Mengenang Perjuangan RA Kartini Bagi Perempuan, Bermula dari Derita Ibunya, Hidup di Antara Poligami

Pada 21 April 2019, diperingati sebagai Hari Kartini. Hari itu merupakan momen spesial untuk mengingat pelopor emansipasi wanita, yakni RA Kartini.

Editor: Yongky Yulius
ISTIMEWA
RA Kartini 

TRIBUNJABAR.ID -  RA Kartini adalah sosok perempuan pahlawan dan merupakan pelopor kebangkitan perempuan pribumi.

Kiprah RA Kartini ternyata tak lepas dari sosok ibu kandungnya, Ngasirah. Berikut sepenggal kisah kiprah RA Kartini.

Dikutip dari Kompas, kiprah RA Kartini semasa hidupnya, berawal dari melihat penderitaan sang ibu karena menjadi selir ayahnya.

RA Kartini sejak kecil sudah hidup di antara adat poligami, sehingga ia sudah memahami hal itu sejak kecil. Ngasirah yang merupakan istri dari ayah RA Kartini, Djojo Adhiningrat, harus rela dimadu.

Ketika itu, Djojo Adhiningrat akan menjadi bupati, dan harus menikah dengan seorang darah biru, akhirnya berpoligami dengan putri Raja Madura.

Ngasirah yang bukan dari kalangan bangsawan atau darah biru, tak boleh tinggal di kamar di pendopo.

Dia pun bukan permaisuri sehingga hanya boleh tinggal di bagian belakang. Sejak saat itu, RA Kartini mengangkat orang-orang marginal, termasuk ibunya sendiri.

RA Kartini yang termasuk dari keluarga darah biru, namanya pun menjadi Raden Ajeng RA Kartini. Namun, ia tidak ingin namanya ditambahi gelar Raden Ajeng.

Pasalnya, jika memakai atribut itu, dia akan dipisahkan dari ibunya Ngasirah. Sehingga ia minta dipanggil RA Kartini saja.

Pelopor Pendidikan Perempuan

Kiprah RA Kartini yang banyak dikenal adalah merupakan seorang pelopor pendidikan perempuan.

 TONTON LIVE STREAMING Liga Dangdut Indonesia 2019 Malam Ini, Minggu (14/4/2019) Seru Nih

RA Kartini sudah sejak lama mengidam-idamkan ingin bersekolah di Nederland, sekolah di Eropa bersama adik-adiknya.

Di sana juga RA Kartini memiliki banyak sahabat. Melalui sahabat-sahabat RA Kartini di Belanda, pemikiran RA Kartini telah menggetarkan jagat intelektual Belanda.

Ia sering mengirimkan surat pada sahabat-sahabatnya di sana. Ovink-Soer dan Stella menjadi sahabat pena RA Kartini untuk mencurahkan hati akan banyak hal.

Dalam suratnya, RA Kartini dapat bercerita tentang kondisi perempuan seperti dirinya yang merasa terkekang, bahkan tanpa bisa memilih masa depannya sendiri.

RA Kartini pun bercerita mengenai banyak hal, tentang bangsanya yang menderita karena penjajahan, keresahannya mengenai agama, hingga kepeduliannya akan pendidikan.

Sejumlah buku pun dibahas RA Kartini bersama Stella dalam surat-suratnya.

Misalnya saja, untuk bercerita mengenai kondisi mengenaskan Bumiputera yang dijajah, RA Kartini mengambil buku Max Havelaar yang ditulis Multatuli sebagai referensi.

PERINGATI HARI KARTINI - Sejumlah siswa bersiap mengikuti peragaan busana daerah di SD Negeri Lengkong Kecil, Jalan Lengkong Kecil, Kota Bandung, Selasa (21/4/2015). Selain peragaan busana, kegiatan dalam rangka memperingati Hari Kartini yang diperingati setiap 21 April tersebut juga diisi dengan lomba baca puisi yang diikuti semua siswa.
PERINGATI HARI KARTINI - Sejumlah siswa bersiap mengikuti peragaan busana daerah di SD Negeri Lengkong Kecil, Jalan Lengkong Kecil, Kota Bandung, Selasa (21/4/2015). Selain peragaan busana, kegiatan dalam rangka memperingati Hari Kartini yang diperingati setiap 21 April tersebut juga diisi dengan lomba baca puisi yang diikuti semua siswa. (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN)

Berkat Ovink-Soer juga RA Kartini mengenal gerakan feminisme di Belanda sejak usia 20 tahun.

Selain itu, dalam suratnya, isu pendidikan pun menjadi bahasan penting dalam surat-surat RA Kartini.

RA Kartini menuntut perempuan untuk dapat pendidikan. Ini dilakukan, menurut RA Kartini, bukan untuk menyaingi laki-laki.

Namun, RA Kartini memahami bahwa perempuan dikodratkan menjadi ibu, dan ibu merupakan pendidik pertama untuk tiap manusia.

Alasan itulah yang dinilai RA Kartini perlunya perempuan mendapat pendidikan.

 Menelusuri Kolam Renang Berglust dan Hotel Emma di Cimahi, Tempat Bersejarah Peninggalan Belanda

Saat itu ia ditemui oleh Mr JH Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan Hindia Belanda, dan Nyonya Abendanon.

Mr Abendanon adalah penganjur politik etis di Indonesia dan khusus menemui RA Kartini untuk mengetahui pemikirannya.

Pemikiran RA Kartini tersebut telah dikenal dan diperbincangkan di kalangan orang-orang Belanda.

Usulan RA Kartini jelas saat itu, pendidikan untuk para perempuan hingga kejuruan.

Cara menulis RA Kartini yang indah dan progresif, membuat ide-ide dari RA Kartini banyak didengar para pejabat dan bangsawan Belanda.

Sehingga, RA Kartini dan Roekmini akhirnya mendapat beasiswa dari Menteri Idenburg untuk bisa sekolah di Netherland.

Jika RA Kartini bersekolah di Belanda, maka ia akan makin dekat lagi dengan para sahabatnya, misalnya Stella dan keluarga van Kol.

Terlebih lagi, di sana juga RA Kartini bisa dekat dengan kakaknya, Kartono.

Namun, mimpi itu akhirnya direnggut oleh kedatangan Mr Abendanon berikutnya. Kedatangannya agar membujuk RA Kartini untuk mengurungkan niat belajar di Belanda.

Mr Abendanon juga menjanjikan agar belajar di Batavia saja. Selain lebih dekat, keluarga RA Kartini ternyata juga lebih mendukung ide itu.

Gagalnya RA Kartini menimba ilmu di Eropa, berakibat pada kehidupan RA Kartini berikutnya yang serba murung.

Banyak keinginan RA Kartini untuk sekolah di berbagai tempat juga kandas karena batasan-batasan dari orangtuanya.

Lagi-lagi ayah RA Kartini menarik kembali izin bagi RA Kartini untuk bisa belajar di Batavia.

Keputusan itu membuat RA Kartini terkejut bahkan sampai pingsan. Selanjutnya, duka mendalam selalu membayangi kehidupan RA Kartini, hingga akhir hayat.

RA Kartini dan sang putra, Soesalit Djojoadhiningrat
RA Kartini dan sang putra, Soesalit Djojoadhiningrat (Kolase)

Saat izin diperoleh dan beasiswa dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk belajar di Batavia dikabulkan, RA Kartini harus memilih jalan lain yaitu menikah dengan Bupati Rembang Raden Adipati Djojo Adiningrat.

Bupati Rembang mencintai RA Kartini sepenuh hati, tapi ternyata ia memiliki tiga selir. Ia juga pernah dua kali ditinggal istrinya meninggal.

Namun, suaminya mengerti keinginan RA Kartini. Sehingga ia diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang.

 TPS Belum Buka, WNI di Singapura Sudah Antre Siap Mencoblos, SBY Mencoblos Pukul 15.00

Sayangnya, RA Kartini tak memiliki umur panjang. Setelah melahirkan anak pertama dan sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat, pada 13 September 1904, beberapa hari kemudian, 17 September 1904, RA Kartini meninggal pada usia 25 tahun.

Ia dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Dari surat-surat RA Kartini, tersiar gagasan RA Kartini ke seantero Belanda hingga Indonesia.

Hingga akhirnya terbentuk “Dana RA Kartini” di Belanda yang digalang oleh sahabat-sahabat RA Kartini di Belanda.

Pada masa itu, api RA Kartini berkobar di Belanda dan menjadi momentum untuk mengajak warga Belanda membalas budi.

Mereka keliling ke berbagai pelosok di Belanda untuk mengumpulkan dana pembangunan sekolah di Indonesia, seperti yang dicita-citakan RA Kartini.

Kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan RA Kartinidi Semarang pada 1912, kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya.

Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah RA Kartini", didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis. (Tribun Jabar/Resi Siti)

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved