FPI Sebut Pengikut MRS Tak Bawa Senjata, Polisi Ingatkan Penyebar Berita Bohong Bisa Dipidana

Yusri mengatakan kepolisian masih terus mengumpulkan barang bukti terkait kepemilikan senjata api tersebut.

Editor: Ravianto
Tribunnews/Istimewa
Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran menjelaskan kronologi penyerangan kepada polisi yang dilakukan sepuluh orang yang diduga sebagai pengikut pemimpin FPI Muhammad Rizieq Shihab (MRS) di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (7/12/2020). 

Tahap 6: kendali  dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat.

Selanjutnya pada Bagian kedua Pelaksanaan aturan penggunan kekuatan oleh kepolisian juga akan diurai dalam artikel ini.

Diterangkan dalam Bagian Kedua Pelaksanaan Pasal 6, tahapan penggunaan kekuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan dengan kehadiran anggota Polri yang dapat diketahui dari:

a. Seragam atau rompi atau jaket yang bertuliskan POLISI yang dikenakan oleh anggota Polri

b. Kendaraan dengan tanda Polri

c. Lencana kewenangan Polisi

d. Pemberitahuan lisan dengan menerikakkan kata “POLISI”

Selengkapnya aturan yang mengatur tentang Penggunaan Kekuatan dalam  Tindakan Kepolisian dapat diunggah di laman http://portal.divkum.polri.go.id/

Polemik dan Kritik

Diberitakan Tribunnews.com sebelumnya, pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Makassar Fahri Bachmid menyoroti soal tindakan kepolisian yang menembak 6 orang pendukung Habib Rizieq Shihab di Tol Jakarta-Cikampek, pada Senin (7/12/2020).

Menurut Fahri, tindakan kepolisian yang memutuskan untuk melakukan penembakan itu sangat berpotensi menjadi 'Extra Judicial Killing/unlawful killing' alias pembunuhan yang terjadi di luar hukum. 

Fahri menilai, polisi seharusnya hanya dibolehkan untuk menggunakan kekuatan atau kekerasan, terutama dengan senjata api, sebagai 'ultimum remedium' sebagai alat atau upaya terakhir. 

"Itu pun harus berdasarkan pada kondisi objektif serta merupakan situasi luar biasa untuk melindungi keselamatan dirinya dan/atau orang lain. Jika tidak, maka tindakan itu bisa tergolong unlawful killing yang sifatnya adalah melanggar hukum karena tindakan tersebut hahikatnya adalah kejahatan 'crime' dan dapat di usut secara hukum," kata Fahri dalam keterangan tertulis kepada Tribunnews, Selasa (8/12/2020).

Fahri menjelaskan, dalam berbagai instrumen hukum internasional maupun hukum positif sangat melarang keras tindakan yang bercorak 'extra-judicial killing' atau pembunuhan di luar putusan pengadilan.

Tindakan seperti ini dilarang keras oleh ketentuan dalam hukum HAM internasional maupun hukum positif, Larangan tersebut dimuat di dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, serta International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang telah diratifikasi melalui UU RI No. 12 Tahun 2005.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved