Sarung Majalaya Berpeluang Bangkit
Pemilik Pabrik Sarung Majalaya Terpaksa Mengontrakkan Pabriknya karena Tak Punya Modal
SUARA mesin tenun menderu di pabrik sarung di Desa Talun, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, Senin (9/3). Belasan mesin merek Suzuki itu ditunggui beb
SUARA mesin tenun menderu di pabrik sarung di Desa Talun, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, Senin (9/3). Belasan mesin merek Suzuki itu ditunggui beberapa operator dan seorang teknisi.
Pabrik itu milik Rohaedi (49) atau Edi. Namun, untuk sementara pabriknya disewakan kepada pengusaha sarung lainnya.
Edi terpaksa menyewakannya karena sudah tak mampu lagi menyediakan modal untuk memproduksi sarung. Namun, Edi masih berharap setelah masa kontrakan pabriknya habis, bisa memproduksi sarung lagi.
"Masih mending disewakan. Kalau orang lain ada yang dijual untuk menutupi utang-utang ke bank," kata Edi di rumahnya di Desa Talun, Senin (9/3).

Edi adalah putra H Hada (alm), salah satu pengusaha sarung ternama di kawasan Talun pada 1990-2000-an. H Hada meninggal pada 2014.
Edi menceritakan ketika ayahnya masih jaya. Haji Hada, menurutnya, menenun sarung sejak 1970-an. Ayahnya hanya memiliki satu pabrik, tapi bisa memperkerjakan 300 karyawan.
Saat itu, kata Edi, pabrik itu masih menggunakan alat tenun tustel (alat tenun bukan mesin). Sarung-sarunnya dijual ke Jawa Tengah, Tanah Abang (Jakarta), dan Pasar Baru (Bandung). "Kalau ke Pasar Baru, sedikit. Kan, pusat sarung ada di Tanah Abang," kata Edi.
Edi merasakan penurunan permintaan sarung sejak 2015. Sebelumnya, kata Edi, tidak ada masalah, pemasaran pun lancar.

Kisah Edi, kata H Aef Hendar (55), Ketua Komunitas Pertekstilan Majalaya dan pengusaha tekstil, sudah menjadi rahasia umum. Menurutnya, banyak yang dulunya pengusaha sarung besar sekarang tinggal nama.
"Dulunya punya pabrik sekarang tidak lagi. Dulu pabriknya dikelola sendiri sekarang disewakan," kata Aef di sebuah kafe di Jalan Sukamanah, Majalaya, Kabupaten Bandung, Rabu (11/3).
Aef bahkan menyebut titik nadirnya itu sekarang. Kehancuran tekstil Majalaya itu, katanya, bisa terjadi sekarang. "Masa mau Lebaran masih tiga hari kerja. Seharusnya minggu juga jalan produksinya. Sekarang hanya tiga hari. Termasuk itu terjadi di perusahaan saya," kata Aef, yang memiliki 100 mesin di pabriknya.
Pemilik pabrik sarung di Talun, H Ferri pun, mengaku orderan sarung untuk Lebaran masih belum ramai. Padahal, katanya, dua tahun ke belakang, dua bulan menjelang Lebaran orderan sudah banyak.

"Biasanya dari Pasar Baru ramai. Sekarang belum ada permintaan. Harusnya sekarang sudah ramai, dua bulan lagi mau Lebaran," kata Ferri di rumahnya di Desa Talun, Senin (9/3).
Ferri terpaksa membatasi produksi sarungnya karena tidak terserap pasar. Dia megaku tidak mau berspekulasi menambah produksi. Dia tidak yakin sarungnya bakal habis jika menambah produksi.
"Sarung sekarang, kalau enggak ramai, tidak akan habis. Paling produksinya sedikit. Saya memproduksi 250 kodi sebulan. Kalau diuangkan, sekitar Rp 70 jutaan," kata Ferri.
Pasar Bebas

Camat Majalaya Ika Nugraha merasa prihatin. Menurut dia, penurunan produksi sarung Majalaya bisa jadi karena persaingan. Persaingan, katanya, tidak bisa dihindari dengan adanya kebijakan pasar bebas. Harusnya, menurut Ika, para pengusaha sudah siap untuk itu.
"Harusnya diimbangi teknologi. Di sini kebanyakan masih pakai mesin lama. Otomatis dari segi kualitas dan biaya produksi pasti tinggi sehingga harga jualnya jadi mahal. Tidak akan bisa bersaing. Mereka menggunakan mesin berteknologi canggih. Biaya operasionalnya bisa ditekan. Di sini, kan, masih menggunakan padat karya," kata Ika di kantornya, Jalan Majalaya-Rancaekek, Majalaya, Kabupaten Bandung, Jumat (13/3).
Menurut Ika, banyak cara yang dilakukan para pengusaha agar produksi tetap berjalan. Ada pengusaha yang merumahkan karyawan, mengurangi hari kerjanya, dan mengurangi produksi.
Peluang

Aef mengatakan, sebagai pengusaha, dia tak bisa berlarut-larut meratapi keterpurukan. Pemilik CV Setia Tunggal ini berpendapat, sekecil apa pun peluangnya harus bisa ditangkap oleh pengusaha.
"Saya tidak terpaku pada sarung. Kalau sarung tak lagi mengangkat, saya produksi barang tekstil yang bisa dijual, seperti lap tangan, serban, bahan kerudung, atau kain cele," kata Aef.
Untuk meningkatkan kembali pamor sarung Majalaya, Camat Ika menyodorkan inovasi yang dilakukan pengusaha asal Ibun. Menurutnya, pengusaha itu sudah melakukan inovasi dengan salah satunya membuat blazer dari bahan kain sarung.
"Di Ibun ada Bu Yanti. Dia sudah bikin outlet di rumahnya. Blazer itu sudah ke mancanegara. Dengan desain yang bagus, Ibu Bupati juga suka pakai. Jadi yang tadinya harga sarung 30.000 dibikin blazer paling murah jadi Rp 150.000, jadinya berlipat-lipat," katanya. (januar PH)