Isi Surat yang Dikirimkan Kartini Kepada Sahabat-sahabatnya, Ungkap Kehidupan Cintanya yang Pelik
Ia juga harus memilih jalan lain yaitu menikah dengan Bupati Rembang Raden Adipati Djojo Adiningrat.
Sayangnya, Kartini meninggal di usia 25 tahun, setelah melahirkan seorang anak laki-laki.
Setelah meninggal dunia, Mr JH Abendanon yang merupakan sahabatnya Kartini, mengumpulkan surat-surat yang Kartini kirimkan.
• VIDEO Mengenang Nama Dewi Sartika Diharapkan Seperti Mengenang RA Kartini
Mr JH Abendanon kemudian menerbitkannya dalam sebuah buku berjudul "Door Duisternis tot Licht" yang pertama kali diterbitkan pada 1911.
Pada 1922 buku tersebut terbit dalam bahasa melayu yang berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang" diterbitkan Balai Pustaka.
Kemudian buku "Door Duisternis tot Licht" diterjemahkan Agnes Louise Symmers menjadi "Letters of a Javanese Princess".
Perasaan Kartini tentang cinta terungkap dalam surat-surat yang dikirimkan kepada sahabatnya tersebut.
Berikut kutipan Kartini tentang cinta yang termuat dalam "Letters of a Javanese Princess"
"Love! what do we know here of love? How can we love a man whom we have never known? And how could he love us? That in itself would not be possible. Young girls and men must be kept rigidly apart, and are never allowed to meet."
Cinta! Apa yang kita ketahui tentang cinta? Bagaimana kita dapat mencintai seorang pria yang tak pernah kita kenal sebelumnya? Bagaimana pria itu dapat mencintai kita? Tentu saja mustahil. Perempuan dan laki-laki muda dipisahkan, dan tak pernah diijinkan untuk berjumpa. (Jepara - 25 Mei 1899)
"How can a man and woman love each other when they see each other for the first time in their lives after they are already fast bound in the chains of wedlock?"
Bagaimana mungkin seorang pria dan wanita dapat mencintai satu dengan yang lain ketika mereka baru berjumpa pertama kali dalam kehidupan ini setelah mereka terikat dalam pernikahan? (Jepara - 6 November 1899)
"I shall never, never fall in love. To love, there must first be respect, according to my thinking; and I can have no respect for the Javanese young man. How can I respect one who is married and a father, and who, when he has had enough of the mother of his children, brings another woman into his house?"
Saya tak akan pernah, tak akan pernah jatuh cinta. Mencintai, pertama-tama membutuhkan rasa hormat, menurut hemat saya; dan saya tidak dapat menghormati pemuda Jawa muda.
Bagaimana saya bisa menghormati seseorang yang telah menikah dan menjadi seorang ayah, dan yang telah memiliki istri yang melahirkan anak-anaknya, membawa perempuan lain ke dalam rumahnya? (Jepara - 6 November 1899)
"I think there is nothing finer than to be able to call a happy smile to a loved mouth—to see the sunshine break over another's face."