Virus Corona di Jabar
UPDATE Uji Klinis Vaksin Covid-19 di Bandung, Tim Riset Masih Belum Bisa Melaksanakan, Ini Alasannya
Ketua Tim Riset Prof Dr Kusnandi Rusmil, mengatakan uji coba klinis vaksin Covid-19 belum bisa dilakukan karena masih menunggu izin pengujiannya . . .
Penulis: Muhamad Syarif Abdussalam | Editor: Dedy Herdiana
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Muhamad Syarif Abdussalam
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Ketua Tim Riset Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran ( Unpad), Prof Dr Kusnandi Rusmil, mengatakan uji coba klinis vaksin Covid-19 belum bisa dilakukan karena masih menunggu izin pengujiannya dari Komite Etik.
"Ada beberapa tambahan pemeriksaan lagi yang diminta. Kenapa itu diminta, karena ini penyakit baru. Kita perlu hati-hati dan jangan sampai ada apa-apa. Prinsipnya agar subjek (relawan pengujian vaksin) itu aman," ujar Kusnandi di Gedung Sate, Kota Bandung, Jumat (24/7/2020).
Pengujian vaksin yang memasuki fase ketiga ini, katanya, bertujuan untuk memastikan bahwa vaksin ini aman digunakan oleh semua orang dan mempunyai efek yang diharapkan yakni membantu imunitas. Sedangkan pengujian fase pertama dan kedua sudah dilakukan di Cina.
• Vaksin Covid-19 yang Diuji di Bandung Berasal dari China, Mengapa Bukan Negara Lain? Ini Alasannya
Sebanyak 1.620 warga Bandung Raya dalam hal ini akan direkrut untuk menjadi sukarelawan uji klinis vaksin Covid-19 yang dilakukan oleh tim riset Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran bersama Bio Farma dan Sinovach Biotech Cina.
Sebanyak 1.620 relawan atau subjek uji vaksin Covid-19 ini tak perlu melakukan karantina atau isolasi dalam masa pemantauan klinis, karena vaksin ini sudah melalui uji di fase 1 dan 2 dan dinyatakan aman, walaupun terdapat dampak akibat vaksin berupa rasa pegal atau sakit sesaat di area yang disuntik.
Terkait efek samping vaksin dari Sinovach Biotech itu, katanya, memang sejumlah subjek di antaranya ada yang mengalami diare, demam, atau pnemunoia.
Namun setelah ditelusuri, gejala tersebut tidak berkaitan dengan pemberian vaksin.
Manajer Lapangan Uji Klinis Vaksin COVID-19, Dr Eddy Fadlyana, mengatakan Unpad diberi kepercayaan melakukan uji klinis karena sudah mempunyai pengalaman dan berkiprah di bidang vaksin lebih dari 20 tahun.
Penelitian ini pun akan dilaksanakan di Kota Bandung dan akan melibatkan warga Bandung Raya.
"Sesuai dengan protokol, jumlah subjek adalah 1.620 orang yang berusia antara 18 sampai 59 tahun. Ini usia produktif. Dengan subjek sebanyak 1.620 orang, penelitian ini akan dilakukan di Kota Bandung," kata Eddy di Rumah Sakit Pendidikan Unpad, Kota Bandung, Rabu (22/7).
• 1.620 Orang di Bandung Raya akan Direkrut untuk Uji Klinis Vaksin Covid-19 Asal China
Di Kota Bandung, katanya, terdapat enam site penelitian atau tempat pelaksanaan pengujian tersebut, yakni di Rumah Sakit Pendidikan Unpad di Sukajadi, Balai Kesehatan Unpad di Dipati Ukur, kemudian empat puskesmas di Puskesmas Garuda, Puskesmas Dago, Puskesmas Sukapakir, dan Puskesmas Ciumbuleuit.
"Kemudian bagaimana cara merekrut subjek yang 1.620 ini, tentunya setelah kami mendapat izin dari Komite Etik, kami akan melakukan sosialisasi ke masyarakat. Apakah dalam bentuk pengumuman langsung atau menyebarkan leaflet apabila ingin menjadi sukarelawan, menjadi subjek, bisa menghubungi ada nomor teleponnya nanti," katanya.
Sebelum pengumuman itu dibuat, kata Eddy, sudah banyak yang menginginkan menjadi sukarelawan untuk mendapatkan imunisasi Covid-19, di antaranya adalah dari sejumlah rumah sakit di Jakarta. Namun demikian, katanya, hal ini hanya untuk warga Bandung Raya supaya lebih mudah koordinasi dan pengaturannya.
Di enam tempat penelitian itu, Eddy mengatakan pihaknya juga sudah melakukan pelatihan-pelatihan dengan membuat tim berjumlah sekitar 30-40 orang. Pihaknya merekrut dokter umum, dokter penyakit dalam, dokter penyakit anak, kemudian keahlian keahlian lainnya sesuai dengan kebutuhan penelitian.
"Vaksin ini terbuat dari virus yang sudah dimatikan. Tetapi virus yang dimatikan itu masih mempunyai daya untuk membuat antibodi, sehingga kalau diberikan kepada orang-orang yang sakit berat, ini tidak akan berbahaya. Berbeda Kalau vaksinnya yang hidup dilemahkan. Kalau kondisi seseorang itu sedang menurun, maka virus yang lemah itu bisa menjadi aktif," katanya.
