Sarung Majalaya Berpeluang Bangkit
Pengusaha Sarung Malajaya Kesulitan Tenaga Kerja, Kini Banyak yang Pulih Kerja di Toko atau Bangunan
PARA pengusaha sarung di Majalaya kesulitan untuk mencari pekerja di pabriknya. Warga di sana, ternyata, lebih memilih bekerja di tempat lain ketimban
PARA pengusaha sarung di Majalaya kesulitan untuk mencari pekerja di pabriknya. Warga di sana, ternyata, lebih memilih bekerja di tempat lain ketimbang harus menenun, seperti di toko atau bangunan.
Itu juga yang dirasakan H Ferri, pengusaha sarung di Talun, Ibun, Kabupaten Bandung. Dia kesulitan mencari pekerja yang mau bekerja di pabriknya. Biasanya, Ferri mencari pekerja dari kampung-kampung di sekitar parbrik.
"Sekarang kesulitan, tidak ada regenerasi," katanya di rumahnya di Desa Talun, Senin (9/3).

Kesulitan itu dirasakan Ferri karena pabriknya masih menggunakan mesin lama, mesin kater. Pabrik-pabrik tekstil, khususnya sarung, di Majalaya, kata Ferri, memang masih menggunakan mesin tersebut. "Kalau mesin yang sekarang, mah, gampang. Jenis mesinnya rapier, jadi gampang mencari pekerja. Sekarang karyawan saya sudah tua-tua," kata Ferri.

Menurut Ferri, orang-orang di sekitar pabrik lebih memilih menjadi pelayan toko atau bekerja di bangunan. "Tidak mau ikut belajar kepada bapaknya," kata Ferri, yang mewarisi pabrik dari bapaknya.
Rohaedi, pemilik pabrik sarung di Talun, berpendapat, sarung Majalaya makin turun pamornya, juga disebabkan berkurangnya orang yang mau bekerja di pabrik. "Banyak yang beralih profesi. Ada yang jadi kuli bangunan, ada yang ke kota, ada juga yang bekerja di toko," kata Edi, panggilan Rohaedi, di rumahnya, Desa Talun, Senin (9/3).
Camat Majalaya Ika Nugraha merasa heran pabrik-pabrik mengalami hal tersebut. Padahal, katanya, kalau berdasarkan upah minimum kota/kabupaten (UMK) di Kabupaten Bandung itu relatif besar. UMK 2020 di Kabupaten Bandung sebesar Rp 3.139.275,37. (januar ph)