Surat Cerai Soekarno - Inggit Garnasih, Tito Sebut Dulu Pernah Ditolak Pemerintah, Begini Sejarahnya

Tito Zeni Harmain (73), anak dari Ratna Juami, anak angkat Bung Karno mengaku belum bisa berkomentar banyak

Penulis: Mega Nugraha | Editor: Ichsan
Tribun Jabar/ Mega Nugraha
Dokumen pribadi Ir Soekarno berupa surat nikah? dan surat cerai dengan Inggit Garnasih disimpan selama puluhan tahun oleh Tito Zeni Harmain (73) 

Sepengetahuan Tito selama ia berkomunikasi dengan Inggit semasa hidup, perjanjian itu tidak ditepati oleh Soekarno.

"Seingat saya, dengar dari Ibu Inggit, tidak ditepati. Kalau rumah yang di Jalan Inggit Garnasih, itu dulunya memang sempat ditinggali Bung Karno dan Bu Inggit. Sepulang dari Bengkulu, Bu Inggit tinggal di sana," ucap Tito.

Cucu Inggit

Tito Asmara Hadi diketahui merupakan anak dari pasangan Asmara Hadi dan Ratna Juami. Ratna Juami merupakan anak angkat Soekarno saat menikah dengan Inggit.

Adapun Ratna Juami merupakan anak dari kakak Inggit Garnasih. Sejak usia 40 hari, Ratna Juami diasuh Soekarno dan Inggit Garnasih.

Sedangkan Asmara Hadi, dikenal sebagai anak didik Soekarno. Selain itu, dikenal sebagai wartawan dan sastrawan serta politikus di era Presiden Soekarno.

Ratna dan Asmara Hadi turut ikut dengan Bung Karno saat dibuang pemerintah kolonial ke Ende, Flores dan Bengkulu.

Tito tidak menjelaskan secara rinci maksud Inggit memberinya kepercayaan untuk menyimpan sekaligus merawat dokumen itu.

Setelah diserahkan, dokumen itu sempat dipublikasikan di sejumlah pameran sebagai bukti bila benar Soekarno dan Inggit pernah menikah bahkan bercerai.

"Iya, saya simpan. Dipublikasikan sudah diperlihatkan di pameran, itu sudah. Itu untuk menyatakan bahwa betul Bu Inggit adalah dulunya pernah menjadi istri Bung Karno, sebagai bukti penting," ucap dia.

Selain dokumen, Tito juga menyimpan benda lainnya yang berkaitan dengan Bung Karno dan Inggit selama bersama. Seperti foto-foto, meja belajar hingga lemari.

Ditawar Rp 100 M

Tito mengatakan, pada tahun 2000-an mantan Gubernur Jabar, R Nuriana, pernah meminta dokumen itu pada dirinya untuk jadi koleksi museum.

Tito pun sudah setuju meskipun dengan syarat harus ada kompensasi untuk menjalankan wasiat dari Inggit membangun fasilitas bagi masyarakat. Permintaan dari Nuriana ketika itu juga sudah masuk dalam APBD.

"Tapi akhirnya ditolak dan batal karena katanya bukan dokumen negara, tapi dokumen pribadi. Padahal sudah dibahas. Jadi kalau sudah begitu, gimana? Saya sebagai pemilik dokumen itu, terserah saya dong mau digimanain," ucap Tito.

Menurut Tito, pembatalan menjadi bukti bila pemerintah daerah sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat tidak peduli. Pembatalan itu pun membuatnya memiliki hak atas dokumen itu.

"Penolakan Pemda selaku perpanjangan tangan dari pemerintah pusat berarti pemerintah tidak peduli dan membutuhkan. Dengan adanya penolakan saya berhak mau diapakan benda itu walaupun tadinya saya nomor satukan pemerintah karena saya tahu ini adalah menyangkut tokoh bangsa," ucap dia.

Hingga akhirnya, foto-foto itu diunggah di media sosial Instagram oleh pemilik akun, Yulius Iskandar.

Ia menyebut, dokumen pribadi itu dihargai Rp 25 miliar. " Sebenarnya sudah banyak yang menghubungi kami untuk meminta dokumen itu," ucap Tito.

Galuh Mahesa (36), anak ketiga Tito, menambahkan dokumen-dokumen itu sempat pernah akan dijual ke Belanda.

"Sempat dihargai lebih dari itu (Rp 25 miliar). Dulu ada dari Belanda, cuma kami diminta ke sana terus kemudian dilelang. Ada yang sempat menawar hingga Rp 100 miliar. Tapi enggak dikasih karena kami dulu berharap dipegang pemerintah secara resmi dengan kompensasi, tapi kan enggak bisa," ucap dia.

Galuh mengatakan, Gubernur Jabar, Ridwan Kamil, saat berkampanye di Pilgub Jabar juga sempat menyambangi rumahnya dan melihat benda-benda peninggalan Soekarno dan Inggit Garnasih.

Kata dia, saat itu Ridwan Kamil sempat mengatakan akan membeli dokumen itu untuk museum sejarah Jabar. "Tapi sampai saat ini belum," ucap dia.

Galuh menerangkan, Tito sebagai pewaris dokumen tersebut, punya hak atas dokumen tersebut. Ia berharap dokumen itu dikuasai dan disimpan oleh siapapun yang berhak, tentunya dengan kompensasi.

Tito menjelaskan alasannya menjual dokumen itu karena adanya wasiat dari Inggit agar hasil penjualan dokumen itu dibuat fasilitas umum seperti klinik dan sekolah bagi masyarakat.

Dia pun menilai dokumen itu bukan dokumen milik negara karena negara dinilai tak pernah peduli dokumen itu.

"Memang cuma ada keinginan atau wasiat dari Bu Inggit buat klinik untuk lahiran dan sekolah dasar, dulu untuk pembuatan rumah sakit bersalin dan sekarang juga ada yayasan untuk mengurusi itu, jadi memang untuk kepentingan masyarakat juga karena memang wasiat dari Bu Inggit," kata dia.

"Ini bukan dokumen negara, memang betul menyangkut dokumen nasional tapi pemerintah sendiri tidak peduli, mau diapakan lagi. Saya enggak ada jalan lain," lanjut dia.

Sumber: Tribun Jabar
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved