Pemerintah Diminta Cermati Pengumuman Kasus Covid-19 atau Virus Corona

Direktur PN, Johan Neesken berpendapat bahwa persentase tingkat fatalitas atau CFR maupun tingkat kematian atau Death Rate sebaiknya tak diumumkan

Pixabay
Ilustrasi: Virus Corona atau Covid-19 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Muhamad Syarif Abdussalam

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Poly Network (PN), sebuah kelompok peneliti jaringan sosial kualitatif independen dan non-partisan yang beranggotakan akademisi antropologi, sosial politik, dan praktisi teknologi informasi, meminta pemerintah mengkaji kembali pengumuman rasio kasus virus corona (Covid-19).

Direktur PN, Johan Neesken berpendapat bahwa persentase tingkat fatalitas atau Case Fatality Rate (CFR) maupun tingkat kematian atau Death Rate sebaiknya tidak diumumkan oleh pemerintah.

Pasalnya, CFR maupun Death Rate berpotensi disalahtafsirkan untuk sejumlah kepentingan yang tidak menguntungkan upaya percepatan penanganan wabah Covid-19.

INNALILLAHI, Dokter Tugas di RSUD di Jabar Positif Virus Corona Meninggal Dunia, Dirawat di RSHS

"Lembaga official seperti WHO dan CDC US pun tidak melakukan hal itu," ujar Johan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (26/3/2020).

Menurutnya, sebagian besar diskusi terkini tentang risiko kematian akibat Covid-19 lebih fokus pada CFR. Dalam kasus terburuk, banyak yang menyalahgunakan data CFR untuk menentukan seberapa besar kemungkinan seseorang terinfeksi Covid-19 meninggal.

Meskipun CFR sebagai metrik yang relevan, namun kata Johan, CFR yang diumumkan ini tidak memberi tahu masyarakat tentang risiko kematian orang yang terinfeksi.

"Itu hanyalah rasio antara jumlah kematian yang dikonfirmasi dari penyakit dan jumlah kasus yang dikonfirmasi (bukan total kasus)," katanya.

Johan juga mengatakan adapun Death Rate sebagai ukuran yang sangat berbeda. Penghitungan dengan membagi jumlah kematian akibat penyakit dengan total populasi seringkali disebut dengan Death Rate. Ini penting untuk dibedakan, ujarnya, karena sayangnya masyarakat juga terkadang mengacaukan data CFR dengan Death Rate.

Dia mencontohkan pandemi flu Spanyol pada tahun 1918. Perkiraan yang sering dikutip oleh Johnson dan Mueller pada 2002 adalah bahwa 50 juta orang meninggal secara global dari pandemi ini. Hal ini menyiratkan bahwa 2,7 persen dari populasi dunia pada saat itu meninggal.

"Ini berarti death rate adalah 2,7 persen. Tetapi 2,7 persen sering salah dilaporkan sebagai CFR. Jika faktanya Death Rate adalah 2,7 persen, maka tingkat CFR jauh lebih tinggi karena tidak semua orang di dunia terinfeksi flu Spanyol," ujarnya.

CFR yang umum dilaporkan sebagai nilai tunggal bahkan konstanta biologis, ujarnya, juga patut disayangkan. Sebab, katanya, CFR bukanlah nilai yang terkait dengan penyakit yang diberikan, tetapi sebaliknya mencerminkan keparahan penyakit dalam konteks tertentu, pada waktu tertentu, dan dalam populasi tertentu.

"Kemungkinan seseorang meninggal karena suatu penyakit tidak hanya tergantung pada penyakit itu
sendiri, tetapi juga respons sosial dan individu terhadapnya, tingkat dan waktu perawatan yang mereka
terima, serta kemampuan individu yang diberikan untuk pulih dari penyakit itu," ujarnya.

Johan mengatakan infection fatality risk (IFR) adalah yang sebenernya mampu memberikan jawaban atas pertanyaan seberapa besar kemungkinan seseorang yang terinfeksi Covid-19 meninggal karenanya.

IFR adalah jumlah kematian akibat suatu penyakit dibagi dengan jumlah total kasus. Untuk menghitungnya, kata dia, dibutuhkan dua metrik, yakni jumlah total kasus dan jumlah total kematian. Namun, untuk Covid-19, jumlah kasus sebenarnya tidak diketahui karena tidak semua orang dites Covid-19.

"Namun, adalah salah jika ada yang menyimpulkan bahwa CFR adalah sama atau bahkan mirip dengan IFR," katanya.

Direktur Poly Network juga menegaskan bahwa angka CFR tidak mencerminkan probabilitas kematian, karena pada waktu yang sama, nilai CFR memberi dua kemungkinan yang saling bertolak belakang.

Dapat dipahami bahwa kemungkinan kematian lebih rendah dibandingkan CFR karena tidak semua orang dites Cocid-19. Juga dapat dipahami bahwa kemungkinan kematian lebih tinggi dibandingkan CFR karena beberapa orang yang sedang sakit pada akhirnya akan meninggal karena penyakit tersebut.

Membandingkan angka CFR akan tepat jika dipahami sebagai perbedaan dalam skala upaya pengujian Covid-19 Test.

Setelah epidemi atau wabah selesai, kata Johan, statistik agregat kasus dan kematian untuk menghitung tingkat fatalitas kasus dapat diandalkan. Namun, selama wabah berlangsung perlu berhati-hati menafsirkan CFR karena hasil pemulihan atau kematian dari sejumlah besar kasus juga masih belum diketahui.

"Ini adalah sumber umum untuk misinterpretasi peningkatan CFR pada tahap awal wabah atau outbreak," ujarnya.

CFR dan date rate menurutnya memang tidak salah, namun berpotensi menyesatkan dan mudah dipolitisasi. Oleh karenanya, pihaknya memberikan sejumlah catatan kepada pemerintah dan lembaga publik, agar upaya percepatan penanganan wabah Covid-19 tidak terhambat.

Akan lebih baik, katanya, jika sama sekali tidak mempublikasikan rate tersebut sebagaimana WHO dan CDC US. Kemudian menugajelaskan kepada masyarakat mengenai rate, mengarahkan media agar menghindari penggunaan rate tersebut pada pemberitaan dan analisisnya, dan rate tersebut cukup digunakan di otoritas medis dan akademis. (Sam)

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved