celah-celah dia masih aman, karena berada di reruntuhan pesawat, tapi kalau sudah tertimbun lumpur, itu memang agak sulit," tutur Tatang.

Perlu diketahui, ada sejumlah elemen penting yang terdapat dalam kotak hitam (black box) yakni Flight Data Recorder (FDR), Cockpit Voice Recorder (CVR), hingga pinger.

"Setiap pesawat sesuai aturan internasional, untuk penerbangan sipil ini ya, harus membawa dua elemen, yang satu Flight Data Recorder atau FDR, yang kedua Cockpit Voice Recorder atau CVR," jelas Tatang.

FDR dan CVR ini memang dikenal sebagai kotak hitam atau black box, namun warnanya justru oranye.

"Nah kedua alat ini sering disebut black box, warnanya oranye walaupun disebut black box, tidak ada warna lain, mencolok sekali," kata Tatang.

Pada kedua elemen tersebut terdapat pinger yakni baterai yang bentuknya seperti tabung dan mengeluarkan bunyi untuk menandakan keberadaan black box.

"Di kedua alat itu ada yang namanya pinger, pinger itu baterai lonjong, itu terikat di situ," ujar Tatang.

Biasanya, dalam banyak kasus, pinger ini masih menempel pada FDR, sehingga akan diperoleh komponen black box secara utuh.

"Selalu melekat pada dua alat (FDR dan CVR) di black box itu, kalau kita bisa mendekati suara itu, bisa mendapatkan bahwa black box itu masih full dengan pingernya itu," tutur Tatang.

Namun hantaman keras pesawat yang jatuh dan tenggelam di dasar laut, dapat memberikan dampak besar pada FDR.

Karena elemen ini bisa saja terlepas dari pinger yang menjadi penanda dalam proses pencarian black box.

"Yang dikhawatirkan biasanya kalau jatuh ke laut, impactnya besar, maka FDR lepas dari pesawat, dan FDR nya juga (bisa) lepas dari pingernya," papar Tatang.

Umumnya, pinger pada pesawat memiliki masa satu bulan untuk memunculkan bunyi, namun kini daya tahan baterainya lebih lama menjadi 90 hari.

"Nah pinger masih terus berbunyi, dulu pinger itu berbunyinya hanya 30 hari, frekuensinya 37,5 kilohertz. Sekarang sudah ditambah, jadi 90 hari daya tahan baterainya dan frekuensinya lebih rendah lagi 8,8 kilohertz," kata Tatang.

Oleh karena itu, karena berburu dengan waktu, ia mengatakan bahwa tim penyelam yang tengah mencari black box pesawat Sriwijaya Air SJ-182 yang jatuh di perairan Kepulauan Seribu itu harus mengetahui apakah pinger yang dipasang itu baru atau lama.

"Jadi ini yang mau mencari suara itu, minimal ya kita harus tahu pesawat Sriwijaya ini sudah dipasangi pinger yang baru atau yang lama. Kalau dipasangi yang lama," tegas Tatang.

Ia pun mengaku tidak tahu apakah KNKT saat ini memiliki pinger finder untuk bisa mencari frekuensi.

"Saya nggak begitu paham, apakah KNKT sudah mempunyai pinger finder, alat untuk mencari pinger itu? Apakah itu alat yang baru untuk mencari (frekuensi) 8,8 kilohertz atau untuk 37,5 (kilohertz)?," tutur Tatang.

Ia pun berharap jika pinger telah ditemukan, alat tersebut tidak terlepas dari black box.

"Nah kemudian kalau sudah dapat itu, mudah-mudahan si pinger ini tidak loncat dari black box nya. Sehingga yang dicari, black boxnya ada di situ," papar Tatang.

Karena hal ini pernah terjadi pada kasus jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 pada 2015 lalu.

"Pengalaman AirAsia, ini lepas, si pingernya itu lepas, tidak dengan black boxnya," pungkas Tatang.

Sebelumnya, pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ-182 dengan rute Jakarta (CGK) - Pontianak (PNK) telah kehilangan kontak pada Sabtu (9/1/2021), pukul 14.40 WIB.

Pesawat Boeing 737-500 ini jatuh di perairan Kepulauan Seribu.

Dalam pesawat naas ini, terdapat 6 kru aktif serta 6 kru tambahan, 40 penumpang dewasa, 7 anak-anak dan 3 bayi.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved