WOW, Ini Jumlah Uang yang Dikeluarkan Djoko Tjandra untuk Menyuap, Termasuk untuk "Petinggi Kita"
Di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (2/11/2020), buron kelas kakap yang akhirnya ditangkap Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra duduk di kursi
TRIBUNJABAR.ID, JAKARTA - Di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (2/11/2020), buron kelas kakap yang akhirnya ditangkap Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra duduk di kursi persidangan.
Djoko Tjandra menjalani sidang dengan agenda pembacaan dakwaan untuk dua kasus sekaligus.
Surat dakwaan Djoko Tjandra digabung antara kasus dugaan korupsi terkait penghapusan red notice di Interpol atas namanya dan kasus dugaan korupsi kepengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA).
Selain Djoko Tjandra, tiga terdakwa lain dalam kasus red notice juga menjalani sidang perdana dengan agenda yang sama.
Ketiganya adalah Tommy Sumardi, Irjen Napoleon Bonaparte, dan Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo.
Berikut sejumlah fakta-fakta yang terungkap dalam sidang tersebut seperti dirangkum Kompas.com (grup Tribunjabar.id):
1. Penghapusan "red notice"
Djoko Tjandra didakwa menyuap tiga aparat penegak hukum dengan total uang sebanyak 920 ribu dolar Amerika Serikat dan 200 ribu dolar Singapura atau sekitar Rp 15,567 miliar.
Dalam kasus red notice, Djoko Tjandra didakwa menyuap dua jenderal polisi, Napoleon dan Prasetijo, agar menghapus namanya dari daftar pencarian orang (DPO).
Sementara itu, Tommy Sumardi didakwa menjadi perantara suap dari Djoko Tjandra kepada dua jenderal polisi tersebut.
Untuk Napoleon, ia didakwa menerima uang dari Djoko Tjandra sebesar 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar Amerika Serikat atau Rp 6,1 miliar.
JPU mendakwa Prasetijo menerima uang sebesar 150 ribu dolar AS atau sekitar Rp 2,2 miliar dalam kasus tersebut.
2. Siapkan miliaran rupiah
Kasus red notice bermula dari keinginan Djoko Tjandra masuk ke Indonesia untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) atas kasus Bank Bali yang menjeratnya.
Untuk itu, pada awal April 2020, Djoko Tjandra menghubungi Tommy.
Ia meminta Tommy menanyakan status red notice atas namanya di Interpol kepada NCB Interpol Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri.
Djoko Tjandra pun bersedia menggelontorkan miliaran rupiah, terutama bagi pejabat NCB Interpol Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri.
"Agar niat terdakwa Djoko Tjandra dapat masuk ke Indonesia, maka terdakwa bersedia memberikan uang Rp 10 miliar melalui Tommy Sumardi untuk diberikan kepada pihak-pihak yang turut mengurus kepentingan terdakwa masuk ke Indonesia,” ucap jaksa.
3. Dua jenderal polisi minta jatah
Untuk mewujudkan keinginan Djoko Tjandra, Tommy meminta bantuan Prasetijo yang kala itu menjabat sebagai Karo Korwas PPNS Bareskrim Polri.
Oleh Prasetijo, Tommy kemudian dikenalkan kepada Napoleon selaku Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri.
Setelah Tommy menanyakan mengenai status red notice Djoko Tjandra, Napoleon mengaku akan mengeceknya.
Hal ini terjadi dalam pertemuan di ruang kerja Napoleon, di Mabes Polri, pada 16 April 2020.
Keesokkan harinya, keduanya kembali bertemu.
Menurut JPU, pada saat itu Napoleon meminta uang kepada Tommy.
"Terdakwa Napoleon Bonaparte menyampaikan bahwa 'red notice Djoko Tjandra bisa dibuka, karena Lyon yang buka, bukan saya. Saya bisa buka, asal ada uangnya’,” ucap JPU Zulkipli saat sidang seperti dilansir dari Antara.
"Kemudian Tommy Sumardi menanyakan berapa (nominal uangnya) dan oleh Napoleon Bonaparte, dijawab '3 lah ji (3 miliar)'. Setelah itu Tommy Sumardi meninggalkan ruangan Kadivhubinter," ucap jaksa.
Setelah adanya permintaan uang itu, Djoko Tjandra menyerahkan 100 ribu dolar AS kepada Tommy melalui perantara pada 27 April 2020.
Ternyata, dalam perjalanan untuk menyerahkan uang tersebut kepada Napoleon pada hari yang sama, Prasetijo meminta jatah.
Prasetijo membagi dua uang 100 ribu dolar AS tersebut.
Dengan begitu, Prasetijo dan Napoleon masing-masing mendapatkan 50 ribu dolar AS.
Namun, Napoleon tak mau menerima uang 50 ribu dolar AS tersebut. Ia bahkan meminta uang dalam jumlah lebih besar.
Pada saat itu, Napoleon menyinggung pihak yang disebut "petinggi kita".
"Terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte tidak mau menerima uang dengan nominal tersebut dengan mengatakan, 'Ini apaan nih segini, ga mau saya. Naik ji jadi 7 ji soalnya kan buat depan juga, bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau', dan berkata 'petinggi kita ini'," ucap jaksa.
Menurut JPU, penyerahan uang dari Djoko Tjandra kepada Napoleon melalui Tommy terjadi beberapa kali.
Perinciannya, Napoleon menerima 200 ribu dolar Singapura pada 28 April 2020, 100 ribu dolar AS pada 29 April 2020, 150 ribu dolar AA pada 4 Mei 2020, dan 20 ribu dolar AS pada 5 Mei 2020.
Seusai penerimaan uang terakhir pada 5 Mei 2020, Napoleon menerbitkan surat penyampaian penghapusan “Interpol Red Noices” atas nama Joko Soegiarto Tjandra telah terhapus dari basis data Interpol sejak tahun 2014 (setelah 5 tahun).
Setelah itu, Prasetijo kembali meminta jatah kepada Tommy dengan mengatakan, "Ji, sudah beres tuh, mana nih jatah gw punya”.
Keesokkan harinya, Tommy memberikan uang 50 ribu dolar AS kepada Prasetijo.
Penyerahan uang dari Djoko Tjandra ke Tommy masih terjadi pada 12 Mei 2020 dengan nominal 100 ribu dolar AS dan 50 ribu dolar AS pada 22 Mei 2020.
Adapun total uang yang diberikan Djoko Tjandra kepada Tommy sebesar Rp 500 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura.
Atas berbagai surat yang diterbitkan atas perintah Napoleon, pihak Imigrasi menghapus status DPO Djoko Tjandra.
Narapidana kasus Bank Bali itu pun bisa masuk ke Indonesia dan mengajukan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Juni 2020 meski diburu kejaksaan.
4. Kasus fatwa MA
Selain jenderal polisi, Djoko Tjandra didakwa memberikan 500 ribu dolar Amerika Serikat kepada Jaksa Pinangki Sirna Malasari.
"Terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra memberikan uang sebesar 500 ribu dolar AS dari sebesar 1 juta dolar AS yang dijanjikan kepada Pinangki Sirna Malasari sebagai jaksa dengan jabatan Kepala Sub-Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung," kata JPU Agung M Yusuf Putra dilansir dari Antara.
Suap diduga diberikan kepada Pinangki dalam rangka mengurus fatwa di MA.
Fatwa itu menjadi upaya Djoko Tjandra agar tidak dieksekusi dalam kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali sehingga ia dapat kembali ke Indonesia tanpa menjalani vonis dua tahun penjara di kasus itu.
Djoko Tjandra juga didakwa melakukan pemufakatan jahat bersama Jaksa Pinangki dan terdakwa lain, Andi Irfan Jaya.
Menurut jaksa, pemufakatan tersebut bertujuan agar pejabat di Kejagung dan MA memberikan fatwa yang diinginkan.
"Yaitu bermufakat jahat untuk memberi atau menjanjikan uang sebesar 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan di Mahkamah Agung," ucap jaksa. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sidang Suap Miliaran Rupiah Djoko Tjandra: Dua Jenderal Polisi Minta Jatah, hingga Uang untuk "Petinggi Kita""