Jabar Kemungkinan Tak Tetapkan UMK 2020, Ini Alasannya
Terlebih pihaknya sudah mendapatkan surat dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang memberikan informasi terkait kondisi dunia usaha.
Penulis: Muhamad Syarif Abdussalam | Editor: Ravianto
TRIBUNJABAR.ID ‑ Pemerintah Provinsi Jawa Barat tengah mempertimbangkan opsi untuk tidak menetapkan Upah Minimum Kota/Kabupaten atau UMK 2020 untuk menjaga kondusivitas dunia usaha.
Hal tersebut masih dikaji dan akan diputuskan beberapa hari lagi.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil, mengatakan pemprov harus mempertimbangkan kondisi pelemahan ekonomi saat ini yang kemungkinan berlanjut pada 2020 dan diprediksi akan lebih berat.
Terlebih pihaknya sudah mendapatkan surat dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang memberikan informasi terkait kondisi dunia usaha.
"Jadi sedang kami pertimbangkan plus minusnya. Saya sudah terima surat dari Apindo yang intinya kemungkinan besar ekonomi lagi berat kan jadi penetapan UMK sangat berpengaruh terhadap sektor padat karya, jadi saya pertimbangkan," katanya di Gedung Pakuan, Bandung, Rabu (20/11).
Gubernur yang akrab disapa Emit itul mengakui keputusan soal upah ini setiap tahun selalu menimbulkan dinamika sosial yang menurutnya tidak mudah.
Namun sebagai pemimpi, ia harus mengambil keputusan.
"Opsinya antara menetapkan UMK atau tidak. Kalau tidak menetapkan, maka buruh diminta menyelesaikan kenaikannya. Jadi tetap naik, upah naik tapi disesuaikan oleh kemampuan pabrik masing‑masing. Tapi kalau besarannya dikunci lewat UMK, maka akan ada perusahaan yang pasti gulung tikar karena oleh pengadilan dianggap pidana," katanya.
Menurutnya opsi untuk tidak menetapkan UMK juga dilandasi payung hukum dari Kementerian Tenaga Kerja yang memberi dua klausul, pertama wajib menetapkan UMP (upah minimum provinsi) tapi dapat tetapkan UMK.
"Kata dapat ini artinya diserahkan pada situasi masing‑masing. UMK selalu rutin, itu dinamika tahunan, nanti kita hitung saja," katanya.
Emil menilai khusus Jawa Barat saat ini sudah terjadi disparitas upah buruh antardaerah yang membelit keputusan terkait penyesuaian upah setiap tahun. Ia menunjuk penyebabnya adalah aturan lama di tingkat pusat yang tidak seragam.
"Kalau sekarang ada formula dapat tetapkan UMK, itu enak. Tapi kan itu baru berapa tahun terakhir. Tahun sebelumnya bisa ada yang naik 10 persen, 15 persen. Itu yang membuat disparitas semakin tinggi. Jadi solusi pertama kami gunakan formula nasional minimal membuat angka itu bisa diprediksi tidak sporadis," katanya.
Pemprov dalam jangka menengah ingin membuktikan buruh bisa sejahtera tanpa menaikkan upah. Contohnya dengan mewajibkan pabrik membuat rumah atau hunian dekat pabrik. (syarif abdussalam)