Pada tahap awal, katanya, akan dilakukan terhadap sebanyak 540 subjek atau orang selama tiga bulan.
Selain diperiksa keamanannya, juga untuk diperiksa imunogenisitasnya atau kekebalannya.
Setelah tiga bulan sampai enam bulan, hanya akan dipantau keamanannya atau efikasi.
"Jadi nanti ada kelompok yang mendapatkan plasebo dan kelompok yang mendapat imunisasi vaksin. Pada akhir penelitian mereka yang mendapatkan plasebo akan mendapatkan vaksin Covid-19, tentunya setelah diregistrasi di Badan POM. Jadi tidak ada yang dirugikan dalam hal ini," katanya.
Sejumlah orang, tuturnya, akan mendapat placebo atau hanya disuntik air untuk menentukan perbandingan antara orang yang diberi vaksin dengan yang tidak diberi vaksin.
"Subjek pada saat pra-recruitment, semua harus dalam keadaan sehat dengan pemeriksaan dokter yang lengkap. Kemudian juga ada pemeriksaan sebelumnya tidak menderita sakit Covid-19. Kemudian dalam perjalanannya apabila sakit apapun juga itu, akan di-cover oleh asuransi, sebagai standarnya, di rumah sakit di sekitar Kota Bandung," katanya.
Jika ada yang sakit saat pemantauan, semua yang sakit akan diperiksa apakah ada hubungannya dengan vaksin tersebut.
Sehingga pada akhirnya akan mempunyai data tentang keamanannya, kekebalannya, dan potensi vaksin ini memberikan perlindungan yang nyata terhadap Covid-19.
"Jadi diharapkan semua penelitian ini bisa berjalan selama enam bulan, bisa selesai. Akan tetapi setelah tiga bulan penelitian, data-data yang ada di Indonesia akan digabung dengan berbagai negara, sehingga diharapkan Januari 2021 itu sudah bisa digunakan oleh masyarakat," katanya.
Ketua Tim Riset Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Prof Dr Kusnandi Rusmil membeberkan alasan Indonesia mengambil vaksin Covid-19 dari Cina yang akan diuji klinis di Kota Bandung. Hal ini untuk mempercepat produksi vaksin Covid-19 di Indonesia.
Kusnandi mengatakan penyakit ini pertama kali merebak di Cina. Saat merebak, Cina telah memulai penelitian tentang vaksin lebih dulu dari negara lainnya.
Sampai saat ini, katanya, baru Cina yang sudah melakukan penelitian tentang vaksin tersebut mulai dari Fase 1 sampai Fase 2.
"Nah, yang sudah kerjakan Fase 1 dan Fase 2, baru di Cina. Tempat lain baru mulai di Fase 1. Kalau yang lain, nanti hasilnya lebih lama lagi ya. Karena bahan yang kita pakai ini adalah virus yang dimatikan. Jadi virus Covid-19 yang dimatikan," kata Kusnandi di Rumah Sakit Pendidikan Unpad, Rabu (22/7).
Untuk menjadi vaksin, katanya, harus ada penelitian yang panjang, mulai dari pre clinical trial dan clinical trial.
Pre clinical trial berarti melakukan mencari antigennya. Indonesia sendiri sebenarnya sudah mulai mencari antigennya juga.
Vaksin yang akan digunakan dalam pengujian, katanya, secara fisik dan kimia sudah stabil.
Kalau sudah stabil, vaksin ini diujicobakan kepada binatang. Jika berhasil dicoba pada binatang, dan ternyata vaksin ini aman pada binatang dan membentuk zat anti, baru boleh dilakukan pada manusia pada Fase 1.
"Akhirnya masuklah Fase 1 pada manusia. Fase 1 pada manusia itu sudah bisa diuji coba ke 50 orang sampai 100 orang. Gunanya untuk melihat bahwa vaksin ini aman atau tidak," katanya.
Setelah Fase 1 berhasil, hasil ilmiahnya harus dipublikasikan secara internasional, masuk ke majalah ilmiah masuk ke WHO untuk bisa diakses semua orang di dunia.
"Kemudian, masuklah pada fase 2, yakni jumlah subjek uji yang digunakannya sampai 400 orang. Ini juga untuk melihat keamanannya dan juga untuk melihat efektivitas. Ini juga sudah dilakukan di Cina. Di luar memang ada yang banyak lakukan penelitian, tapi belum bisa dipakai, belum sampai Fase Ketiga, baru mau masuk Fase 1 dan 2, yang bisa Fase 3 baru Cina," katanya.
Setelah Fase 2 ini berjalan baik, katanya, barulah masuk Fase 3 supaya vaksin ini boleh dijual jika lolos Fase 3. Dalam Fase 3 ini, katanya, di samping dilihat keamanannya, juga dilihat efektifitasnya dan harus multisenter.
"Fase 3 vaksin ini secara multisenter dilakukan di Amerika Latin, di India, di Bangladesh, di Indonesia, Brazil, dan di Chili. Jadi di beberapa negara ini, hasilnya dijadikan satu. Jika aman, maka vaksin ini boleh dijual. Jadi keamanannya sudah di coba berkali-kali," katanya. (Sam)